Sengaja saya memilih kata membela sebagai kata utama dalam tulisan ini. Mengapa?
Anda tak perlu berpikir panjang mencari jawabannya. Jawabannya sederhana.
Saya hendak membela Bupati Ra Fauzi. Yang dengan lagu ciptaannya, Mencintai Tanpa Dicintai, di bully habis-habisan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena tulisan ini (atau karena tulisan sebelumnya) mungkin Anda menduga (menganggap) saya buzzer. Pendengung. Bagian dari kekuasaan.
Itu hak Anda. Mau dianggap buzzer atau bukan. No problem. Silakan. Berspekulasilah sepuasnya.
Dan saya, juga akan menulis. Sepuasnya.
***
Saya menulis banyak artikel. Di media nasional ataupun lokal.
Dari semua artikel yang saya tulis, nyaris semuanya memuat kritik. Kritik pada ketidakwarasan politik.
Lalu, mengapa tiba-tiba saya hendak membela kekuasaan? Bupati Fauzi pada khususnya?
Sederhana. Karena bagi saya, Bupati Fauzi, dengan lagu ciptaannya, memang perlu dibela.
Alasannya? Sederhana. Karena Fauzi tidak salah. Patut untuk dibela.
Patut untuk mendapatkan haknya. Pantas untuk mendapatkan apa yang harus didapatkan.
Oke. Untuk pembahasan lebih lanjut. Saya ingin bertanya. Apa salah Bupati Fauzi?
Alasan apa yang bisa kita dijadikan dasar untuk mengkritiknya? Khususnya yang berkaitan dengan karya musiknya.
Mengapa kita begitu pongah memampang diri mengeluarkan nasihat-nasihat antah berantah?
Sudahkah kita paham titik masalahnya?
Dalam alam demokrasi. Perbedaan pendapat. Kritik. Itu biasa. No problem!
Dalam salah satu artikel yang berjudul “Menghargai Kritik, Membangun Demokrasi” (Jawa Pos, 6/7/2021) saya menulis:
“Kritik dan demokrasi adalah satu kesatuan tak terpisahkan….”
“…Kritik adalah nutrisi yang akan menyehatkan demokrasi….”
Kritik yang semacam apa? Tentu saja adalah kritik yang dibangun di atas pemahaman yang mapan akan masalah dan landasan teori yang jelas.
Bukan yang serampangan. Bukan yang ala kadarnya. Bukan pula yang hanya karena ketidaksukaan diri.
Lalu, pertanyaannya kemudian: kritik macam inikah yang kita lakukan?
Bacalah artikel-artikel yang sedang beredar. Sangat disayangkan.
Ala kadarnya. Alih-alih teoritis-komprehensif.
Dianggap tidak elok. Ngabisin anggaran daerah. Tidak bersimpati pada kehidupan rakyat miskin.
Ngawur tenan….
Dalam hal itu, sangat tampak betapa analis-analis itu tidak mengikuti perkembangan pasar. Yang sedang berubah. Secara radikal.
Sehingga maklum. Wajar. Bila kaget. Atau bahkan tidak siap dengan gagasan-gagasan pembaruan.
Maunya. Tetap dengan cara-cara klise. Yang dalam dunia persaingan. Telah terkubur dalam.
Mengapa demikian? Untuk jawabannya. Silakan baca tulisan saya sebelumnya:
“Jangan Diganggu, Bupati Fauzi Hanya Mau “Jual” Sumenep Lewat Lagu”.
Baca. Khususnya pada bagian Musik; Politik Promosi. Anda akan temukan jawabannya.
Serta. Alasan-alasan mengapa saya membela.
Konteks Musik dan Logika Kritik
Dan, lagi. Mengapa kita begitu merasa berhak mengkritik Bupati Fauzi?
Fauzi sebagai bupati adalah milik publik. Karena itu, beserta kebijakan-kebijakannya, ia berhak kita kritik.
Sepuas kita. Semau kita. Dengan catatan, ada kejelasan masalah. Ada rasionalitas yang mesti kita suarakan.
Namun. Masalahnya. Apakah Fauzi dengan lagu ciptaannya itu termasuk milik publik? Yang bisa kita kritik?
Ingat. Fauzi itu punya kedudukan ganda: sebagai bupati juga sebagai warga negara biasa.
Kita mesti paham titik masalah ini. Ini adalah masalah akar. Fundamental. Basis konstruksi.
Saya mencoba mencari-cari informasi. Bertanya-tanya. Agar tidak tersesat di tengah jalan.
“Apakah lagu Mencintai Tanpa Dicintai itu adalah kebijakan Pemda Sumenep yang dipimpin Fauzi?” tanya saya.
Tidak. Itu hanya kreasi pribadi Bupati Fauzi. Bukan kebijakan Pemda Sumenep.
Saya seketika membayangkan ada banyak orang yang kritiknya tersesat. Ke antah berantah.
Bagaimana tidak. Dengan begitu. Saya jadi paham. Bahwa Fauzi dengan lagu ciptaannya itu adalah Fauzi sebagai warga negara biasa.
Lagu itu murni kreasi sendiri. Tidak ada kaitannya dengan jabatannya sebagai Bupati.
Jadi, itu adalah kehidupan pribadi Bupati Fauzi. Bukan kehidupannya sebagai seorang Bupati.
Oke. Karena begitu kenyataannya. Saya punya pertanyaan bagi Anda. Anda sang bijak bestari. Yang sudah membual dengan sejuta nasihat.
So. Jika itu adalah kehidupan pribadi Bupati sebagai warga negara biasa, masih tepatkah kita mengkritiknya?
Tentu boleh-boleh saja.
Beberapa pekan lalu alhamdulillah saya berkesempatan mengkhatamkan buku Umberto Eco, seorang ahli Semiotika.
Judulnya: Batas Tafsir. The Limits of Interpretation.
Kata Eco, sebuah teks (dalam konteks ini musik) ketika sudah dilepaskan dari diri pengucap (dalam konteks musik adalah pencipta), maka ia telah menjadi milik bersama yang memungkinkan munculnya semesta tafsir tak terbatas.
Demikian lagu ciptaan Bupati Fauzi. Saat lagu itu dirilis. Dipublikasikan. Posisi Bupati Fauzi sebagai pencipta telah mati. Hanya karyanya yang hidup.
Karena itu. Saya tegaskan ulang. Anda … boleh-boleh saja mengkritik Bupati Fauzi dengan lagu ciptaannya itu.
Namun. Ingat. Ada batas tafsir. Ada konteks kritik.
Anda boleh mengkritik Fauzi dengan lagu ciptaannya.
Namun. Jangan lupa. Perhatikan rambu-rambunya. Batas di mana tafsir dan kritik Anda di batasi.
Jika Fauzi dengan lagu ciptaannya adalah murni kehidupan ia sebagai warga negara biasa. Bukan sebagai kebijakan daerah. Sampai di situlah batas Anda.
Jangan di bawa. Apalagi dikaitkan. Dengan posisinya ia sebagai kepala pemerintah daerah. Itu ngawur!
Dengan Anda mencoba mengait-ngaitkan kehidupan pribadi Bupati Fauzi dengan kehidupan publiknya, Anda fatal secara logika.
Tidak bisa memahami peristiwa hermeneutis yang terjadi sedang terjadi. Antara teks dan konteks.
Antara kehidupan pribadi dan kehidupan publik sang bupati. Itu perlu dibedakan. Sebagai makna dasar. Yang harfiah. Yang fundamental.
Mari kita belajar sampai ke negeri Cina.
Wallahu ‘Alam.
Yogyakarta, 1 Agustus 2022