Oleh AHMAD FARISI*
Presidensial threshold (PT) terus menjadi sorotan publik. Meski tak pernah berhasil diuji di Mahkamah Konstitusi (MK), namun berbagai pihak tetap berharap ada jalan keluar terkait PT yang dinilai problematik itu.
Publik menilai, gagalnya PT diuji di MK bukan berarti PT telah final dan tidak problematik. Sebaliknya, dengan terus gagalnya PT diuji di MK, publik berkesimpulan bahwa PT adalah sistem yang problematik yang berupaya dilindungi oleh kelompok politik yang diuntungkan oleh adanya PT.
Secara umum, PT dianggap problematik karena beberapa hal: pertama, karena PT tidak diatur secara jelas dalam UUD NRI 1945. Pasal 28D Ayat (3) hanya mengamanatkan pasangan capres-cawapres dinominasikan oleh partai/gabungan partai tanpa mensyaratkan perolehan suara seperti dalam PT.
Kedua, karena tak ada satu pun negara di dunia yang menerapkan PT. Negara-negara demokrasi yang juga menganut sistem presidensial seperti Amerika Serikat, Brazil, Peru, Meksiko dan Kyrgyzstan, tak satupun di antara mereka ada yang menerapkan PT. Mereka menerapkan sistem pencalonan terbuka tanpa mempersyaratkan dukungan (Abdul Ghoffar, 2018).
Ketiga, karena PT dinilai sebagai sistem yang hegemonik: memberatkan partai-partai kecil untuk ikut mengusung pasangan capres-cawapres. Sementara pada saat yang sama memberi keistimewaan (jalan tol) bagi partai-partai besar untuk mengusulkan atau mengusung pasangan capres-cawapres.
Keempat, karena PT juga dinilai memaksa berbagai partai yang ada untuk membentuk koalisi meski tidak memiliki kesamaan ideologis. Menurut pandangan ini, PT dinilai telah menjerumuskan berbagai partai yang ada ke dalam koalisi yang sangat pragmatis-oportunistik. Padahal, koalisi pencapresan seharusnya dibangun di atas fondasi visi politik yang jelas dan terarah.
Namun, terlepas dari beberapa problem PT yang telah disebutkan di atas, sebenarnya masih ada problem fundamental dalam PT yang mengharuskan kita untuk membenahi/memperbaiki sistem pemilu. Problem fundamental PT tersebut tak lain adalah soal akuisisi suara caleg oleh partai.
Secara normatif, PT mensyaratkan bahwa partai atau gabungan partai yang dapat mengajukan pasangan capres-cawapres adalah partai atau gabungan partai yang telah memenuhi PT, yakni memiliki 20% kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah secara nasional pada pemilu DPR sebelumnya.
Dalam perspektif teori representasi, akuisisi suara caleg oleh partai untuk memenuhi PT guna bisa mengajukan pasangan capres-cawapres itu sebenarnya tidak tepat. Sebab, dalam sistem proporsional terbuka, perolehan suara pada pileg sebelumnya praktis bukanlah representasi suara partai secara mutlak.
Dikatakan bukanlah representasi suara partai sebab, dalam sistem proporsional terbuka pemilih memilih caleg bukan karena kendaraan partainya, melainkan lebih karena personalitas, ketokohan, pengaruh, yang dimiliki oleh caleg itu sendiri (Deskoska & Fealy, 2014 dalam Darmawan, 2015).
Karena itu, dalam konteks sistem proporsional terbuka, sangat tidak rasional bila suara pemilih yang dititipkan kepada caleg kemudian diakuisisi sebagai suara partai. Sebab, dalam sistem di mana pemilih didorong untuk memilih caleg berdasarkan personalitas caleg, belum tentu pemilih yang memilih caleg dari partai A, setuju dan juga memilih partai A.
Karenanya, jika dalam perspektif PT angka 20 persen itu dianggap sebagai angka yang representatif, justru sebenarnya tidaklah representatif. Sebab, andaikan sistem kita mengharuskan pemilih memilih caleg sekaligus partai, bisa jadi partai yang mendapat kursi terbanyak di DPR, bisa jadi secara kepartaian, suara yang diperoleh lebih sedikit dari akumulasi suara caleg.
Memilih caleg sekaligus partai
Karena itu, jika PT 20 persen masih mau dipertahankan, maka mau tidak mau kita haru menempuu sistem hybrid. Yakni, memilih caleg (sebagaimana dalam sistem proporsional terbuka yang kita jalankan) namun sekaligus juga memilih partai layaknya dalam sistem proporsional tertutup.
Pemilihan partai ini penting, pertama, agar partai tidak hanya mengkusisi suara caleg yang belum tentu setuju dan sepemahaman dengan partai yang dikendarai sang caleg. Kedua, untuk memastikan apakah sebuah partai lolos PT atau tidak, bisa mengajukan pasangan capres-cawapres atau tidak?
Dalam konteks ini, rakyat dilibatkan secara aktif dan juga diberi kedaulatan penuh untuk memutuskan partai apa saja yang dikehendaki untuk mengajukan pasangan capres-cawapres pada pemilu yang akan datang.
Jadi, dalam sistem hybrid ini, partai berhak atau tidak mengajukan pasangan capres-cawapres pada pemilu selanjutnya tidak hanya berdasarkan pada akuisisi suara yang dimiliki celeg yang sebenarnya bukanlah suara partai. Tetapi benar-benar berdasarkan kehendak dan pilihan rakyat.
Selain dinilai lebih representatif, sistem pemilihan yang mengharuskan pemilih memilih caleg sekaligus partai juga dinilai lebih adil. Sebab, sejak dari awal, semua partai (baik partai kecil/partai besar) semuanya diberi kesempatan yang sama untuk memperjuangkan dirinya masing-masing: lolos PT atau tidak.
*) Pengamat politik