Oleh Farisi Aris*
Jejak kepahlawanan santri tak diragukan lagi. Resolusi Jihad (maklumat yang dikeluarkan oleh Mbah Hasyim As’ari agar kiai-santri ikut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan adalah bukti tak terbantahkan tentang kepahlawanan santri.
Dengan resolusi jihad itu, santri ikut terlibat menjadi penjaga kedaulatan bangsa Indonesia yang hendak dijajah kembali Belanda. Bagi para santri, menjaga kemerdekaan adalah wajib.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena itu, adalah wajar bila negara memberi kado istimewa berupa Hari Santri Nasional yang diperingati saban 22 Oktober sejak 2015 lalu.
Pemberian kado istimewa itu wajar karena santri memiliki peran yang besar dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Meski saat itu kaum santri bukan satu-satunya yang ikut dalam usaha itu, akan tetapi santri telah memberi sumbangan berarti bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih itu.
Akan tetapi, meski begitu, kaum santri tidak boleh berpuas diri. Sebab, pada kenyataannya jihad kebangsaan santri belumlah usai. Apa yang dilakukan oleh sejumlah kiai dan santri pada 22 Oktober 1945 sebenarnya bukanlah akhir dari segalanya.
Bahkan, bisa dikatakan, perjuangan para kiai dan santri pada 22 Oktober 1945 barulah awal dari jihad kebangsaan yang sesungguhnya.
Perang melawan penjajahan dan kolonialisme memang telah usai. Akan tetapi, sejumlah masalah-masalah kebangsaan yang senantiasa mengancam keutuhan bangsa Indonesia masih terus mengintai.
Ancaman radikalisme, intoleransi, dan provokasi adalah tiga daftar ancaman keutuhan bangsa Indonesia yang bisa kita sebut dari beberapa masalah lainnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, ancaman intoleransi dan provokasi itu terasa begitu nyata. Saban waktu, berbagai macam provokasi dan adu domba terus diproduksi.
Dan tak ayal, bangsa kita pun terpecah belah hingga ke tingkat yang paling mengkhawatirkan. Sesama anak bangsa, kita dibuat tidak rukun oleh virus-virus intoleransi dan provokasi itu.
Karena itu, dengan hal ini, segera menjadi jelas bahwa jihad kebangsaan santri belumlah usai. Masih banyak hal yang harus dilakukan oleh kaum santri untuk bangsa Indonesia.
Karena itu, kaum santri senantiasa harus menjadi pahlawan yang tak lekang digerus zaman. Keberadaannya di era di mana penjajahan telah bermetamorfosis ke dalam berbagai bentuk, para santri senantiasa harus melakukan pembaharuan niat dan memaknai kehadiran untuk berbuat yang terbaik untuk bangsa Indonesia.
Substansi dari resolusi jihad bukanlah semata melawan penjajah. Tetapi melindungi dan menjaga bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, apa pun yang mengancam keutuhan dan kedaulatan bangsa Indonesia semua itu harus dilihat sebagai ancaman bagi bangsa ini di mana santri harus mengambil peran aktif.
Zaman telah berkembang dengan pesat dan cepat. Masalah-masalah kebangsaan yang dihadapi Indonesia pun tidak sama dengan masalah yang dihadapi 76 tahun lalu.
Karena itu, dalam hal ini santri harus pandai-pandai diri membangun merumuskan ijtihad gerakan. Agar, jihad kebangsaan yang telah dilakukan oleh kaum santri tidak stagnan dalam sejarah yang kelam dan yang telah berlalu.
Jejak resolusi jihad, alih-alih diagung-agungkan, keberadaannya harus dibaca secara proporsional agar kaum santri bisa memperoleh inspirasi dalam merumuskan basis gerakannya di kehidupan masa kini.
Sejarah hadir bukan hanya untuk dikenang. Lebih dari itu, sejarah hadir untuk menjadi pelajaran berharga bagi kita semua untuk membangun kehidupan.
Sejarah kepahlawanan santri memang tidak diragukan lagi. Akan tetapi, santri-santri masa kini harus pandai-pandai merumuskan posisinya dalam rangka meneruskan jejak kepahlawanannya itu.
Jejak sejarah bersifat abadi. Namun, apa guna jika roda sejarah itu terhenti dan tidak berkelanjutan? Tentu sangat disayangkan.
Oleh sebab itu, sejarah kebangsaan santri harus terus dilanjutkan. Jihad kebangsaan santri belumlah usai. Bahkan, tantangan yang hari ini dihadapi bangsa Indonesia semakin kompleks.
Sebagai salah satu pemilik sejarah kepahlawanan, santri harus mampu mengaktualisasikan dirinya, berdiri di garda terdepan menjadi pahlawan sepanjang zaman.
*) Farisi Aris, penulis lepas, mukim di Yogyakarta