Oleh SUJONO
Pesan Ini Kutulis Untukmu, Wahai Anakku…!
Aku tapaki jalan ini penuh pinta, Nak. Kesenangan adalah impian yang kusimpan untuk kuminta pada Tuhan ketika tubuh ini sudah menjadi tulang-belulang.
Tak ada yang abadi dari permainan dunia, sebagaimana hidup ini juga tidak abadi. Banyak sudah manusia yang mati, dan kita hanya menanti kematian dipergilirkan.
Mengenangkan orang-orang tercinta, wahai Anakku, adalah rasa hina karena tak sanggup membalaskan kebaikan-kebaikan mereka semua.
Betapa mudah hati lupa oleh kenikmatan yang tak seberapa ini. Lupa asal-usul, lupa tempat kembali sesudah mati, dan lupa pada tujuan penciptaan ini.
Maka aku pesankan, wahai Anakku, arahkanlah pandangan mata hatimu kepada hidup sesudah mati. Dan bahwa sesungguhnya kehidupan ini hanyalah saat untuk bersiap-siap.
Wahai Anakku…!
Aku tapaki jalan ini penuh airmata. Kudidik diriku untuk belajar melupakan rasa sakit dan tidak diam terpaku menanti waktu habis di pembaringan.
Anakku, izinkan Bapakmu ini belajar untuk memberi manfaat bagi manusia.
“Sesungguhnya keindahan hidup sebagai orang yang beriman kepada-Nya, adalah ketika kita bisa memberi manfaat atau ketika kita belum sanggup mengambil manfaat dari sesama”.
Anak-anakku, engkau adalah anugerah yang amat berharga dari Allah ‘Azza wa Jalla. Di saat Bapakmu dalam kegelisahan, kemanakah Bapakmu harus berlari kalau bukan kepada Allah?.
Dan engkau tahu, Anakku, Allah Ta’ala adalah sebaik-baik tempat meminta dan sebaik-baik pemberi. (Ia) lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Sesungguhnya, Tuhan-mu Maha Pemurah.
Rasanya, setiap kelahiran dari kalian adalah pelajaran berharga tentang kekuasaan, kasih-sayang dan ke Maha Pemurahan-Nya.
Teringatlah Bapak pada sebuah ungkapan;
“Sometimes accident is not accident at all – Kadangkala kecelakaan itu sama sekali bukan kecelakaan. Kesulitan itu sama sekali bukan kesulitan”.
Dawuh Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu;
“Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah di antara keduanya itu yang lebih baik bagiku”.
Wahai Anakku, belajarlah mencintai Tuhan-mu menurut cara yang dikehendaki oleh-Nya. Betapa banyak orang yang melakukan perjalanan menuju Allah (suluk), tetapi mereka melalui jalan yang tidak dikehendaki-Nya. Mereka mencipta sendiri jalan yang akan dilewati.
Mudah-mudahan dengan demikian, kesucian agama ini memancar dari setiap langkah yang engkau kerjakan.
Aku tulis pesan ini dengan sesungguh hati, Anakku. Meski jiwa Bapakmu masih rapuh dan iman ini masih sangat menyedihkan, tetapi sembari memohon pertolongan kepada Allah Yang Maha Menciptakan, izinkan Bapakmu ini mencoba sekali lagi untuk menjadi orangtua yang lebih baik; lebih menyejukkan kalian.
Wahai Anakku, gunakanlah rezeki yang dikaruniakan Allah kepadamu untuk meraih akhirat dan menjaga iman.
Janganlah engkau mengorbankan akhirat untuk dunia yang cuma segenggam.
Dan apabila engkau mampu, kejarlah akhirat dan sekaligus membuka pintu-pintu dunia.
Gunakanlah dunia untuk “membeli” akhirat. Sesungguhnya, tak ada ilmu pada Bapakmu ini, kecuali sangat sedikit saja.
Wallahu a’lam…!