Angin Segar dan Problem Kesadaran Ekologis Indonesia Timur

Suci Ayu Latifah

Minggu, 31 Oktober 2021

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi via pixabay.com

Ilustrasi via pixabay.com

Beberapa hari lalu, media kita mengabarkan berita baik. Media tersebut menuliskan, pertama, angka tengkes di NTT mengalami penurunan. Kedua, 10 daerah dari 22 Kabupaten/Kota di NTT berhasil menekan angka tengkes.

Perlu diketahui, tahun 2018-2019, angka tengkes di NTT mencapai 27 persen. Pada periode 2019-2020, turun menjadi 24,3 persen. Kini, sepanjang Agustus 2020-Agustus 2021 tercatat 21 persen. Atau, sebanyak 80.909 anak balita mengalami tengkes.

Dari data statistik tersebut, benar adanya angka anak balita yang berbobot maupun tinggi badan lebih kecil dibandingkan anak normal umumnya, menurun. Saat ini data statistik mencatat ada 385.283 jiwa balita di NTT.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Membaca kabar baik ini menandakan angin segar berhembus di wilayah Indonesia bagian Timur. Perbaikan berakibat penurunan angka tengkes, mengartikan upaya dan usaha yang dilakukan pemerintah membuahkan hasil.

Kolaborasi pemerintah dengan masyarakat dinilai sudah cukup baik. Lantaran, tengkes yang meneror masa depan anak-anak usia balita, sesungguhnya suatu nasib yang kurang baik bagi generasi kita.

Semangat perbaikan tetap harus digalaknya. Untung-untung persoalan tengkes, bisa tuntas. Seperti harapan Gubernur NTT angka tengkes menjadi 10 persen pada tahun 2023. Salah satunya, dengan meningkatkan ketersediaan air bersih.

Pasalnya, menurut Direktur Yayasan Pijar Timur Indonesia, Vinsen Kia Beda bahwa krisis air bersih berdampak pada sanitasi masyarakat. Pihaknya menjelaskan 70 persen anak tengkes disebabkan oleh sanitasi lingkungan yang buruk.

Di sebagian wilayah di Indonesia hanya dapat menikmati air bersih ketika musim penghujan saja, seperti yang dialami masyarakat NTT. Mulai bulan April sampai dengan Oktober atau November, sumber kehidupan mengering.

Baca Juga :  Two State Solution

Masyarakat membeli air bersih sebanyak 5.000 liter harus mengganti uang sebesar satu juta. Oleh karena itulah, bersamaan dengan ini pentingnya pemahaman literasi sains bagi keseluruhan masyarakat.

Literasi sains, mestinya dimaknai sebagai suatu penyokong kehidupan. Ingat, alam bagi Gilbert Keith Chesterton, tak ubahnya saudara perempuan kita. Makanya, literasi sains berupaya keras mendorong masyarakat memahami dan menyadari eksistensi sains (alam) terhadap kehidupan manusia. Sains pula, meminjam pemikiran Albert Einstein adalah kesempatan untuk menemukan keindahan alam di balik gambaran fenomena.

Problem Kesadaran Ekologis

Sebagai orang berpijak di bumi, kita mestinya melabuhkan diri pada alam. Aristoteles memandang, di dalam segala hal yang ada di alam semesta ini, tidak lain sesungguhnya kita bisa melihat semua keajaiban.

Tanah bisa menjadikan tanaman subur, sehingga keberadaannya berpotensi besar bagi oksigen bumi. Air sebagai sumber kehidupan masyarakat. Kemudian, sumber daya alam lainnya, adalah harta kekayaan.

Mengulik problem Indonesia bagian Timur, air merupakan sumber daya yang kini masyarakatnya dalam mengonsumsi perlahan terkikis. Hal itu terjadi lantaran pemerintah dan pihak swasta melakukan monopoli air. Mestinya kita ingat, Undang-Undang No. 39 tahun 1999 Pasal 9 telah mengatur hak atas lingkungan yang baik, dan pasal 71 & 72 tentang kewajiban pemerintah.

Baca Juga :  Menjaga Integritas Pemilu

Monopoli yang dilakukan pemerintah adalah dengan meningkatkan akivitas pertambangan dan sumur bor. Sementara itu, di sisi lain pemerintah belum mampu menyediakan air. Lebih-lebih menjaga ketersediaan air bersih.

Masyarakat Indonesia bagian Timur sering sekali sakit yang disebabkan oleh kekurangan air bersih. Selain itu, potensi hutan sebagai penopang kehidupan semakin mengkhawatirkan. Sebutlah kawasan daerah hutan dialihkan fungsi sebagai industrial pertambangan, kemudian kawasan hutan lain dijadikan perkebunan monokultur tebu seperti yang terjadi di Sumba Timur.

Permasalahan yang amat rumit dan krusial ini, perlu didaya dukung penguatan terhadap lingkungan. Krisis sumber daya alam hingga pada kerusakan alam tidak akan selesai apabila kesadaran akan lingkungan menurun. Sejenak kita mengingat, wacana dalam iklan sebentuk sindiran, “Sumber air sudah dekat”

Hal ini dimengerti, pasalnya kemurkaan alam bila sudah terjadi akan memusnahkan manusia, sekaligus kehidupan. Ingat pesan leluhur Jawa, ojo nggugu karepe dwewe, berarti jangan berbuat sekehendak sendiri. Pesan ini mengandung ajaran pengendalian diri. Dalam konteks ini, pengendalian diri terhadap sesuatu keinginan yang berpijak pada pemanfaatan alam atau lingkungan sekitarnya.

Di sini, literasi sains berusaha mendekati masyarakat dan utamanya pemerintah untuk mengenali lingkungan sekitarnya. Dalam buku Materi Pendukung Literasi Sains (2017), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengajak secara bersama-sama memahami alam semesta.

Kehadiran literasi ini, membentuk pola pikir, perilaku, dan membangun karakter manusia untuk peduli dan bertanggung jawab terhadap dirinya, masyarakat, dan alam semestra.

Baca Juga :  Proklamasi: Menggali Kekuatan Jenderal Soedirman

Keberadaan sains dalam kehidupan manusia mendorong pembentukan perilaku dan karakter manusia lebih peka dan tanggap. Artinya, peka terhadap isu-isu sains yang sering sekali dampaknya terjadi di negara kita.

Kepekaan akan mendorong seseorang lebih siap dan sigap dalam mengatasi persoalan lingkungan. Misalnya, anomali cuaca, yang mengakibatkan perpanjangan musim kemarau, atau perubahan struktur tanah sehingga membuat tanaman kurang subur.

Selanjutnya, tanggap, berarti secara cepat dan tepat menyelesaikan persoalan lingkungan. Penyelesaian dilakukan dengan tujuan menangkal atau mencegah kekacauan berdampak fatal. Hal itu dilakukan, sebagaimana puncak dari keliterasian.

Sejatinya, sebuah etika pada tingkat taraf pemaknaan. Yaitu, bagaimana manusia mampu memaknai eksistensi semesta. Keberadaan alam bukan lagi untuk dieksplotasi secara habis-habisnya. Alam, juga kehidupan yang layak mendapat penghargaan akan hidupnya.

Berkaitan dengan ini, penting bagi kita mengenalkan alam kepada generasi sejak dini. Masih berhubungan dengan persoalan tengkes dan ketersediaan air bersih. Anak-anak sejak belia diajarkan menanam pohon untuk kelangsungan hidup.

Selain, penyelamatan dari bencana alam, seperti tanah longsor dan banjir, penanaman pohon berpotensi besar menyimpan mineral di dalam tanah. Air hujan akan banyak diserap akar-akar pohon, lalu disimpan di dalam tanah. Kelak, akan mendatangkan berkah berupa sumber air, misalnya.

Ingat, pesan Jerinx, manusia diminta untuk menyatu dengan alam. Mencoba menyelami cara alam bergerak dan bereaksi, sayangi ia. Setelah itu baru namakan diri kita manusia. Begitu!

Berita Terkait

Selamat Jalan Paus Fransiskus; Cahaya Kasih yang Tak Pernah Padam
Kesalehan Sosial: Sebuah Catatan Akhir Ramadan
Membangun Ruang Sosial Lansia di Era Digital
Membenahi Institusi Kepolisian Kita
Hikmah Ramadan: Sabar dan Takdir
Kepada Siapa Kepala Daerah Tunduk?
Hidup pada Bulan Ramadan Tetapi Tidak Terampuni Dosanya?
Menanti Kenegarawanan Presiden

Berita Terkait

Selasa, 22 April 2025 - 16:51 WIB

Selamat Jalan Paus Fransiskus; Cahaya Kasih yang Tak Pernah Padam

Sabtu, 29 Maret 2025 - 20:12 WIB

Kesalehan Sosial: Sebuah Catatan Akhir Ramadan

Selasa, 11 Maret 2025 - 05:00 WIB

Membangun Ruang Sosial Lansia di Era Digital

Sabtu, 8 Maret 2025 - 19:28 WIB

Membenahi Institusi Kepolisian Kita

Senin, 3 Maret 2025 - 04:13 WIB

Hikmah Ramadan: Sabar dan Takdir

Berita Terbaru

Jubir Fraksi PKB Sumenep, dr. Virzannida menyampaikan berkas usulan hasil serap aspirasi masa reses II kepada Ketua DPRD Sumenep, H. Zainal Arifin dalam Rapat Paripurna, Rabu 23/4/2025

Daerah

Fraksi PKB Sumenep Ajukan 23 Usulan Pada Rapat Paripurna

Rabu, 23 Apr 2025 - 19:00 WIB

Masa Reses II Usai, DPRD Sumenep Gelar Rapat Paripurna, Rabu 23/5/2025

Daerah

Masa Reses II Usai, DPRD Sumenep Gelar Rapat Paripurna

Rabu, 23 Apr 2025 - 13:00 WIB