Oleh Farisi Aris*
Salah satu isu populis yang sampai kini terus menjadi sorotan adalah isu kesejahteraan. Hal itu terjadi karena isu kesejahteraan sendiri sangat berkaitan erat dengan hajat dan kebutuhan orang banyak. Karena itu, tak ayal bila hampir di setiap momentum politik, isu kesejahteraan selalu menjadi visi dan tema kampanye politik yang seksi dan menarik. Dalam setiap momentum, nyaris isu kesejahteraan tidak pernah absen diwacanakan.
Akan tetapi, setelah beradab-abad lamanya, upaya mewujudkan kesejahteraan itu tak kunjung menemukan momentumnya. Kemiskinan, kesenjangan, dan ketimpangan ekonomi masih saja menjadi momok menakutkan. Pun pasca Perang Dunia II sebuah tata ekonomi baru telah dilakukan, namun semuanya hanya menjadi ”dialog-dialog politik utopis” antara Selatan dan Utara yang tidak pernah kelihatan bentuknya (John Kenneth, 1979).
Kesejahteraan di balik isu desentralisasi dan demokratisasi
Indonesia ikut terlibat dalam upaya mengentaskan kemiskinan itu. Pada Mei 1998, sebuah gelombang reformasi bergulir secara heroik. Presiden Soeharto dilengserkan dari kursi jabatannya sebagai presiden. Gelombang gerakan reformasi itu datang dengan dua visi dan tuntutan besar, yakni desentralisasi dan demokratisasi (Gaffar Karim, 2020).
Visi desentralisasi dan demokratisasi itu diusung sebagai antitesis dari sentralisasi (ideologi terpusat) Orde Baru yang mengkooptasi politik semata sebagai “urusan Jakarta”. Dengan desentralisasi dan demokratisasi itu, harapannya publik bisa memutuskan sendiri nasib dan takdir ekonomi-politiknya tanpa melulu menunggu ”keputusan Jakarta”.
Upaya itu berhasil. Otonomi daerah mengalami pelebaran makna, secara administratif ataupun secara politis. Namun, seperti halnya dialog Selatan dan Utara yang merumuskan tata ekonomi baru pasca Perang Dunia II, upaya mewujudkan kesejahteraan ekonomi melalui gerakan desentralisasi dan demokratisasi itu juga tidak menemukan wujud nyatanya.
Desentralisasi dan demokratisasi yang diupayakan sebagai upaya untuk mendekatkan demokrasi dengan masyarakat (Cohen, 2010) menuai jalan buntu. Fakta lapangan menunjukkan, pun desentralisasi dan demokratisasi telah dilakukan, banyak daerah yang sampai hari ini tetap tak berdaya mewujudkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Bahkan, fenomena yang ada menunjukkan tren pemekaran-pemekaran daerah (desentralisasi) yang terus menggeliat, bukannya semakin melancarkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, tetapi justru malah menghambat dan mempersulit pembangunan. Pola pembangunannya menjadi semakin berbelit-belit.
Sumenep sebagai salah satu contoh utama
Dalam hal kaitannya dengan upaya desentralisasi dan demokratisasi yang menuai jalan buntu itu, kita bisa menyebut Sumenep sebagai salah satu contoh utama. Sumenep—sebagai daerah otonom adalah salah satu daerah yang merasakan langsung efek desentralisasi dan demokratisasi itu. Namun, sampai kini, Sumenep masih mengalami masalah yang serupa dengan banyak daerah-daerah otonom lainnya: gagal mewujudkan visi kesejahteraan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur Dalam Angka 2020 Sumenep menempati sebagai 10 (sepuluh) kabupaten termiskin di Jawa Timur. Menduduki nomor urut 2 (dua) setelah Kabupaten Sampang dengan persentase kemiskinan 19,6%. Fakta ini dengan cukup jelas menunjukkan bahwa sebenarnya, Sumenep gagal mengelola sumber daya alam (SDA) yang dimiliki dengan kewenangan otonomi yang dimilikinya.
Padahal, Sumenep memiliki sumber daya alam (SDA) yang luar biasa. Kekayaan alamnya melimpah. Baik SDA yang dapat pulih (perikanan laut, mangrove, terumbu karang, padang lamun, rumput laut, dan bahan-bahan bioaktif) maupun sumber daya alam yang tidak dapat pulih (minyak bumi, gas, mineral, pasir, dan bahan tambang lainnya) serta berbagai macam energi kelautan dan jasa-jasa lingkungan (keindahan alam, dan penyerapan limbah).
Sedangkan sebagai sebuah kawasan rural (agraris), Kabupaten Sumenep juga memiliki basis produksi pertanian dan peternakan. Pada tahun 2017, APBD Kabupaten Sumenep mencapai Rp 2,1 triliun, dengan proporsi terbesar dana dari DAU dan DAK yang total mencapai lebih 70%. Pertanian menyumbang hampir 60%, sedangkan industri dan pertambangan mencapai kurang dari 10% (Gaffar Karim, 2020).
Sementara pada sektor wisata, sejak 2017 lalu Sumenep juga telah dijadikan sebagai destinasi wisata unggulan oleh Dinas Budaya dan Parawisata Pemerintah Jawa Timur. Sumenep dipandang memiliki potensi parawisata yang sangat bagus, meliputi wisata pantai, kuliner, budaya hingga wisata alam seperti Pulau Gili Iyang yang diketahui sebagai kawasan dengan kadar oksigen tertinggi kedua di dunia (Jawa Pos, 9 April 2017).
Namun begitu, isu kesejahteraan gagal dirumuskan. Kemiskinan dan kesenjangan ekonomi membayang-bayangi psikologi politik masyarakatnya. Adanya SDA yang luar biasa besar dan adanya kewenangan politik yang dimiliki kepala daerah pasca gelombang desentralisasi dan demokratisasi tidak mampu menyulap mimpi masyarakat untuk hidup sejahtera menjadi nyata. Pun SDA yang ada cukup melimpah untuk dikelola.
Memahami kemiskinan
Mengapa gelombang desentralisasi dan demokratisasi gagal merumuskan kesejahteraan? Menurut Daron Acemoglo & James A. Robinson dalam bukunya Why Nations Fail, setidaknya ada tiga hipotesis yang digunakan oleh para pemikir sosial untuk memahami kemiskinan: Pertama, hipotesis geografi. Hipotesis yang dicetuskan oleh filsuf besar Prancis, Montesquieu, pada abad ke-18 ini mengatakan bahwa yang menentukan makmur miskinnya masyarakat sebuah bangsa tak lain adalah kondisi geografis.
Negara dengan iklim tropis adalah negara yang oleh Montesquieu dipandang sebagai negara dengan masyarakat miskin. Sebab, masyarakat yang hidup di daerah iklim tropis cenderung pemalas dan enggan menggunakan otaknya untuk berpikir. Akibatnya, mereka enggan bekerja keras dan ber-inovasi, yang kemudian menyebabkan mereka jatuh miskin.
Selain itu, hipotesis ini pada perkembangan selanjutnya juga menganggap bahwa penyakit-penyakit di daerah tropis, seperti malaria juga memberi dampak buruk terhadap produktivitas pekerja dan serta tanah-tanah yang ada di iklim tropis juga dianggap cenderung tidak subur, alias tidak cocok untuk melakukan aktivitas bertani dan bercocok tanam.
Kedua, hipotesis kebodohan. Hipotesis ini mengatakan bahwa kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang terjadi di negara-negara miskin tersebab karena penguasanya yang bodoh; tidak tahu cara mengelola sumber daya alam yang dimiliki sehingga kerap kali mengambil kebijakan ekonomi yang salah sehingga menyebabkan kemiskinan.
Ketiga, hipotesis kebudayaan. Hipotesis yang dikembangkan dari pernyataan Max Weber ini mengatakan bahwa kebudayaan masyarakatlah yang menjadi penentu makmur tidaknya suatu kelompok masyarakat. Masyarakat dengan budaya terbuka, akan cenderung makmur. Max Weber memberikan contoh kebangkitan masyarakat industri modern di Eropa Barat yang baginya berawal dari keterbukaan budaya masyarakat.
Namun begitu, menurut Daron & Robinson ketiga hipotesis yang berusaha mengurai dan mencoba memberi kita jalan dalam memahami kemiskinan itu gagal menjelaskan semuanya. Sebab, pada kenyataannya, ketiga hipotesis itu tidak bisa menjelaskan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang terjadi diberbagai belahan dunia secara umum.
Institusi politik ekstraktif
Menurut Daron & Robinson yang melakukan penelitian bertahun-tahun mengenai asal-usul kemiskinan dan kemakmuran mengatakan bahwa institusi politik ekstraktiflah yang sebenarnya menjadi sebab utama bencana kemiskinan. Institusi politik ekstraktif adalah institusi yang dikuasai oleh segelintir elite yang secara politis mengendalikan negara.
Sebagai pemegang otoritas politik negara, mereka inilah yang pada tahap selanjutnya mengendalikan, mengatur, dan mendesain lahirnya institusi-institusi ekonomi negara.
Selanjutnya, institusi-institusi ekonomi ekstraktif sebagai sebuah institusi yang lahir dari rahim institusi politik ekstraktif didesain dengan berbagai cara agar hanya menguntungkan satu pihak saja, yakni elite politik atau sekelompok oligarki itu sendiri.
Segendang-sepenarian, mengikuti uraian Daron & Robinson mengenai asal-usul kemiskinan di berbagai belahan dunia itu, maka menjadi jelas bahwa dibalik kegagalan desentralisasi menyulap sumber daya ekonomi menjadi kesejahteraan (di Sumenep pada khususnya) tak lain karena desain institusi politiknya yang problematik. Yang kemudian menjadikan kemiskinan itu tetap terpelihara dan berumur panjang selama berabad-abad.
UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) menegaskan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, mendapat tempat tinggal yang layak dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sejalan dengan hal itu, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 juga mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai (dikelola) oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 itu memberitahu kita bahwa negara bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat. Dan, dalam konteks Indonesia, pemerintahan daerah menjalankan tanggung jawab itu di tingkat daerah. Untuk itu, kiranya penting bagi Sumenep untuk merumuskan ulang visi politiknya bagaimana kekayaan sumber daya yang ada bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Sebagai daerah dengan kekayaan sumber daya yang melimpah, adalah tidak wajar bila Sumenep dikategorikan sebagai daerah yang mengidap penyakit kemiskinan akut. Agenda kita dalam gerakan desentralisasi dan demokratisasi adalah menghadirkan negara dalam kehidupan masyarakat.
Karena itu, besarnya kewenangan pusat yang telah dilimpahkan kepada daerah harus mampu dimanfaatkan dan diaktualisasikan untuk membangun kehidupan masyarakat, khususnya dalam merumuskan visi politik kesejahteraan.
Sumenep terlalu “kaya” untuk dikatakan “miskin”.
*) Farisi Aris, Wartawan nolesa.com