Wacana ‘kampus sebagai tempat kampanye’ yang digulirkan oleh Ketua Umum Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari, menarik untuk didiskusikan.
Menurut Hasyim, dengan merujuk pada penjelasan Pasal 280 ayat 1 poin H Undang-Undang Pemilu Tahun 2017, kampanye di kampus bukanlah hal yang terlarang.
Dengan catatan, para peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu dan kedatangannya pun atas undangan dari penanggung jawab pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Wacana ini seketika memantik perdebatan publik. Ada yang setuju dengan catatan harus merevisi UU Pemilu.
Ada pula yang kontra alias tidak setuju karena menganggap penyelenggaraan kampanye di kampus terlalu riskan dan penuh berisiko.
Tulisan ini tidak akan membahas sisi yuridis (boleh tidaknya) pelaksanaan kampanye dilakukan di kampus.
Lain daripada itu, tulisan ini akan berfokus pada analisis dampak positif dan konsekuensi buruk jika kampus dijadikan tempat penyelenggaraan kampanye politik.
Dampak positif
Dalam sejarah pemilu Indonesia, kita belum pernah menjadikan kampus sebagai salah satu tempat kampanye.
Bahkan, dengan merujuk pada Pasal 280 UU Pemilu, tanpa melihat pada penjelasan pasal tersebut, kampanye di kampus dianggap sebagai sesuatu yang tabu, bahkan dianggap menyalahi norma hukum yang ada, terlarang.
Padahal, menjadikan kampus sebagai salah satu tempat kampanye telah menjadi pilihan ideal di beberapa negara (seperti Amerika Serikat) karena memiliki dampak yang positif.
Salah satu di antaranya adalah, semakin mendekatkan diskursus politik kita dengan wacana-wacana akademik yang ilmiah, yang menjawab permasalahan.
Sejauh ini, diskursus politik kita –khusnya setiap kali menjelang pemilu– masih jauh dari kematangan, tidak terkonsep, sehingga wacana yang muncul ke permukaan penuh tidak menjawab permasalahan, dan tidak bisa dipertanggung jawabkan secara akademik; sehingga wacana-wacana itu menjadi tak lebih dari sekadar gelembung politik.
Karena itu, tidak terlalu mengejutkan jika dalam realitasnya, kemudian praktik politik kita kerap menampilkan wajah yang labil, yang tidak bisa diharapkan dan tidak bisa dijadikan tumpuan harapan.
Sebab, sejak dalam level wacana, praktik politik kita sudah menampilkan realitas yang palsu, yang ilusif, yang jauh dari persoalan yang terjadi.
Dalam hemat penulis, kondisi itu akan sangat berbeda jika kampanye dilakukan di kampus, diskursus politik yang muncul mesti akan menampilkan wajah akademis, ilmiah dan berdasarkan pada kondisi real yang sedang terjadi.
Dengan begitu, ke depan dunia kampus juga akan lebih aktif ikut menyikapi isu-isu politik kontroversial yang terjadi di negeri ini.
Sebab, dengan kampanye dilakukan di kampus, maka, mau tidak mau, para politisi akan dituntut untuk mempertanggungjawabkan visi misi politiknya secara akademik, tidak hanya sekadar berkampanye tanpa dasar.
Selain itu, dampak positif lainnya jika kampanye politik digelar di kampus, maka diakui atau tidak hal itu akan semakin memudahkan dunia akademik kita untuk melakukan pengawasan terhadap para politisi terpilih.
Bahkan, lebih jauh dari itu, nantinya kampus juga bisa melakukan intervensi akademik kepada politisi terpilih dengan meminta pertanggungjawaban terhadap janji-janji politiknya.
Dengan begitu, ke depan dunia kampus juga akan lebih aktif ikut menyikapi isu-isu politik kontroversial yang terjadi di negeri ini.
Sehingga, dengan hal itu, keberadaan kampus juga mampu menjadi penyeimbang laku politik kekuasaan yang kerap kali arogan.
Yang pada tahap selanjutnya akan menjadikan sebagai kekuatan politik akal yang senantiasa berpihak pada hak-hak dan kepentingan-kepentingan masyarakat akar rumput.
Konsekuensi buruk
Akan tetapi, meski demikian dampak positif yang kita perhitungkan, bukan berarti penyelenggaraan kampanye politik di kampus itu bebas konsekuensi buruk.
Konsekuensi buruk yang paling mungkin terjadi adalah terjadinya patronase politik antara pihak kampus dan politisi itu sendiri.
Meskipun nantinya sistem dan pelaksanaan kampanye di kampus disusun serapi mungkin, bukan tidak mungkin akan ada suara yang berbicara di luar sistem yang memungkinkan patronase politik itu sendiri terjadi.
Setidaknya hal ini akan terjadi karena dua faktor: pertama, adanya simpati (keberpihakan) politik elite kampus terhadap suatu calon.
Kedua, afiliasi kampus itu sendiri. Memang, secara institusional-kelembagaan kampus tidak pernah (dan tidak akan pernah) mengatakan bahwa pihaknya berafiliasi pada calon tertentu.
Akan tetapi, terjadinya afiliasi politik secara informal tampaknya sangat sulit untuk dihindari.
Kampus –sebagai pemelihara kebenaran– hanya akan tinggal nama.
Hal ini tentu tidak baik bagi eksistensi dan masa depan kampus. Selain akan menciptakan polarisasi di internal kampus itu sendiri –karena ketidaksamaan simpati dan afiliasi politik, misalnya– kondisi di atas tentu juga akan mencabik-cabik kesucian kampus.
Kampus –sebagai pemelihara kebenaran– hanya akan tinggal nama.
Karena itu, wacana yang hendak menjadikan kampus sebagai salah satu tempat kampanye ini harus diperhitungkan secara matang.
Selain harus memperhatikan sisi yuridisnya, dampak positif dan konsekuensi buruknya juga harus diperhitungkan secara saksama agar kebijakan yang diambil bukan hanya bijak, tetapi juga bajik.