Mimbar
Reog Ponorogo: Emansipasi Kesenian dan Lemahnya Diplomasi Negara

Oleh: Taufiqullah Hasbul*)
Baru-baru ini, masyarakat Indonesia dihebohkan atas klaim Malaysia terhadap budaya Reog Ponorogo, pasalnya Malaysia akan mendaftarkan Reog Ponorogo dengan nama Barongan terlebih dulu ke UNESCO dibandingkan Indonesia. Rumor tersebut semakin menimbulkan kekhawatiran publik setelah dikonfirmasi oleh Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Efendi. (suara.com, 9/04/2022).
Malaysia menggelar perhelatan dengan nama Barong Dance pertama kali sebagai iklan pariwisata Visit Malaysia 2007 yang tidak ada bedanya sama sekali dengan tarian Reog Ponorogo. Sampai saat ini, Malaysia masih mengklaim kesenian tersebut adalah miliknya. Kegemaran Malaysia dalam mengeksploitasi budaya negara lain mengindiksikan bahwa ia tak patuh terhadap aturan hukum internasional.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Reog merupakan kesenian yang berbentuk tarian tradisional yang berasal dari kabupaten Ponorogo, Jawa Timur Indonesia.
Masyarakat menyebutnya Reog Ponorogo karena berasal dari daerah Ponorogo. Reog Ponorogo merupakan kesenian yang sangat fenomenal nan menarik di kalangan masyarakat Indonesia, terlebih oleh kalangan masyarakat Jawa Timur.
Pertunjukan Reog Ponorogo biasanya ditampilkan di ruang terbuka sebagai hiburan. Selain untuk hiburan, kesenian tersebut juga acap kali ditampilkan pada acara resmi seperti pernikahan, khitanan , serta hari-hari besar lainnya.
Pertunjukan Reog ponorogo tidak hanya ditampilkan di Ponorogo, melainkan juga sering digelar di luar daerah, tak ayal jika Reog berhasil masuk Kharisma Event Nusantara (KEN) tahun 2022 Kementrian Pariwisata dan Ekonomi kreatif (Kemenparekraf,3/2022).
Kesenian yang Termarjinalkan
Alih-alih Reog Ponorogo diakui sebagai kesenian milik Indonesia oleh UNESCO, Malaysia menganggap dan segera mendaftarkannya terlebih dahulu dari pada Indonesia ke UNESCO. Upaya merawat dan memelihara seni budaya masih di bawah ambang batas. pemuda sebagai generasi penerus bangsa sering acuh tak acuh terhadap kebudayaannya sendiri. Pemikiran publik kini sudah didominasi oleh hal yang berbau politik, sehingga kebijakan politik yang dirasa melemahkan kaum tertentu menimbulkan reaksi perlawanan yang agresif.
berbeda dengan isu kesenian dan kebudayaan yang tidak begitu banyak diperhatikan, pengakuan tradisi Reog Ponorogo oleh Malaysia selama ini belum menimbulkan perlawanan reaktif dari kalangan masyarakat dan pemerintah. pemerintah seakan-akan berdiam diri atas pengakuan Reog Ponorogo oleh Malaysia semenjak 2007 silam.
Ironisnya lagi ketika Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim lebih memilih mengusulkan jamu dari pada dengan memilih mengusulkan Reog Ponorogo sebagai wisata budaya tak benda (WBTB) ke dalam daftar ICH UNESCO. Ini bukti bahwa pemerintah abai terhadap pelestarian dan pemajuan kebudayaan asli rakyat Indonesia.
Kurangnya Perhatian
Sejak UNESCO didirikan pada tanggal 4 November 1946 di kota Paris-Perancis. permasalahan pendidikan dan kebudayaan antar negara semakin mudah diselesaikan. UNESCO sendiri merupakan sebuah organisasi internasional di bawah PPB yang mengurusi semua hal yang berhubungan dengan pendidikan, sains, serta kebudayaan dengan tujuan meningkatkan rasa saling menghormati yang berlandaskan pada keadilan, peraturan hukum, serta HAM.
Indonesia tak hanya kaya akan sumber daya alamnya, melainkan juga kaya akan kesenian dan kebudayaan. Maka dari itu, dalam upaya memelihara kebudayaannya, Indonesia harus patuh terhadap aturan hukum internasional. Perlindungan hukum terhadap kebudayaan merupakan hal yang penting dilakukan karena Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang merupakan aset paling berharga.
Namun seiring berjalannya waktu, Indonesia sering kecolongan kebudayaannya sendiri, kesenian dan kebudayaan yang begitu menarik rentan diakui oleh negara lain. Sehingga penampilan kebudayaan Indonesia di negara lain sebagai kepentingan komersil dengan tanpa ijin merupakan pelanggaran hak kekayaan intelektual.
Untuk mendapatkan pengakuan dari UNESCO atas situs maupun warisan budaya dunia perlu proses yang cukup panjang, bahkan memerlukan waktu yang lama. Dapat diambil contoh, penghargaan untuk warisan alam berupa lanskap Subak pola pengairan berundak-undak di Bali membutuhkan waktu 12 tahun hingga akhirnya dapat disetujui dalam sidang UNESCO pada Juli 2012.
Pemerintah seharusnya melakukan upaya diplomasi kebudayaan maupun perjanjian internasional dengan Malaysia agar problematika pengakuan Reog Ponorogo tidak semakin membesar. Fenomena pengakuan reog ponorogo atas Malaysia merupakan indikator bahwa pemerintah telah abai terhadap kesenian dan kebudayaan bangsanya sendiri.
Melihat kasus di atas dapat terlihat sikap Malaysia begitu arogan serta sikap pemerintahan Indonesia yang seolah diam seribu bahasa menyaksikan budaya kebanggaannya diklaim dan diajukan terlebih dahulu ke UNESCO oleh negara tetangga. Malaysia yang secara historis terbukti merupakan negara serumpun melayu dengan Indonesia yang perbedaannya nyaris sangat tipis membuatnya mencari identitas bangsanya sendiri.
Dalam Hukum Internasional, kasus Klaim Tari Tradisional Reog Ponorogo bangsa Indonesia, dapat diselesaikan melalui jalur yuridis dengan cara Treaty of Amity and Cooperation (TAC) yang merupakan sebuah traktat damai antar Negara negara ASEAN, TAC adalah norma kunci yang mengatur hubungan antar negara dan instrumen diplomatik dalam penyelesaian masalah di kawasan ASEAN.
Sebagaimana tujuan dari TAC yang tercantum dalam Pasal 1 Bab 1 adalah : “To promote perpetual peace, everlasting amity and cooperation among their peoples which would contribute to their strength, solidarity, and closer relationship”.
Kendati demikian, pemerintah Indonesia harus lebih responsif terhadap fenomena di atas. Pemerintah harus melakukan upaya hukum internasional antara jalur litigasi maupun non litigasi. Indonesia harus tegas dalam merespon problematika yang demikian agar negara lain tidak mudah mengklaim kesenian dan kebudayaan kita begitu saja.
Peradaban suatu negara sebenarnya bukan identik dengan banyak dan tingginya suatu gedung, bukan juga banyaknya infrastruktur, melainkan peradaban sesungguhnya ialah ketika suatu negara menghargai, merawat, dan melestarikan akan kesenian dan kebudayaan yang ada. Lahirnya peradaban di negara barat tak lepas dari hilangnya kebudayaan. oleh karena itu, kita harus saling menghargai dan merawat kebudayaan guna terciptanya peradaban Indonesia yang beradab dengan tanpa menghilangkan unsur kebudayaannya sendiri.
*)Taufiqullah Hasbul adalah Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

-
Daerah5 hari ago
Sambut Musim Tanam 2024, PWRI Sumenep Gelar FGD Tembakau
-
Daerah5 hari ago
Lewat Panggung Kreasi Anak Negeri, Satpol PP Sumenep Sosialisasikan Larangan Rokok Ilegal
-
Opini6 hari ago
Rokoknya Bodong, Malu Dong
-
Daerah2 hari ago
BPPKAD Sumenep Ajak Pemdes Memaksimalkan Penyampaian SPPT PBB P2 kepada Masyarakat
-
Mimbar3 hari ago
Pilpres 2024 dan Wacana Palsu “Raja Jadi-Jadian”
-
Politik1 hari ago
Khofifah Terima Rekomendasi Cagub dari PAN, Wagub Emil: Mohon Doanya
-
Daerah4 hari ago
Kasatpol PP Sumenep Ungkap Kendala Selama Melakukan Operasi Rokok Ilegal
-
Opini3 hari ago
Pemuda Garda Depan Pemberantasan Rokok Ilegal