Oleh: Sujono
(Penulis lepas tinggal di Perum Satelit Sumenep)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw, bersabda; Barangsiapa mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah ia menghampiri (mendekati) tempat shalat kami. (Ahmad & Ibnu Majah)
Rasulullah Saw, memerintahkan berqurban dengan bahasa yang tegas dan lugas, bahkan disertai ancaman.
Berqurban tidak hanya sekadar mengalirkan darah binatang ternak. Namun, lebih dari itu, berqurban berarti “tunduk total” terhadap perintah-Nya.
Lewat perintah berqurban, Allah Ta’ala ingin menguji hamba-hamba-Nya apakah berbaik sangka kepada-Nya sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, atau berburuk sangka seperti Qabil yang lebih menuruti logika dan kemauan syahwatnya sendiri?
Qabil justru membunuh saudara kembarnya karena menganggap hal itulah yang lebih masuk akal. Ia tidak percaya terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kita telah tahu bagaimana pengorbanan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, yang harus meninggalkan istrinya, Siti Hajar dan putranya Ismail ‘alaihissalam yang masih bayi di lembah yang tandus dan jauh dari keramaian, tanpa makanan dan minuman.
Kita juga tahu bagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, harus berqurban. Ia diperintah untuk menyembelih sang anak (Ismail ‘as), ketika di puncak kerinduannya.
Jika sikap berqurban atas dasar iman itu tertanam pada diri kaum Muslimin tanpa keraguan sebagaimana Nabi Ibrahim, niscaya umat Islam akan maju dalam segala hal.
Guru berqurban dengan ilmunya, si kaya berqurban dengan hartanya, para politikus berqurban dengan waktu dan kepintarannya, dan seterusnya.
Kita harus berani menyembelih kemauan pribadi yang bertentangan dengan kemauan syariat.
Dari berqurban kita bisa berbagi. Dari berbagi inilah kita retas sekat pemisah antara si kaya dan si miskin.
Lima belas abad yang lampau, Rasulullah Saw, berkumpul bersama para Sahabatnya di suatu majelis.
Kebanyakan Sahabat yang duduk bersama Rasulullah Saw, saat itu adalah kaum dhuafa’. Sekedar menyebut beberapa nama Sahabat yang hampir semuanya bekas budak, yakni; Salman al-Farisi, Ammar bin Yasir, Bilal bin Rabah, Suhayb, Khabab bin al-Arat.
Mereka adalah orang-orang yang hidupnya sangat sederhana, jika tidak mau dikatakan miskin. Pakaian mereka lusuh dan berbulu kasar.
Namun…!
Meskipun mereka kaum dhuafa’ bukan berarti mereka lemah. Justru merekalah perintis penegakan peradaban Islam. Jadi, jangan sepelekan kaum dhuafa’.
Wallahu a’lam…