Menakwil Ulang Kurikulum Hukum di Kampus

A. Fahrur Rozi

Senin, 11 Oktober 2021

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi via pixabay.com

Ilustrasi via pixabay.com

Rocky Gerung dengan wajah kritik oposan kembali hadir. Dengan varian baru ide kontroversial “Fakultas Hukum layak diganti nama Fakultas Undang-Undang” Rocky muncul ke publik. Setelah forum dialektika tempat wacana krusial bubar, Rocky hadir memenuhi akun media sosial (medsos) para netizen, menarik perhatian publik yang kesekian kalinya.

Tidak ada yang berubah, Rocky tetap dengan tampilan oposan pemerintah. Bedanya, kalau kemarin kebijakan politik, sekarang beralih ke kurikulum akademik. Sasarannya tetap pemerintah dengan dalih, “menjadi oposan membuat alternatif kedua bagi kemungkinan-kemungkinan ketidakefektifan kebijakan awal”.

Rocky melihat bahwa kurikulum Fakultas Hukum (FH) di Perguruan Tinggi Indonesia salah fokus, baik pada aspek pengetahuannya maupun dalam aspek haluannya. Menurut Rocky, kurikulum perkuliahan seharusnya lebih menekankan legal philosopi, dengan memberi ruang secara leluasa dan dalam tempo yang amat panjang karena tidak dipungkiri undang-undang Indonesia lahir dari tarikan historis empiris ke kontinentalis, dan nyatanya Perguruan Tinggi di Indonesia belumlah demikian.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bagi Rocky, penerapan legal philosopi dalam kurikulum FH di Indonesia hanya sepotong-potong. Bicara soal teori Rudolf Stammler di mana hukum dipandang secara normatif dengan kehendak yuridis, di pertengahan jalan pindah pada teori Gustav Radburch di mana normatif hukum disebabkan oleh entitas nilai keadilan. Tidak ubahnya onani keilmuan, di mana suatu teori “Barat” yang jelas-jelas diterapkan di Indonesia diputus oleh pendidikan undang-undang nasional dengan terminan “Fakultas Hukum”.

Baca Juga :  Membaca Manuver Presiden

Fakultas Hukum tidak lebih sematan semata laiknya kurikulum undang-undang yurisdiksi lokal. Padahal, tarikan historis konstitusi Indonesia bertalian erat dengan kontinentalis Eropa. Bagaikan anak lupa rahimnya, menurut Rocky, Indonesia dengan pendidikannya kehilangan muara konstitusinya. Tanpa arah kendali, undang-undang di Indonesia cenderung kaku dengan interpretasi dan implementasi hukum yang akan ditolak mentah-mentah.

Permasalahannya, tarikan kontinentalis dalam perundang-undangan Indonesia dengan segudang teorinya masihkah kiranya untuk diterapkan dalam pendidikan kita? Dengan adanya dasar filosofis tersendiri yang saya kira sudah memutus hubungan pertalian dengan “Barat” untuk menciptakan kemandirian hukum tersendiri?

Kepercayaan di mana hukum memuat keteraturan (order) dalam pranata sosial masyarakat memiliki dwifungsi menilai dan menstandarisasi tingkah laku keseharian (Zevenbcrgen, 1925:110). Hukum sendiri sebenarnya suatu prinsip mengatur yang adanya hanya dalam kepala manusia. Thomas Hobbes yang melihat sifat dasar kemanusiaan itu buruk atau berpotensi tubrukan antar kebebasan (liberty for vs liberty from), menjadi dorongan menggerakkan hukum sendiri terwujud dalam realitas sebagai undang-undang.

Kemuadian adanya hukum itu dikarenakan endapan akumulasi asas susila dan asas kebiasaan. Keberdaan hukum menerobos titik tengah menengarai antara ide dan kenyataan. Boleh dikata susila dan kebiasaan menjadi sumber dari keberadaan hukum saat ini. Teori yang dimaksud Rocky dalam kritiknya tidak ubahnya susila dalam hukum. Idealis sifatnya boleh, namun asas kebiasaan harus diimprovisasi dari keadaan sosio-kultural batas yurisdiksi (undang-undang). Makanya bertemulah “hukum susila” dan “hukum kebiasaan” dalam produk undang-undang, “kebiasaan bagi masyarakat adalah hukum bagi negara” (Radburch, 1961:13).

Baca Juga :  Volksraad: Parlemen Hindia Belanda yang Oleh H. Agus Salim Disebut sebagai “Komidi Omong”

Demikian pula dalam kurikulum kefakultasan. Bagi Rocky, kurikulum pembelajaran teori konstitusi yang sepotong-potong, di mana teori dari zaman klasik, abad pertengahan sampai era modern hanya diajarkan setengah-setengah. Saya rasa bukan dalam maksud ingin menghapus suatu “pertalian hukum (kontinental)” dalam hukum Indonesia, melainkan suatu prinsip “keseimbangan” untuk memadukan ide hukum dengan realitas, susilaism dengan kulturism, dan kontinental dengan lokal.

Sematan Fakultas Hukum dengan pembelajaran yang didominasi dengan kurikulum undang-undang nasional sepintas boleh juga diterima keberadaannya karena, bagi Indonesia, tanpa adanya undang-undang, fenomena hukum dengan beragam teorinya tidak akan pernah nongol dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia, apalagi dalam kurikulum pendidikannya.

Di saat bersamaan pula mahasiswa dihadapkan pada komplekstias pelik undang-undang.

Pertama, fenomena produk hukum yang terus mengucur tidak terbendung. Teori “arus atas-bawah” dan “arus bawah-atas” menemui ambiguitas keabhsahannya. Sumber hukum tidak jelas asal-usulnya. Lembaga pembuat hukum tidak terhitung sudah mengeluarkan beraneka varian undang-undang dengan iming-iming keterdesakan dan kemaslahatan.

Kedua, krisis kepercayaan (trust) masyarakat terhadap hukum positif di Indonesia. Interpretasi hukum nyatanya perlu diagendakan secara terus menerus untuk memelihara kepercayaan itu, baik dalam bentuk “litera legis” atau “sentetia legis”. Bahkan dalam tahap gerak infleuncer dan populis keagamaan, di mana ulama maupun pastor ikut digerakkan oleh pemerintah, “trust” masyarakat itu masih belum dalam genggaman.

Baca Juga :  Moslow, Agama, dan Sains

Kemudian hadir dalam kompleksitas masalah kurikulum kefakultasan di mana, di awal-awal semester mahasiswa sekadarnya dibawa dalam permainan teori-teori hukum. Beranjak sedikit, mahasiswa dituntut menspesifikasi fokus kejuruannya dalam hukum, apakah Hukum Tata Negara, Hukum Dagang, Hukum Pidana atau Hukum Perdata? Sistem kurikulum yang saya kira tepat dalam mempelajari hukum secara parsial untuk menjawab permasalahan di atas.

Gantian pada masanya mahasiswa hukum secara idealis akan hadir sebagai agent of control dengan penguasaan pengetahuan dari kurikulum yang telah ditetapkan. Masalah teori hukum dengan beragam variannya, mahasiswa bisa mengembangkannya secara otodidak. Namun tidak berlaku dengan hukum dalam yurisdiksi lokal, hukum positif yang berlaku di Indonesia. Akan sulit ketika sistem kurikulum kefakultasan tentang undang-undang tidak menaruh perhatian besar dan mengalokasikan tempo yang cukup, terciptalah produk lokal dengan pemahaman “Barat”.

Dengan pola Fakultas Hukum yang demikian, saya melihat mahasiswa akan mampu menyatu dengan masyarakat melalui tatanan sistem nilai hukum yang sedang berlangsung dibangun dalam garis yurisdiksi lokal dengan tarikan sejarah Eropa kontinental.

Berita Terkait

Antara Putusan MK dan UU Pilkada, Ke Mana KPU Harus Merujuk?
Sakaratul Maut; Andaikata Lebih Jauh Lagi
Holupis Kuntul Baris: Merayakan Hari Kemerdekaan dengan Semangat Gotong-Royong
Roebling, Tak Sempurna; Namun Mampu Mewujudkan Cita-citanya
Menyikapi Ancaman Terorisme
Calon Tunggal, Kegagalan, dan Pragmatisme Partai Politik
Kiai Fikri Tidak Gagal dan Juga Tidak Pernah Membelot!
Menyoal Fenomena Calon Tunggal dalam Pilkada

Berita Terkait

Sabtu, 24 Agustus 2024 - 10:46 WIB

Antara Putusan MK dan UU Pilkada, Ke Mana KPU Harus Merujuk?

Jumat, 23 Agustus 2024 - 08:30 WIB

Sakaratul Maut; Andaikata Lebih Jauh Lagi

Sabtu, 17 Agustus 2024 - 13:55 WIB

Holupis Kuntul Baris: Merayakan Hari Kemerdekaan dengan Semangat Gotong-Royong

Jumat, 16 Agustus 2024 - 10:00 WIB

Roebling, Tak Sempurna; Namun Mampu Mewujudkan Cita-citanya

Minggu, 11 Agustus 2024 - 05:45 WIB

Menyikapi Ancaman Terorisme

Berita Terbaru