Connect with us

Mimbar

“Mbah Minto”

Ahmad Farisi

Published

on

Mbah Minto. Namanya viral di media sosial lantaran tindakan pembelaan diri (melakukan serangan balik terhadap pria berinisial M [38] yang mengakibatkan M terluka parah) yang dilakukannya dianggap sebagai tindak pidana ‘penganiayaan berat’ dan dituntut dua tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pengadilan Negeri Demak (29/11).

Mbah Minto bekerja sebagai penjaga kolam ikan di Desa Pasir, Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Mbah Minto melukai M pada Selasa malam, sekitar waktu isya (7/9) di kolam yang ia jaga. Menurut pengakuannya, ia menyerang M hingga terluka parah lantaran M yang hendak mencuri ikan sempat menyerangnya dengan alat setrum.

Pada malam itu juga kakek berusi 75 tahun itu diamankan oleh kepolisian setempat. Pada (7/10) Kejaksaan Negeri Demak menyatakan bahwa berkas kasus penganiayaan oleh Mbah Minto sudah lengkap dan selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Demak. Senin, (25/10) Mbah Minto didakwa kasus penganiayaan berat atau melanggar pasal 351 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Satu bulan kemudian, dalam sidang di Pengadilan Negeri Demak pada Senin (29/11) JPU Handi Christian menuntut terdakwa dua tahun penjara sebagaimana dakwaan pada Senin (25/10). Handi selaku JPU yakin bahwa apa yang dilakukan Mbah Minto merupakan penganiayaan berat dan melanggar pasal 351 ayat (2) KUHP.

Menurut JPU, tuntutan pidana dua tahun penjara yang dilayangkan terhadap terdakwa sudah dipertimbangkan secara matang dari berbagai aspek, baik secara sosiologis, psikologis maupun secara yuridis. Yang dari situ kemudian diketahui bahwa tindakan pembelaan yang dilakukan terdakwa cenderung sebagai penganiayaan berat. Terdakwa juga sempat mengajukan Restoratifve justice, namun ditolak karena dianggap tidak memenuhi syarat.

Baca Juga :  Refleksi Hari Kesaktian Pancasila

Dalam sidang lanjutan yang digelar pada Rabu (8/12), terdakwa mengajukan pledoi atau pembelaan di depan jaksa dan hakim. Namun pledoi itu ditolak mentah-mentah oleh sang jaksa. Dan meminta majelis hakim untuk tetap menghukum terdakwa sesuai surat tuntutan.

Pembelaan atau Penganiayaan?

Namun, meski demikian, tuntutan pidana dua tahun bui yang dilayangkan JPU terhadap Mbah Minto selaku terdakwa itu menuai kritik dari publik. Tuntutan itu dinilai tidak bijak dan melukai keadilan sebab apa yang dilakukan oleh Mbah Minto adalah tindakan pembelaan diri. Sebab, sebelum peristiwa penyerangan Mbah Minto terhadap M itu terjadi, sebagaimana disinggung di atas M sudah lebih dulu melakukan serangan terhadap terdakwa.

Memang, dalam hemat penulis, mengkategorisasikan tindakan Mbah Minto sebagai penganiayaan berat oleh JPU adalah cacat secara hukum dan bangunan argumennya juga lemah secara terminologis. Pertama, dikatakan cacat secara hukum sebab apa yang dilakukan Mbah Minto tak lain adalah tindakan reflektif seseorang dalam keadaan posisi terancam. Ia bertindak atas kesadaran yang logis bahwa dirinya sedang menghadapi bahaya dan ancaman dari pihak luar.

Dan hal itu dapat dibenarkan sebagai tindakan pembelaan dengan mengacu pada Pasal 49 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana”. Inilah dalil hukum yang oleh JPU dilupakan dalam tuntutannya sehingga menjadikan tuntutannya cacat secara hukum.

Baca Juga :  Rapor Merah Legislasi 2022

Kedua, bangunan argumennya dikatakan lemah secara terminologis karena menurut yurisprudensi sebuah tindakan menyakiti atau melukai fisik atau perasaan seseorang bisa dikatakan penganiayaan bilamana hal itu dilakukan dengan kesengajaan yang terencana. Jadi, dari sisi terminologis juga dapat dipahami pula bahwa sebenarnya tindakan Mbah Minto itu adalah pembelaan diri, karena tidak terdapat unsur kesengajaan terencana yang menyertai tindakannya yang  melukai M.

Penganiayaan meniscayakan adanya subjek (penganiaya) dan objek (korban teraniaya). Dan dalam kasus ini, Mbah Minto dengan tindakan pembelaannya: menyerang balik M, sama sekali tidaklah memenuhi syarat sebagai seorang penganiaya (baca: kesengajaan). Karenanya, adalah fatal jika JPU menganggap apa yang dilakukan Mbah Minto ini sebagai tindakan penganiayaan, lebih-lebih sebagai tindak pidana penganiayaan berat.

Bahwa tindakannya telah melukai dan merusak kesehatan fisik M semua itu benar. Namun hal itu dilakukan semata untuk melindungi diri. Karena sebagaimana pengakuannya, penyerangan terhadap M itu terjadi karena sebelumnya M sempat menyerang Mbah Minto dengan alat setrum. Jejak kronologi ini seharusnya mampu dijadikan konstruksi pemahaman dan pengambilan kesimpulan hukum oleh JPU untuk mengetahui bahwa tindakan Mbah Minto merupakan pembelaan diri.

Jadi, siapa yang melakukan ‘pembelaan diri’ dan siapa yang ‘penyerang’ dalam kasus ini sebenarnya cukup jelas, namun gelap di mata JPU. Dan hal  ini seharusnya tidak boleh terjadi. JPU seharusnya mampu melihat dan memahami kronologi hukum ini secara jernih dan komprehensif sebelum melayangkan tuntutan. Sehingga bangunan hukumnya tidak mencla-mencle dan serta tuntutan pidana yang dilayangkan tidak terkesan arogan.

Baca Juga :  Filsafat sebagai Jalan Hidup

Putusan Majelis Hakim

Keadilan hukum belum mati. Namun tengah dalam keadaan sekarat. Putusan majelis hakim mengenai tuntutan JPU terhadap Mbah Minto adalah babak penentu hidup matinya keadilan hukum di negeri ini. Berdasarkan ketentuan Bab I pasal 1 dan Bab 1V Pasal 28  Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim punya kekuasaan yang besar dan merdeka untuk menggali keadilan dan menegakkan keadilan yang hidup di masyarakat. Dengan hal ini, kita berharap majelis hakim mampu mematahkan ‘kacamata kuda’ JPU dalam memahami persoalan ini sehingga dapat menghasilkan putusan hukum yang progresif dan berkeadilan untuk semua.

Majelis hakim mesti memahami bahwa Mbah Minto adalah korban penyerangan yang memiliki nasib ‘baik’. Sementara M merupakan penyerang yang memiliki nasib ‘buruk’ pada saat kejadian. Orang baik pantas dengan nasib baiknya. Begitupun dengan orang buruk, ia juga pantas dengan nasib buruknya.  Jadi, para penegak hukum jangan sampai salah memberikan dua nasib itu kepada masing-masing pemiliknya di hadapan hukum. Sebab, jika pun itu luput dari persaksian publik, tetapi sejarah dan kehidupan mestilah akan mencatatnya, mengenangnya, mengingatnya, sepanjang kehidupan.

Hukum harus ditegakkan setegak-tegaknya tanpa pandang bulu. Namun, arogansi penegak hukum harus segera diakhiri. Di samping penentu hidup matinya keadilan yang tengah sekarat, putusan majelis hakim terhadap kasus Mbah Minto ini juga adalah peristiwa penting yang akan menunjukkan arogan tidaknya para penegak hukum kita ketika berhadapan dengan rakyat kecil seperti Mbah Minto. Wallahu a’lam.

Penulis lepas. Tinggal di Twitter @aris_missbah dan Instagram @farisi.aris

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending