Kitab terakhir orang Islam yang hingga kini masih eksis dan dibaca setiap waktu adalah Al-Qur’an. Itu merupakan kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai nabi terakhir.
Al-Qur’an merupakan suatu nama yang terambil dari kata kerja qara’a yang pada mulanya berarti menghimpun. Apabila ada serangkaian huruf atau kata kemudian rangkaian tersebut diucapkan, maka yang demikian itu adalah menghimpunnya yakni membacanya.
Terlepas dari asal kata Al-Qur’an tersebut penting, kita menggarisbawahi bahwa membaca adalah suatu aktivitas yang dibutuhkan guna menghindar dari jerat kebodohan. Al-Qur’an dengan makna membaca telah terekam dalam surah al-Alaq ayat 1: Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ayat 1 tersebut merupakan di antara sekian ayat yang diturunkan pertama kali kepada Nabi Muhammad Saw. di gua Hira.
Prof. Quraish Shihab menulis dalam Tafsir Al-Mishbah, bahwa ayat tersebut tidak menyebut objek bacaan, sementara Jibril as. tidak membacakan satu teks tertulis, sehingga beliau tidak bisa menjawab pertanyaan: Ma aqra’/Apakah yang saya harus baca?
Peristiwa turunnya ayat ini mengajarkan kita beberapa hal. Di antaranya, pendidikan dan pembelajaran membaca guna menjalani hidup. Sebab, membaca itu dapat menata cara berpikir yang kemudian menjelma menjadi perilaku.
Kita bisa melihat para ulama/cendekia yang banyak berkarya. Semisal, Al-Ghazali yang menyelami aneka ilmu pengetahuan: teologi, filsafat, hingga tasawuf. Demikian, Imam Syafi’ie yang dikenal alim dan pakar pelbagai ilmu, yaitu ilmu fikih, usul fikih, tafsir, dan lain-lain.
Beberapa pakar tersebut hanya sebatas contoh yang dapat saya ungkap. Sejatinya, masih banyak pakar yang selevel dengannya.
Mereka menjadi demikian bukan sebuah kebetulan, melainkan melalui proses membaca yang dilalui semaksimal mungkin. Sehingga, setelah berpayah-payah, mereka tinggal menikmati hasilnya.
Al-Qur’an pun demikian. Kalamullah ini bukan hanya sebatas dijadikan pajangan/hiasan, tetapi juga dibaca ayat demi ayat, baik setiap waktu, setiap hari, ataupun di kala sempat.
Lebih dari itu, Al-Qur’an ditelaah pesan-pesan yang tersurat. Hal ini tidak mudah. Hanya orang yang berbekal pengetahuan mumpuni yang dapat menyelami pesan-pesan ini. Mereka adalah mufasir (reader).
Sebut saja, Ath-Thabari melalui Jami’ al-Bayan, Fahruddin Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, Wahbah Az-Zuhayli dengan Al-Tafsir al-Munir, Buya Hamka atas Tafsir al-Azhar, dan beberapa mufasir yang lain.
Yang awam dan belum mampu menjadi mufasir dicukupkan membaca tafsir-tafsir karya mereka. Sebab, tafsir ini banyak membantu kita yang kurang mampu memahami pesan Allah Swt. tanpa ijtihad.
Nah, bila Al-Qur’an hadir kemudian disambut dengan semangat kita membaca dan menelaahnya, maka tercapailah pesan-pesan Allah Swt. yang tersurat.
Merekalah yang termasuk orang-orang beruntung.[] Shallallah ala Muhammad.