Adalah suatu hal yang lucu, dipikir-pikir, seseorang yang menyeru dan memekikkan semangat ke-Ahlussunnah wal Jama’ah-an tanpa disadari meringkut di ranah ideologi rival ideologi yang dikenal dengan sebutan ASWAJA ini.
Telah mafhum, ASWAJA adalah ideologi yang berdiri di garis moderat/tengah, yakni tanpa dipoles dengan liberalisme dan fatalisme. Ia berpangku pada empat mazhab: Imam Syafi’ie, Imam Malik, Imam Hambali, dan Imam Hanafi; sedangkan, secara sufistik, gaya tasawuf Al-Ghazali dan Imam Junaidi yang dipakai; tanpa terkecuali, golongan Asy-Ariyah dan golongan Maturidiyah, secara teologi, yang ia jadikan pedoman.
Ideologi ASWAJA yang tak asing lagi di telinga kita telah booming di saentero Madura. Sebagai pulau garam yang kuat dengan ajaran keagamaan serta pengamalan dalam kehidupan sehari-hari, dapat dikata sulit tersandera pemikiran-pemikiran asing—yang menurut penganut ideologi ASWAJA sendiri pemikiran-pemikiran asing itu adalah pemikiran yang sesat dan menyesatkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak banyak tragedi memalukan yang saya amati di pulau Madura. Sebagai misal, sikap seorang lelaki yang hendak menjalani pernikahan tanpa dibekali dengan “kemampuan” (al-istitha’ah) nafkah, yakni harta, untuk istri yang tanpa jelas di depan mata. Ia hanya berani memberi nafkah batin—bersetubuh—tanpa terkecuali. Fatalistik yang seakan-akan biasa sebenarnya telah mendengungkan ideologi golongan Jabariyah (fatalisme). Ke-PD-an yang membekas kuat di pikiran suami tak lain karena tradisi yang membentuknya: orang yang tak mampu secara ekonomi tak kenapa menjalankan pernikahan terlebih dahulu, sedangkan urusan ekonomi sebagai nafkah istri dan anaknya dapat dipikir-pikir nanti pasca pernikahan.
Nabi Muhammad saw. bersabda: Yaa ma’syar al-syabaab man istathaa’a minkum al-baa’ah falyatazawwaj fa innahu aghuddu li al-bashar wa ahshanu li al-farj waman lam yastathi’ fa alaihi bi al-shawm fa innahu lahu wijaa’—Wahai para pemuda, siapapun yang mampu di antara kamu menikah (al-ba’ah), maka menikahlah karena ia lebih mengekang pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan, siapapun yang tidak mampu menikah, maka sebaiknya ia berpuasa karena puasa itu menjadi tali kendali.
Hadits Nabi saw. ini dipaparkan secara terperinci dalam kitab Shahih Muslim bin Syarh al-Nawawi-nya Yahya bin Saraf Nawawi: Tentang kata “al-baa’ah”, ulama berbeda pendapat. Ada dua peryataan berkenaan dengan kata itu: [1] al-ba’ah adalah bersetubuh (al-jima’); dan [2] al-baa’ah berarti biaya pernikahan (mu’nah al-nikah). Jadi, yang dimaksud mampu bagi lelaki yang berkemauan nikah adalah yang mampu bersetubuh “atau” punya biaya untuk menjalani resepsi pernikahan.
Warna-warni pendapat ulama di atas, tentu, yang sering terlupakan adalah pendapat kedua. Untuk pendapat pertama, tak perlu diperbincangkan lagi: lelaki yang mengebu-gebu menikah banyak yang dikuasi nafsu, yakni memuaskan gelora nafsu yang mematuk-matuk.
Sikap fatalis sejatinya menjadi benalu terhadap kemandirian seseorang. Menjalani kehidupan rumah tangga tak seperti mengarungi kehidupan anak-anak atau hidup seorang diri. Butuh suatu kemandirian sebagai bentuk kedewasaan dalam menghadapi teka-teki hidup. Kecil-besarnya masalah tak segampang mengambil keputusan memutus tali pernikahan yang dibenci Allah swt. Kesiapan menafkahi istri dan anaknya nanti.
Suami adalah seorang imam yang menjadi pelindung dan penyejuk istrinya, sekaligus idola anak-anaknya. Dalam sebuah novel Andrea Hirata yang berjudul Ayah, diceritakan seorang ayah, Sabari, yang mampu menjadi idola anak semata wayangnya, Zorro. Menjadi idola, tak segampang mata berkedip, tapi Sabari tulus mendidik, mencintai tiada batas, dan menyapih Zorro kala belia dulu hingga bisa berjalan. Tak ayal, sikap dan kemampuan yang membekas dalam diri Sabari—sabar, pandai merangkai kata menjadi puisi, dan menyenangkan hati orang lain—mengalir otomatis kepada Zorro.
Memberikan nafkah kepada istri dan anaknya, wajib bagi suami. Hukum wajib yang dikemukakan ulama fiqh menjadi salah satu cara menghindari dosa pelaku dan ditelantarkannya istri dan anaknya karena tidak punya sepeser uang. Sehingga semangat hijrah dari meminta-minta tercapai. Dan, kekuatan iman yang melekat di dalam hati nurani mereka tidak roboh sebab ditukar dengan sebungkus nasi guna mengganjal perut yang menjerit-kelaparan.
Syukur, sikap pasrah yang membabi-buta ini masih dapat tertolong di Madura. Sebab, di sana penduduk hidup saling bantu-membantu, lebih-lebih mertua sendiri yang masih menyerukan anak perempuannya tinggal dan hidup bersama orang tuanya. Segala kebutuhan sedikit banyak ditanggung mertua perempuan. Sekalipun kita sebagai suami nggak punya uang alias kantong kosong masih bisa menambal kebutuhan istri kita dengan kemurahan dan kebelaskasihan mertua.
Coba kita bayangkan seandainya kita berkeluarga/meningkah dengan perempuan kelahiran Jawa—yang sejauh pengamatan saya disertai cerita-cerita teman-teman—bahwa setelah selesai akad nikah seorang perempuan yang sah menjadi istri kita, secara sah pula dilepas dari ketergantungan kepada mertua perempuan! Terus, apa yang kita perbuat seandainya saat itu pula kita tidak punya bekal yang berupa ekonomi? Mau ngutang sama istri kita? Malu. Mau diam? Tak bertanggung jawab.
Nah, sikap fatalis yang lama menggurita sebaiknya dibabat sedikit demi sedikit. Ahlussunah wal Jamaah yang telah mengajari kita berpikir netral, yakni tidak materialis dan fatalis, adalah suatu langkah menjadi suami/ayah sejati bagi istri dan anak-anaknya. Dialah ayah bertanggung jawab: memberikan nafkah, menyayangi, dan mendidik.