Pada zaman yang jauh. Zaman sebelum Islam benar-benar tersebar luas. Zaman di mana generasi sahabat masih bisa secara langsung menyaksikan serta mendengarkan apa yang dicontohkan dan disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. Sang Manusia Agung itu menyampaikan kepada para sahabat bahwa hidup laksana sebuah perahu berlayar mengarungi samudra.
Kala itu dunia tak begitu ingar bingar, kesunyian mengendap di mana saja dan menjernihkan pikiran. Sementara hari ini, kemajuan teknologi memang telah banyak mempermudah urusan manusia, tetepi di sisi lain orang-orang justru juga banyak kehilangan. Kehilangan terbesar yang dialami manusia modern adalah kehilangan kesunyian. Ia pun lupa hidup yang kompleks perlu direnungkan.
Alpanya manusia dari merenungkan hidupnya hari ini telah membuat dirinya terjebak pada keinginan-keinginan semu yang dibentuk oleh trend dan mode. Manusia nyaris tidak memiliki lagi kesadaran luhur. Padahal sebagai makhluk, sejatinya manusia hanya melakukan perjalanan dan singgah di dunia. Oleh karena itu, dunia bukan tujuan akhir dari sebuah perjalanan apalagi untuk tinggal dan menetap selamanya.
Di tengah ingar bingar kehidupan modern yang kian menyeret manusia pada arus yang membuat lupa pada dirinya, sudah semestinya untuk merenungkan apa yang disampaikan Nabi berabad-abad lalu: manusia sebagai sebuah perahu. Rasulullah menyampaikan tiga pesan penting. Tiga pesan itu merupakan langkah bagi manusia agar menjadi perahu yang selamat dalam pelayaran mengarungi samudra dan berlabuh dipulau impian, yaitu surga.
Pertama, ibarat sebagai sebuah perahu manusia harus selalu baharu dalam perjalanannya. Kebaharuan adalah niscaya. Sebab, sebuah perahu selalu harus dalam kondisi terbaik supaya tak mudah karam oleh badai dan gelombang dalam pelayarannya. Begitupun manusia ia harus selalu baharu di setiap harinya. Jika perahu harus selalu dipastikan keadaannya dengan cara memeriksa seluruh bagiannya, maka begitupun manusia, ia harus selalu introspeksi diri setiap saat. Melalui introspeksi manusia akan mengerti kekurangan dalam dirinya sehingga ia pun tahu hal apa yang harus dilakukan untuk memperbaikinya. Dengan demikian, tiap saat manusia akan senantiasa menempuh perjalanan dengan diri yang baharu.
Kedua, manusia sebagai sebuah perahu yang melakukan perjalanan harus selalu memastikan perbekalannya. Perbekalan yang ia bawa harus dipastikan cukup untuk mengantarkan dirinya dengan tenang hingga pelabuhan terakhir yang di dambakan, yaitu surga. Ibarat perahu yang melakukan perjalanan jauh, manusia sejatinya dapat mengumpulkan perbekalan sebanyak-banyaknya ketika di dunia.
Ibarat sebagai sebuah perahu yang melakukan pelayaran, selain tiap saat manusia harus memastikan kebaharuan dirinya serta mengumpulkan bekal sebanyak mungkin, keempat, ia harus juga membuang segala sesuatu yang dapat menghambat perjalanannya. Dunia sebagai tempat singgah dalam perjalanan panjang yang dilakukan manusia, sengaja maupun tidak, ia tidak dapat menumpuk hal-hal yang dapat menghambat perjalanannya. Hal-hal yang bisa menghambat perjalanan manusia mewujud dalam bentuk dosa kecil maupun besar sehingga bekal-bekal yang telah dikumpulkan, berupa pahala, bisa menjadi hangus bahkan tak tersisa. Dengan begitu, bukan tidak mungkin perahu akan tenggelam sebelum sampai di pulau impian.
Demikianlah Rasulullah saw berpesan kepada manusia agar selalu mawas diri terhadap keberadaan dirinya sendiri (*)
*Peminat Kajian Keislaman dan Kebudayaan