Seiring dengan perkembangan wacana penundaan pemilu yang dimotori sejumlah elite partai dan wacana amandemen yang mengiringinya, saya berpikir dan bertanya: “jika ada kekuatan politik besar yang hendak merusak konstitusi, siapakah yang berwenang menjaga konstitusi?
Menurut Pasal 3 ayat (1) UUD 1945, yang berwenang mengubah konstitusi adalah MPR.
Walhasil, dengan demikian, dapat dipahami bahwa pintu masuk untuk merusak konstitusi itu adalah MPR. Setidaknya via amandemen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jadi, secara tidak langsung, secara posisi MPR punya peran untuk menjaga konstitusi agar terhindar dari pengrusakan kekuatan politik yang hendak mengacak-acak konstitusi.
Namun, pertanyaannya kemudian: apakah MPR masih bisa dipercaya? Bukankah MPR adalah lembaga negara yang sarat dengan tarik menarik kepentingan?
Juga, bukankah mayoritas anggota MPR adalah anggota DPR? Yang mana, keanggotaan DPR itu sendiri adalah yang paling ‘tidak steril’ dari kepentingan partai.
Jadi, sekali lagi, siapakah yang berwenang dan dapat dipercaya untuk menjaga konstitusi? Apakah UUD itu sendiri, berdasarkan Pasal 37 tentang mekanisme pengubahan konstitusi?
Pada pertanyaan terakhir di atas, jawabannya bisa “iya”.
Namun, saya masih ragu bahwa melalui Pasal 37 konstitusi mampu menjaga dirinya sendiri. Sebab, model penjagaan (pagar) UUD 1945 atas dirinya itu amatlah rapuh.
Dikatakan rapuh sebab, bagi kekuatan politik –jangankan menguasai separuh parlemen, dengan mengusai sepertiga parlemen saja, sebuah kekuatan politik sudah bisa mengotak-atik konstitusi.
Lalu, dengan demikian, haruskah dibentuk lembaga baru penjaga konstitusi yang independen? Jawabannya adalah “tidak”.
Selain tidak lumrah dan terkesan mengada-ada, jika pun, misal, dibentuk lembaga baru semacam itu, kita pun masih bisa mempertanyakan: bisa dipercaya-kah lembaga baru tersebut? Tentu jawabannya juga “tidak”.
Karena itu, saya lebih memilih model penjagaan konstitusi dilakukan oleh konstitusi itu sendiri. Namun, posisinya harus jauh lebih diperkuat lagi.
Penguatan ini bukan dimaksudkan untuk menutup perubahan. Tapi untuk mencegah pengrusakan konstitusi oleh gerombolan kekuatan politik besar.
Oleh sebab itu, sebelum melakukan amandemen terhadap sejumlah pasal dalam UUD (menambah atau mengurangi), sebaiknya amandemen dilakukan terhadap Pasal 37 itu dulu, dilakukan penguatan.
Sehingga dengan demikian, menjadi tak mudah bagi kekuatan politik besar mana pun untuk mengotak-atik konstitusi.
Soal model penguatannya seperti apa, itu bisa dicari. Kita bisa memikirkan hal itu secara bersama-sama.
Atau, bisa mencontoh punya negara-negara lain yang layak untuk dicontoh. Seperti Pasal 7 UUD 1945, misalnya, yang dulu kita contoh dari konstitusi Amerika.
Namun, jika kita sama-sama mau, saya lebih setuju untuk memikirkannya sendiri. Sebab, sampai kapan kita harus terus-terusan mencontoh.
Soal gaya hidup saja kita sudah banyak mencontoh mereka, apa iya soal mengelola negara juga harus mencontoh.
Lama-lama kita bisa menjadi bangsa pencontoh!
Soal gaya hidup, karena sudah terlanjur, kita maklum. Tapi, soal pengelolaan negara, kita harus menjadi contoh.
Menjadi contoh, dalam hal ini, paling tidak, dalam hal penjagaan konstitusi oleh konstitusi itu sendiri.