Partai politik (parpol) adalah pemain utama ‘konstelasi politik’ pemilihan umum (Pemilu) 2024 sebagaimana diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Kenyataan ini mengingatkan saya pada pernyataan Clinton Rossiter (1917-1970) yang mengatakan bahwa “tidak ada demokrasi tanpa politik, dan tidak ada politik tanpa partai”.
Pernyataan legendaris Clinton Rossiter itu bagi saya bukan saja memberitahu kita bahwa demokrasi, politik, dan partai saling berkaitan, tetapi juga satu kesatuan yang tak terpisahkan, khususnya dalam proses dan kerja-kerja demokrasi seperti pemilu.
Partai dan Pemilu 2024
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Oleh karena eksistensi partai adalah satu kesatuan tak terpisahkan dengan proses politik suatu negara demokrasi seperti pemilu, pertanyaan mendasar yang penting untuk diangkat ke permukaan adalah langkah dan persiapan apa saja yang sudah dilakukan partai peserta pemilu menghadapi pemilu 2024?
Pertanyaan ini penting diangkat ke muka karena ‘langkah’ dan ‘persiapan’ partai merupakan salah satu indikator penting untuk mengukur kesiapan dan kematangan pelaksanaan pemilu 2024 sehingga dapat membuahkan hasil yang lebih memuaskan dan serta lebih progresif dari pemilu-pemilu sebelumnya yang sudah dilaksanakan.
Selama beberapa kali dilaksanakan, pemilu di Indonesia masih cenderung prosedural dan masih jauh dari semangat dasar pelaksanaan pemilu yang substansial. Pemilu yang selama ini kita laksanakan sebagai momentum peralihan kekuasaan politik belum memberikan dampak sosial-politik yang begitu signifikan terhadap kehidupan kebangsaan sebagaimana diharapkan.
Buktinya, meski sejak pemilu 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019 pelaksanaannya sudah demokratis, kenyataan bahwa demokrasi Indonesia mengalami kemunduran tetap tak terhindarkan.
Demokrasi, yang oleh Kalr Popper didefinisikan sebagai sebuah sistem pemerintahan yang menyediakan ruang dan kesempatan bagi rakyat untuk mengontrol pemimpinnya tanpa tindakan revolusi, nyaris sirna. Eksistensi demokrasi yang secara teoretis hadir sebagai lawan dari kekuasaan elite (aristocratie), namun pada kenyataannya juga sudah tidak jelas lagi (R. Setiawan, 2021 : 40). Habis diobrak-abrik oligarki politik hasil pemilu demokratis.
Laporan The Economist Intelligence Unit (EUI) yang rilis pada 3 Februari 2021 menunjukkan bahwa skor indeks demokrasi Indonesia terus mengalami penurunan. Dari 7,03% (2015) menjadi 6,97% (2016) dan 6,39% (2017-2018). Pada 2019, skor indeks demokrasi Indonesia sempat mengalami peningkatan dari dua tahun sebelumnya, yakni mencapai 63,48%, namun anjlok lagi pada 2020. Dari 63,48 % (2019) turun menjadi 6,3% (2020).
Hasil survei Indikator Politik Indonesia yang melibatkan 1. 200 responden pada 17-21 September lalu juga mengungkapkan bahwa demokrasi Indonesia terus mengalami kemunduran. Survei itu menemukan bahwa masyarakat yang puas pada pelaksanaan demokrasi di Indonesia (democratic satisfaction) hanya mencapai 47,6 persen, sebuah pencapaian yang rendah. Sementara yang tidak puas semakin meningkat, yakni dari 32 ke 44,1 persen.
Dua temuan survei di atas, yang menunjukkan kemunduran demokrasi Indonesia adalah bukti kongkret bahwa ada banyak politisi yang tidak pro-rakyat dan demokrasi yang juga ikut dipilih oleh rakyat melalui pemilu demokratis. Dan semua ini semata-mata terjadi karena segenap partai yang ada sama sekali tidak memiliki langkah yang strategis untuk mencegah proses pencalonan politisi-politisi korup itu.
Sehingga, dengan ketiadaan langkah strategis itu, siapa pun orangnya, punya komitmen dengan demokrasi atau tidak, dapat dengan mudah menjadi calon dalam pemilu dan dipilih oleh rakyat meski pada kenyataannya sama sekali tidak pro-rakyat dan demokrasi.
Detik-detik Menentukan
Pemilu 2024 adalah konstelasi politik akbar yang setiap proses dan dinamika yang terjadi di dalamnya merupakan detik-detik menentukan kondisi politik Indonesia di masa depan. Jadi, tidak boleh tidak, segalanya harus dipersiapkan dengan serius, khususnya terkait dengan langkah strategis parpol dalam menentukan calon yang akan diusung.
Pemilu 2024 ini harus benar-benar mampu dimanfaatkan oleh parpol untuk melakukan pembangunan dan pelembagaan demokrasi Indonesia yang berkeadilan yang terbebas dari cengkraman kuasa oligarki dan politisi korup. Jika pemilu adalah pintu demokrasi yang membolehkan siapa saja masuk melewatinya, maka dengan ini partai harus mampu mencegah para politisi-politisi korup agar tidak juga masuk sebagai calon dalam pemilu.
Satu hal yang paling fundamental yang perlu dilakukan oleh partai adalah memperjelas standarisasi dan mekanisme pengusungan calon. Karena di bagian inilah pangkal masalah itu berada. Selama ini, mekanisme dan standarisasi pencalonan yang dilakukan oleh setiap partai dalam setiap pemilu belum memiliki rumusan dan pijakan yang jelas lagi ketat.
Bahkan dalam beberapa kasus pencalonan partai masih cenderung pragmatis dan transaksional. Sehingga, seperti disinggung dimuka, ‘oligarki politik’ dan sejumlah ‘politisi korup’ dengan kekuatan modal yang dimilikinya dapat dengan mudah menjadi pemimpin politik yang dipilih secara demokratis.
Oleh karenanya, tantangan partai yang sebenarnya dalam pemilu 2024 bukan saja soal bagaimana tampil sebagai partai pemenang. Tetapi, juga soal bagaimana keberadaan partai mampu menjadi elan vital yang bisa mencegah para politisi-politisi korup dan oligark bisa mencalonkan diri dalam pemilu.
Hal ini sangat penting untuk diperhatikan oleh setiap partai. Karena di sadari atau tidak, demokrasilah taruhannya.