Oleh AHMAD FARISI*
Dalam beberapa hari belakangan, para politisi dan sejumlah tokoh politik secara ramai-ramai berburu tiket menjadi calon wakil bupati Fauzi. Menariknya, hal itu tidak hanya dilakukan oleh politisi-politisi yang lemah secara kepartaian, melain juga dilakukan oleh politisi-politisi kawakan dari partai mapan seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Sejauh ini, setidaknya sudah ada tiga politisi mapan dari partai nahdliyin besutan Gus Dur itu. Di antaranya, 1) Hj. Nurfitriana Busyro (Anggota F-PKB DPRD Jatim 2019-2024); 2) H. Herman Dali Kusuma (Anggota F-PKB DPRD Sumenep 2019-2024); 3)KH. Abdul Hamid Ali Munir (Kda H. Hilman Dali Kusuma, Nurfitrian Busyro Karim, dan KH. Hamid. Selain mendaftarkan diri sebagai bacawabup Fauzi melalui partainya, mereka juga mendaftarkan diri sebagai melalui PDI-Perjuangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain nama tiga politisi itu, nama-nama lain yang juga telah tercatat mendaftarkan diri sebagai cawabup adalah: 1) Faisal Muhlis (Ketua DPD PAN Sumenep); 2) KH. Qusyairi Zaini (Pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Ulum Utara Gaduh Barat, Ganding); 3) Syamsul Arifin (Kepala Desa Tambaagung Barat, Ambuten); 4) Hj. Dewi Khalifah (Wakil Bupati Sumenep 2020-2024).
Lalu, pertanyaannya kemudian, mengapa politisi-politisi mapan itu justru sibuk memperebutkan tiket cawabup Fauzi, bukan cabup, menantang pertahana? Bukankah, PKB utamanya, sudah sangat memenuhi ketentuan ambang batas untuk mengusung calon bupati sendiri?
Secara perolehan suara, PKB memang sudah memenuhi ambang batas 20 persen. Begitupun dengan partai-partai yang lain jika mau menjalankan skema koalisi. Namun, pilihan itu sengaja tidak diambil (setidaknya dihindari) oleh partai dan politisi kita. Dan memilih untuk beramai-ramai berburu tiket cawabup Fauzi.
Fenomena ini tentu tidak lepas dari posisi Fauzi sebagai pertahana atau incumbent. Yang sedikit banyak, memiliki cukup banyak akses dan sumber daya untuk memenangkan kontestasi Pilkada Sumenep 2024. Yang barang tentu sulit untuk dikalahkan. Meski tidak muhal.
Jadi, jika kita mau berhitung secara pragmatis, posisi paling aman bagi politisi adalah menjadi pendampingnya. Dengan menjadi pendampingnya, kemungkinan untuk menang bagi para politisi dan tokoh politik yang telah mendaftarkan dirinya sebagai cawabup melalui PDI-P maupun PKB lebih terbuka dan memungkinkan.
Selain itu, dalam jangka panjang, posisi wabup nantinya akan menjadi sesuatu yang cukup bernilai di Pilkada mendatang. Pilbup 2024 adalah Pilbup terakhir bagi Bupati Fauzi. Jika di November mendatang ia terpilih kembali, maka otomatis ia tak punya kesempatan lagi untuk nyabup. Dan, pada konteks ini, tentu adalah peluang emas bagi sosok yang berhasil mendampingi Bupati Fauzi di masa kini untuk mengorbitkan diri, menjadi bupati selanjutnya.
Partai dibentuk bukan sekadar sebagai kalkulator politik, yang melulu berhitung soal menang kalah.
Karena itu, secara matematik, pilihan sejumlah politisi yang mengambil langkah mendaftarkan diri sebagai cawabup, daripada cabup, rasanya cukup rasional. Sebab, hanya pilihan itulah yang memberi banyak peluang kemenangan dan sedikit resiko kekalahan. Juga, peluang emas di masa depan. Dan hal ini, sudah lumrah dilakukan oleh para politisi dan partai politik di sejumlah daerah, yang kemudian menyebabkan banyak paslon kepala daerah melawan kotak kosong.
Namun, jika semuanya bermimpi menjadi cawabup Fauzi, lalu siapa yang akan menjadi penantang? Akankah Pilkada Sumenep dibiarkan hanya satu paslon, melawan kotak kosong? Di sinilah kiranya penting bagi politisi dan partai untuk berhitung ulang. Jangan sampai Pilkada Sumenep berlangsung lesu tak karuan.
Partai punya tanggung jawab untuk melahirkan kader politik untuk kemudian ditawarkan kepada publik pemilih. Partai dibentuk bukan sekadar sebagai kalkulator politik, yang melulu berhitung soal menang kalah. Begitupun juga politisi, juga bukan sebatas dagelan politik yang tidak memiliki karakter dan pendirian.
*) Pengamat politik