Oleh AHMAD FARISI*
Peristiwa politik-hukum belakangan ini memberi gambaran jelas tentang kondisi demokrasi kita hari ini: dilecehkan dan diperkosa oleh kepentingan oligarki politik.
Konstitusi diobarak-abrik, dibengkokkan, dan dijalankan sesuai dengan kepentingan pribadi. Pengkhianatan dan kemunafikan dipertontonkan, hukum dipermainkan, moral dan etika ditertawakan. Sementara perilaku politik yang amoral, yang penuh dengan kebohongan, dibenarkan, disanjung-sanjung, dan dianggap kebajikan.
Mahkamah Konstitusi (MK), yang didirikan untuk menjaga kesucian kitab suci bangsa, UUD 1945, (guardian of constitution) direcoki dan dirobohkan secara dekstruktif tanpa iba. Pada saat bersamaan, atas nama kestabilan investasi dan pembangunan, kritik publik dibungkam dengan pemidanaan. Alih-alih dianggap sebagai kritik atas penyimpangan.
Alhasil, bencana kehancuran politik pun tak terelakkan. Indeks demokrasi dan pemberantasan korupsi anjlok, jatuh dalam jurang pembusukan akut. Dan, begitu juga dengan indeks hukum kita, stagnan dan bahkan bisa dikatakan berada dalam titik nadir, pincang dan penyakitan. .
Jika menurut Gus Dur tidak ada jabatan yang mesti dipertahankan mati-matian. Apa yang dilakukan rezim hari ini justru sebaliknya, menghalalkan segala cara untuk mempertahankan tahta politiknya. Tak peduli meski harus merusak sistem hukum dan demokrasi kita.
Di hadapan kepentingan politik pribadi dan kelompok, hukum dan demokrasi yang dibangun seolah-olah tak ada harganya. Dengan mudah dirobohkan, tanpa berpikir bagaimana sejak dulu kita membangunnya. Yang bukan hanya meneteskan keringat, tapi juga darah dan banyak nyawa.
Demokrasi hanya dijadikan bungkus dari tindakan-tindakan pragmatis dan anti-demokrasi. Bukan dijadikan sebagai kompas penuntun kehidupan berbangsa guna mencapai cita-cita luhur publik secara umum.
Demikian pula dengan Pancasila yang merupakan warisan luhur dari para pendiri bangsa, hanya dijadikan sebagai hiasan dalam teks-teks pidato politik seremonial. Alih-alih diimplementasikan dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan pripurna dalam kehidupan politik di Tanah Air.
Di tangan rezim populis yang sangat pragmatis dan oportunistik seperti saat ini, Pancasila seperti kehilangan sakralitas dan kemewahannya.
Kondisi ini benar-benar bertolak dengan apa yang diperjuangkan pada Reformasi 1998 yang memperjuangkan demokratisasi, dan menentang KKN. Dikatakan bertolakbelakang sebab, apa yang kita anggap salah pada waktu itu, kini dianggap benar dan wajar. Lalu, mereka yang menentang dianggap tidak pro kemajuan dan menentang keputusan hukum negara.
Publik dipaksa untuk patuh pada apa yang diyakini sebagai sesuatu yang tidak etis dan irasional. Publik dipaksa untuk menerima segala bentuk kebohongan atas nama ketaatan pada keputusan hukum. Meski keputusan hukum yang tersebut jauh dari spirit demokrasi dan republikanisme.
Dan, ironisnya, kondisi semacam itu justru malah dibenarkan oleh aktor-aktor reformasi dan sebagian partai politik yang lahir dari rahim reformasi itu sendiri. Partai politik seperti kacang yang lupa pada kulitnya, lupa bahwa dirinya takakan pernah ada tanpa adanya peristiwa reformasi.
Sebagian di antara mereka, pribadi ataupun partai, seperti telah kehilangan identitas dan jati dirinya. Seperti robot-robot politik yang dengan mudah dapat disetir oleh kepentingan elite dan pasar. Tak peduli semua itu akan merugikan rakyat dan bangsa. Bahkan, juga tak peduli apakah semua itu menodai ideologi dan akal sehat mereka sebagai manusia politik.
Bahkan, di tengah proses pemilu yang sedang berlangsung, di antara mereka yang duduk memegang kuasa, ada yang tak ragu-ragu memanipulasi bantuan negara sebagai bantuan pribadi guna meraup dukungan elektoral. Dan bahkan, mereka yang berstatus sebagai perangkat negara, tanpa merasa berdosa menyatakan dukungan kepada salah satu capres-cawapres.
Kondisi politik yang kita hadapi hari ini memang tidak persis dengan apa yang kita alami di masa Orde Baru. Namun, ketidaksamaan itu dapat dipastikan hanya terletak pada “keterusterangan” dan “kepura-puraan” saja.
Di masa Orde Baru, meski di larang, lembaga dan perangkat negara secara terang-terangan mendukung rezim Soeharto secara elektoral. Hari ini, lembaga dan perangkat negara, secara sembunyi-sembunyi mendukung status quo dan lalu berpura-pura netral di hadapan mata khalayak. Ini bukan hanya jahat, tetapi juga penuh dengan kemunafikan politik yang paripurna.
Kesucian dan keluhuran demokrasi ditumbalkan, dan digadaikan kepada kepentingan elite-oligarki demi sebuah kemewahan materialisme, keempukan jabatan dan kekuasaan. Persis seperti dicatat oleh Edward Aspinall & Ward Barenschot (2019) dalam bukunya Democracy for Sale.
Maka karena itu, benarlah petuah yang pernah disampaikan Buya Syafi’I Ma’arif: Bangsa ini surplus politisi, defisit negarawan. Negarawan yang memandang jauh ke depan, tentang arah bangsa dan nasib rakyat. Karena itu, bisa dikatakan ini adalah ujian bagi kita sebagai pemegang kedaulatan. Akan menyelamatkan demokrasi dengan cara melawan, atau tunduk pada hegemoni kekuasaan, membiarkan demokrasi mati perlahan.
Menurut Erich Fromm (1990-1980): ”Sejarah umat manusia dimulai dari ketidakpatuhan, dan bukan tidak mungkin akan berakhir dengan kepatuhan.” Demikian pula demokrasi kita yang dihasilkan dari perlawanan terhadap otoritarianisme, 25 tahun lalu, bisa jadi juga akan berakhir dengan mengenaskan bila kita, di Pemilu 2024 ini, tunduk patuh pada rezim modal.
Artinya, jika di Pemilu 2024 ini kita tidak menemukan sosok negarawan terbaik untuk dijadikan pemimpin, maka harus kita pastikan bahwa mereka yang tidak memiliki keberpihakan pada demokrasi dan kepentingan publik, tidak memimpin kita lima tahun ke depan. Inilah jalan paling memungkinkan bagi kita untuk menyelematkan demokrasi dari cengkraman kapitalisme dan oligarki: mencegah yang terburuk berkuasa!
*) Pengamat Politik