Partai Politik Di antara Kabut Popularitas dan Elektabilitas

Redaksi Nolesa

Jumat, 9 September 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh Farisi Aris*)


Sejumlah sosok/tokoh yang diprediksi bakal maju pada perhelatan Pilpres 2024 semakin menunjukkan batang hidungnya. Kini, sejumlah sosok/tokoh terlihat sibuk melakukan safari-safari politik dan tampil di berbagai forum-forum politik.

Segendang-sepenarian, berbagai macam bentuk sikap dan tindakan politik juga mereka pertontonkan: mulai dari memberikan tanggapan terhadap isu-isu yang sedang diperbincangkan publik, berbagai aktivitas langsung di lapangan juga mereka tampilkan. Tak pelak, jagat pemberitaan dan beranda media sosial kita pun menjadi ramai dengan wajah-wajah politisi yang penuh dengan sejuta senyuman menawan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Semua itu bukan tanpa maksud. Secara politis, beberapa sikap dan tindakan yang sedang ditunjukkan oleh sejumlah sosok/tokoh yang akan berlaga di Pilpres 2024 itu setidaknya dilakukan untuk menaikkan “popularitas diri”, dan “elektabilitas diri” di sisi lain.

Sebab, untuk meraih kemenangan, itulah dua amunisi penting yang mesti dimiliki oleh sosok/tokoh yang bakal maju ke gelanggang politik. Karena itu, tak heran bila popularitas dan elektabilitas sosok/tokoh sering kali menjadi acuan dan rujukan utama partai politik dan memberikan tiket pencalonan. Sebab, keduanya adalah kunci kemenangan.

Namun, sebenarnya, dalam perhitungan politik jangka panjang, popularitas dan elektabilitas itu sebenarnya belumlah cukup sebagai modal politik. Sebab, di antara popularitas dan elektabilitas, masih ada integritas yang mesti juga diperhatikan. Dan, sayangnya, hal ini sering kali absen dari perhitungan dan kalkulasi partai politik.

Baca Juga :  Presidensial Threshold Nol Persen, Sebuah Keniscayaan!

Partai politik kerap kali hanya berfokus pada sisi popularitas dan elektabilitas sosok dalam menentukan dukungan. Sementara sisi integritas diri sang sosok/tokoh sering kali menjadi pertimbangan yang kesekian. Sisi integritas sosok jarang sekali dijadikan bahan pertimbangan dan faktor penentu dalam memberikan tiket pencalonan.

Tereliminasinya integritas dari kriteria sosok yang akan dicalonkan oleh partai itu menandakan bahwa pragmatisme politik telah menginfeksi organ-organ penting tubuh partai politik kita. Pemilu hanya dimaknai sebagai ajang perebutan kekuasaan belaka, bukan sebagai jalan untuk lebih mematangkan kelembagaan demokrasi.

Walhasil, pada gilirannya, yang diusahakan partai politik tak lebih dari sekadar bagaimana memenangkan pemilu. Tak peduli meski harus mencalonkan sosok/tokoh yang hanya memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi, namun lemah dari sisi integritas.

Padahal, di antara popularitas dan elektabilitas, integritas sang sosok/tokoh merupakan sisi yang juga amat penting. Bahkan bisa dikatakan sebagai sesuatu yang paling berharga dan bernilai tinggi dari diri sang sosok/tokoh yang akan dicalonkan/didukung.

Baca Juga :  Mumpung Masih ada Waktu Bisa Bertemu Matahari

Sebab, pada dasarnya, yang akan terus berfungsi dan bertahan pada diri sosok/tokoh yang terpilih, hanyalah integritas itu sendiri yang akan menemani kepemimpinannya. Sementara popularitas dan elektabilitas yang tinggi, yang dimiliki sosok/tokoh hanya akan menjadi barang yang kurang dibutuhkan di kala sang sosok/tokoh sudah terpilih.


elektabilitas dan popularitas sang sosok/tokoh tak lebih dari sekadar barang dagangan yang setelah pemilu usai, akan segera expayed, kadaluarsa, dan basi. Sementara integritas adalah nilai yang akan terus bertahan dan mewujud dalam setiap kebijakan-kebijakan sang sosok/tokoh terpilih dalam masa kepemimpinannya.


Meski keberadaannya mungkin tetap dibutuhkan sebagai komoditas politik, tetapi tidak terlalu penting bagi eksistensi sosok/tokoh terpilih. Sebab, meski sang sosok/tokoh terpilih memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi, namun tidak memiliki integritas yang mapan, keberadaannya tidak akan mampu melahirkan kebijakan-kebijakan deliberatif.

Ibaratnya, elektabilitas dan popularitas sang sosok/tokoh tak lebih dari sekadar barang dagangan yang setelah pemilu usai, akan segera expayed, kadaluarsa, dan basi. Sementara integritas adalah nilai yang akan terus bertahan dan mewujud dalam setiap kebijakan-kebijakan sang sosok/tokoh terpilih dalam masa kepemimpinannya.

Baca Juga :  Pemilu 2024 dan Ancaman Politik Transaksional

Karena itu, nilai integritas dari sang sosok/tokoh harus menjadi perhatian utama atau faktor kunci bagi partai politik dalam menentukan dukungan. Partai politik, dalam memberikan dukungan mesti melampaui jebakan popularitas dan elektabilitas. Menghadirkan sisi popularitas dan elektabilitas sebagai pertimbangan memberikan dukungan tidaklah cukup. Pemberian dukungan juga harus berdasarkan pertimbangan pada aspek-aspek integritas.

Dukungan partai politik terhadap sosok/tokoh, tanpa adanya pertimbangan terhadap nilai-nilai integritas, tidak akan memberikan perubahan siginifikan bagi masa depan politik kita. Sebab, dukungan itu tak lebih dari sekadar dukungan yang salah alamat. Yang pada akhirnya hanya akan menjadi simalakama politik dalam sejarah.

Sebab, dengan mengarahkan dukungan pada sosok/tokoh yang hanya memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi, tetapi tidak memiliki nilai-nilai integritas sekaligus, hal itu sama halnya dengan menumbalkan bangsa ini kepada dewa kegelapan.

Sang sosok/tokoh yang hanya bermodalkan popularitas dan elektabilitas, dan kemudian berhasil terpilih, hanya akan membawa Indonesia pada paceklik politik berkepanjangan dan tak berkesudahan. Alih-alih maju dan menjadi yang terdepan.


*) Farisi Aris, penulis lepas, mukim di Yogyakarta

Berita Terkait

Antara Putusan MK dan UU Pilkada, Ke Mana KPU Harus Merujuk?
Sakaratul Maut; Andaikata Lebih Jauh Lagi
Holupis Kuntul Baris: Merayakan Hari Kemerdekaan dengan Semangat Gotong-Royong
Roebling, Tak Sempurna; Namun Mampu Mewujudkan Cita-citanya
Menyikapi Ancaman Terorisme
Calon Tunggal, Kegagalan, dan Pragmatisme Partai Politik
Kiai Fikri Tidak Gagal dan Juga Tidak Pernah Membelot!
Menyoal Fenomena Calon Tunggal dalam Pilkada

Berita Terkait

Sabtu, 24 Agustus 2024 - 10:46 WIB

Antara Putusan MK dan UU Pilkada, Ke Mana KPU Harus Merujuk?

Jumat, 23 Agustus 2024 - 08:30 WIB

Sakaratul Maut; Andaikata Lebih Jauh Lagi

Sabtu, 17 Agustus 2024 - 13:55 WIB

Holupis Kuntul Baris: Merayakan Hari Kemerdekaan dengan Semangat Gotong-Royong

Jumat, 16 Agustus 2024 - 10:00 WIB

Roebling, Tak Sempurna; Namun Mampu Mewujudkan Cita-citanya

Minggu, 11 Agustus 2024 - 05:45 WIB

Menyikapi Ancaman Terorisme

Berita Terbaru