Mengakhiri Kekerasan Seksual di Pesantren

Redaksi Nolesa

Minggu, 6 Agustus 2023

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh AHMAD FARISI*


Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin mengingatkan agar kekerasan seksual di pesantren segera diakhiri. Menurut Kiai Ma’ruf, kedudukan dan fungsi pesantren mesti dikembalikan sebagai pusat pembelajaran yang berkualitas.

Peringatan Kiai Ma’ruf yang disampaikan pada pembukaan Road Show Pondok Pesantren yang bertajuk ”Menguatkan Karakter Pesantren Antikekerasan” yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara, Banten (29/7/2023), itu kiranya cukup rasional dan sangat beralasan. Sebab, selama ini, pesantren yang seharusnya menjadi tempat pembelajaran yang aman dan nyaman, justru ramai dengan sejumlah kasus pelecehan seksual yang sangat mengkhawatirkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut laporan Komnas Perempuan (2021), dalam lingkup satuan pendidikan, sepanjang 2015-2020 kekerasan seksual yang terjadi di pesantren menempati posisi tertinggi kedua setelah perguruan tinggi atau universitas. Ini sungguh memprihatinkan. Pesantren, yang selama ini kita kenal sebagai lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi moralitas, akhlak, etika, dan nilai-nilai agama, pada faktanya ternyata juga penuh dengan noda kejahatan.

Ironisnya, nyaris semua pelakunya adalah pengasuh atau pengelola pesantren itu sendiri. Sosok berpengaruh (secara keilmuan) yang seharusnya menjadi pembimbing, panutan dan teladan publik (Kompas, 1/6/2023). Baik dalam amal maupun perbuatan.

Menurut beberapa cerita, kekerasan seksual yang terjadi di pesantren sebenarnya bukanlah hal baru. Melainkan sudah berlangsung sejak lama dan terjadi secara berulang yang melibatkan oknum pengasuh sebagai pelaku dan santriwati sebagai korban.

Umumnya, pelaku memperdayai korban dengan menggunakan narasi-narasi agama. Agama dipoles, dimanipulasi, dan dijadikan sebagai alat legitimasi untuk memuluskan rencana busuk sang oknum pengasuh. Seperti ”melayani keinginan (seksual) seorang kiai adalah bagian dari ibadah,” ”melayani keinginan kiai akan mendapatkan barokah” dan lain semacamnya.

Baca Juga :  Sumenep Pasca Desentralisasi, Kemiskinan, dan Fiksi Politik Kesejahteraan

Tidak berhenti di situ, narasi-narasi agama biasanya juga dijadikan sebagai tabir pelindung tatkala kejahatan yang dilakukannya berpotensi terbongkar. Ketika si korban hamil, misalnya, biasanya pelaku juga membuat propaganda dengan menyatakan bahwa peristiwa kehamilan korban itu adalah peristiwa magis atau sejenis karomah seperti yang dimiliki orang-orang alim. Di mana si korban dikabarkan memiliki keistimewaan khusus berupa bisa hamil meski tanpa harus berhubungan intim.

Sementara si korban, karena kuasa dan tekanan pelaku, dengan terpaksa mengamini propaganda informasi tersebut. Ironisnya, masyarakat kita, sering kali masih percaya dengan propaganda informasi yang dibumbui dengan mistisisme Islam itu. Padahal, dalam sejarah agama, hanya Bunda Maria yang memiliki keistimewaan semacam itu.

Dalam konteks kekerasan seksual yang terjadi di pesantren, agama memang berkelindan kuat dengan kekerasan seksual yang selama ini terjadi. Ini bukan berarti agama (Islam) membenarkan atau melegitimasi terhadap kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum pengasuh. Secara prinsipil, agama (Islam) sangat antikekerasan seksual.

Akan tetapi, dalam banyak kasus pelecehan seksual di pesantren, diakui atau tidak agama memang sering dijadikan sebagai alat legitimasi untuk membenarkan sekaligus menutupi aksi bejat yang dilakukan oknum pengasuh pesantren. Sehingga, terkadang, kasus itu terjadi secara berulang tanpa dicurigai dan diketahui khalayak. Di mana, korban-korban baru terus berjatuhan, sementara si pelaku melenggang bebas tanpa tersentuh perangkat hukum.

Baca Juga :  Konstitusionalitas Jabatan Guntur Hamzah Pasca Putusan MK

Selain agama, hal lain yang biasanya digunakan sebagai alat legitimasi adalah tradisi tunduk patuh kepada pengasuh pesantren yang masih dipegang kuat oleh para santri(wati) sebagai korban. Di mana, dalam konteks ini, santriwati yang tidak bersedia melayani keinginan oknum pengasuh dianggap sebagai pembangkang atau santri(wati) yang durhaka kepada guru.

Tradisi yang dalam dunia pesantren dikenal dengan istilah sami’na wa atho’na itu dimonopoli bahwa dengan alasan apa pun, seorang santri(wati) tidak boleh dan bahkan terlarang menolak perintah dan keinginan kiai. Meski tidak rasional dan jelas-jelas bertentangan dengan norma-norma agama dan norma-norma sosial yang ada.

Perlu ada pusat aduan khusus

Tidak seperti lembaga pendidikan umum, pesantren adalah lembaga pendidikan yang dikelola secara sentralistis. Di mana, yang menjadi pemegang kuasa utama pengelolaan pesantren adalah pengasuh pesantren itu sendiri. Pola pengelolaan pesantren yang demikian sentralistis ini membuat pengelolaan pesantren menjadi tertutup dan tanpa kontrol dari pihak luar.

Sehingga, jika si pengasuh pesantren memiliki niat jahat, melecehkan santri(wati)nya, misalnya, cenderung tak ada yang bisa mencegahnya, termasuk santri(wati) itu sendiri. Selain tak ada yang mengontrol dan mengawasi, kuasa kepesantrenan plus pengaruh keagamaan yang dimiliki pengasuh juga sangat besar yang membuat pengasuh bebas melakukan apa saja.

Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya kejahatan seksual oleh pengasuh pesantren, kiranya penting untuk dibentuk pusat aduan khusus yang memfasilitasi santri(wati) untuk melaporkan kekerasan seksual baik yang dialami sendiri mau pun orang lain. Ini penting untuk mendorong santri(wati) speak up atas kekerasan seksual yang selama ini terjadi di pesantren.

Baca Juga :  Cahaya Toleransi dari Bumi Kudus

Sebenarnya, baik UU 35/2014 Tentang Perubahan Atas UU 23/2022 Tentang Perlindungan Anak; UU 23/2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan UU 12/2022 Tentang TPKS sudah mengamanatkan kepala daerah untuk membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) yang berfungi sebagai pusat pelaporan TPKS, baik yang dialami langsung ataupun yang diketahui.

Akan tetapi, dalam konteks pesantren, UPTD PPA selama ini sulit diakses oleh santri(wati) yang ruang geraknya terbatas di dalam area pesantren. Karena itu, jika tetap mau memaksakan UPTD PPA sebagai pusat aduan, maka di dalam UPTD PPA yang ada harus dibentuk unit atau tim khusus yang turun langsung ke pesantren-pesantren. Yang tidak semata-mata menunggu korban untuk melapor, tetapi juga turun langsung ke lapangan memberi edukasi kepada santri(wati) tentang kekerasan seksual di pesantren yang sewaktu-waktu bisa terjadi kepada siapa saja dan di mana saja, termasuk di dalam pesantren itu sendiri.

Tanpa adanya pusat aduan yang bersifat khusus seperti itu, dan serta juga berfungsi sebagai pusat edukasi, sulit untuk mengakhiri kekerasan seksual yang terjadi di pesantren. Pesantren memang bukan sarang kejahatan seksual. Namun, sekali ada kejahatan seksual di dalamnya, sulit untuk dibongkar dan memberi perlindungan kepada korban. Karena itu, untuk memberi jaminan pelayanan dan keamanan bagi santri, mau tidak mau negara harus hadir secara langsung untuk mengawasi, menjaga, dan melindungi santri(wati).


*) Pengamat politik

Berita Terkait

Membaca Manuver Mas Wapres
Tahan! Jaga Diri dari Sembarangan Menuduh dan Menyebarkannya
Serba-serbi Guru
Titik Krusial; Jangan Paksakan Anakmu untuk Menjadi Seperti Kamu
Hari Ayah Takkan Terlewatkan Begitu Saja
Musibah dan Penderitaan Merupakan Cara Allah Untuk Menyempurnakan Ciptaan-Nya
Bulan Muhammad SAW: Pemimpin yang Adil Mutiara yang Hilang
Bulan Muhammad SAW: Kelanggengan dan Kemusnahan Agama

Berita Terkait

Jumat, 20 Desember 2024 - 18:28 WIB

Membaca Manuver Mas Wapres

Jumat, 20 Desember 2024 - 09:42 WIB

Tahan! Jaga Diri dari Sembarangan Menuduh dan Menyebarkannya

Selasa, 26 November 2024 - 15:00 WIB

Serba-serbi Guru

Jumat, 22 November 2024 - 05:18 WIB

Titik Krusial; Jangan Paksakan Anakmu untuk Menjadi Seperti Kamu

Selasa, 12 November 2024 - 07:29 WIB

Hari Ayah Takkan Terlewatkan Begitu Saja

Berita Terbaru

Ilustrasi (pixabay/nolesa.com)

Puisi

Puisi-puisi Tundra Alif Juliant

Rabu, 25 Des 2024 - 08:36 WIB