Oleh SUJONO*
Yang kemudian diterjemahkan dan dijuluki Kiai adalah orang yang oleh masyarakat dianggap atau diakui sebagai orang ‘alim.
Pada tahun 1990-an, muncul fenomena sebutan Kiai yang disertai dengan sub-sebutan. Ada Kiai Pesantren, Kiai mimbar, Kiai layar kaca, Kiai politik, Kiai koran, Kiai suwuk, Kiai MUI, Kiai ICMI, Kiai Danyang dan sebagainya.
Artinya, yang Kiai Pesantren tidak tersinggung dengan Danyang yang disebut kiai. Yang Kiai mimbar tidak tersinggung dengan kerbau yang disebut kiai Slamet dan sebagainya.
Ada Sebuah Kisah
Begini; sampai Masduqi berusia 40 tahun, belum ada yang menyebut Kiai, sebab ayahnya masih hidup dan mengasuh Pesantren Mlangi.
Pekerjaannya sehari-hari adalah “njagol andong” (mengais bendi)-nya sendiri. Dan, itu masih beliau lakukan meski sudah disebut Kiai, dan mengasuh Pesantren Mlangi, menggantikan Ayahnya yang wafat.
Hanya, jadwal “njagol andongnya” berubah. Tidak lagi seharian, tetapi mulai jam 7.30 (seusai ngaji tafsir Al-Qur’an) hingga jam 9.00. Karena setelah itu, Kiai Masduqi harus mengaji lagi di hadapan para santri sampai menjelang waktu Dzuhur.
Beliau sama sekali tidak menyadari kalau dirinya disebut Kiai. Penampilan, tutur katanya, dan hubungan sosialnya tak berubah sedikit pun.
Hanya saja, sekarang Kiai Masduqi lebih jarang keluar rumah. Kegiatan rutin yang bisa dilihat orang adalah njagol, mengaji dan menghormati tamu.
Kata orang di Kampung Mlangi, Kiai Masduqi makin merunduk saja. Kerundukan itu ditandai dengan tawadhu’.
Kerundukan sebagian kecil Kiai ada yang ditransparasikan dengan ketepatan “tak perlu memberi nama” kepada Pesantren yang diasuhnya, supaya tidak di anggap besar dan perlu diperbesar. Karena, yang besar atau diperbesar resikonya berat.
Maka, tidak perlu malu mengeluh seperti Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang selalu bersenandung;
“Andainya aku jadi tanah, alangkah bahagianya aku,” atau meniru dawuh Sayyidina Umar bin Khattab, “Tuhan-ku, berikanlah aku yang sedikit.”
Baik sangka saya, apa yang menjadi sikap Kiyai, adalah upaya menangkal dan memperisai diri dari kemungkinan terjangkit “Penyakit Hati terutama yang bernama “Penyakit ‘Ain.” Suatu penyakit yang diakibatkan kesilauan hati karena tersorot banyak sinar mata (kagum) publik.
Sorot mata publik tak bisa dihindari karena Kiai itu pemimpin. Dan pemimpin itu adalah muara dari segala arah dan tujuan. Wallahu a’lam…!
(Diadaptasi dari sumber utama artikel Kiai Cholil Bisri dan sumber bacaan lainnya)