Semangat Otonomi Daerah
Semangat otonomi daerah adalah semangat demokratisasi dan desentralisasi. Semangat demokratisasi dan desentralisasi yang merupakan semangat otonomi daerah ini muncul sebagai sebuah respon civil society atas kekuasaan Orde Baru (Orba) yang otoriter, sentralistik, manipulatif, dan koruptif. Publik kehilangan kepercayaan dan kesabarannya. Tak pelak, muncullah sebuah gerakan—yang kita sebut dengan reformasi 1998—yang kemudian menumbangkan Orba dengan dua misi utama itu. Sebagai sebuah upaya untuk menuju “Indonesia baru” yang lebih baik dan demokratis.
Gayung bersambut, gerakan dan konsolidasi demokrasi politik yang mengarah ke Indonesia yang lebih demokratis terus dilakukan. Kran-kran demokrasi dibuka lebar. Partai politik tumbuh subur. Pemilu demokratis (Pemilu 1999) dilaksanakan. Sebuah harapan tentang Indonesia baru membentang di depan mata. Para kepala daerah, yang semula didominasi dan dikooptasi oleh kalangan militer, sejak reformasi 1998 bergulir dominasi militer tidak lagi terjadi. Kepala-kepala daerah dipilih secara demokratis. Dominasi militer kehilangan kekuatannya pada saat bersamaan dengan runtuhnya Orba.
Pada bulan Mei 1999, setahun pasca kejatuhan Soeharto, DPR menetapkan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang-undang No. 5 Tahun 1974 dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai ikhtiar untuk mewujudkan cita-cita reformasi. UU baru terkait desentralisasi itu menandai langkah-langkah awal dalam penataan pemerintahan daerah di Indonesia, sebuah elemen yang signifikan dalam mere-negosiasi hubungan antara otoritas nasional dan otoritas di tingkat lokal (Abdul Gaffar Karim, 2020).
Konsolidasi demokrasi yang terjadi di parlmen itu adalah implikasi paling awal dalam proses renegosiasi dan devolusi kewenangan dari pusat ke daerah, khususnya saat kedua undang-undang desentralisasi itu resmi diterapkan pada 2001 (Abdul Gaffar Karim, 2020). Menurut Didik Sukriono (2013) dalam Hukum, Konstitusi dan Konsep Otonomi Daerah, diterapkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang merupakan hasil revisi dari Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tak lain adalah untuk menggeser “pendulum” sentralisasi kekuasaan ke arah definisi desentralisasi itu sendiri.
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 itu menyebutkan bahwa: “desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Rumusan definisi desentralisasi ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan definisi desentralisasi dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan (masalah teknis) dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penyerahan wewenang otonom dari pemerintah pusat terhadap daerah itu diharapkan agar daerah punya kemerdekaan untuk mengelola daerah otonomnya sendiri dengan segala potensi dan SDM yang dimiliki. Sehingga dari situ daerah-daerah yang ada (mulai dari daerah provinsi, kota dan kabupaten) diharapkan bisa mandiri secara ekonomi dan politik untuk mempercepat pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Namun tetap berada dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tubir Korupsi
Di satu sisi, sistem otonomi daerah proyek reformasi telah memberi wajah baru bagi demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia yang lebih demokratis. Tetapi di sisi lain justru malah menjadi parasit tersendiri bagi bangsa ini. Alih-alih menjadi mesin politik pembangunan daerah dan ekonomi kerakyatan sebagaimana diharapkan, sistem otonomi daerah yang kita laksanakan dengan kewenangan otonom justru menjadi “tubir” di mana para kleptokrat dan koruptor bebas keluar-masuk merampok uang negara.
Di Jawa Timur, sepanjang 2017-2021setidaknya sudah ada 4 wali kota dan 9 bupati yang terseret kasus korupsi. Terbaru adalah kasus korupsi yang menyeret nama Bupati Probolinggo, Puput Tantriana Sari. Cerita ironis lainnya tentang korupsi kepala daerah juga datang dari Jawa Barat (Jabar). Sejak 2004-2020 Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) mencatat sebanyak 101 kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah telah terjadi di Jabar. Pola korupsi yang terjadi di Jabar terbilang cukup masif.
Kabupaten Bandung Barat (KKB), sejak memisahkan diri dari Kabupaten Bandung pada 2007 kepemimpinan daerahnya selalu diwarnai oleh kepala daerah yang koruptif. Bupati Bandung Barat, Abu Bakar (bupati dua periode 2007-2018) didakwa menerima setoran dari para Satuan Kinerja Perangkat Daerah (SKPD). Aa Umbara Sutisna (2018-2023) terjerat kasus korupsi pengadaan barang tanggap bencana darurat Covid-19 pada 2020 lalu. Selain KKB, hal yang serupa juga terjadi di Kabupaten Cimahi dan Subang.
Di Cimahi kasus korupsi dilakukan oleh Itoc chija (2001-2012), Atty Suharti (2012-2017), dan Anjay M Priatna (2017-2022). Sementara di Subang, kasus korupsi kepala daerah dilakukan oleh Eep Hidayat (2003-2013), dan Ojang Suhandi (2013-2018), ( Kompas, 4 April 2021). Dan tentu, data kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah yang penulis masukkan di sini hanyalah sebagian kecil dari kasus korupsi yang menyeret nama para kepala daerah. Yang artinya, kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah masih banyak di luaran sana yang tak penulis masukkan.
Namun, terlepas dari semua itu, menarik untuk kita pertanyakan: Mengapa kasus korupsi yang melibatkan sejumlah kepada daerah itu terjadi secara sangat masif? Bukankah itu sama saja dengan mengkhianati cita-cita reformasi? Mungkinkah biaya pemilu dan ongkos politik yang mahal menjadi biang menjamurnya kasus korupsi kepala daerah? Atau, jangan-jangan semua ini adalah dampak fatal dari kerusakan mesin politik kita yang bernama “parpol”? Saya kira hal ini perlu menjadi agenda evaluasi politik kita, demi mendorong efektivitas pelaksanaan otonomi daerah yang demokratis, efisien, dan akuntabel.