Oleh NK Gapura
“Jika kamu ingin tahu siapa yang mengendalikanmu, lihatlah siapa yang tidak boleh kamu kritik.”
Voltaire adalah nama pena dari François-Marie Arouet, seorang filsuf pencerahan asal Prancis. Dia adalah pribadi yang salah satunya lantang menyuarakan kebebasan berbicara. Dia seringkali menjadi korban sensor ketat otoritas monarki Katolik Prancis.
Dan kalimat yang Voltaire ungkapkan di atas, tentu saja sangat sederhana. Hanya semacam intropeksi diri. Walakin, kesederhaan itu pasti menjadi kritik keras bagi setiap pribadi yang menjaga akal budi.
Setiap dari kita, tentu saja memiliki keterampilan mengkritik apa saja. Minimal menyela saat orang berbicara. Keterampilan itu bukan sekedar penanda bahwa kebebasan berdemokrasi itu nyata.
Walakin, lebih dari itu, keterampilan dan keberanian mengkritik adalah untuk menegaskan bahwa kita masih memiliki harga dan kepercayaan diri yang layak dibela.
Selain itu, keberanian mengkritik adalah bukti bahawa kita tidak sedang dikebiri dan tidak menjadi kasta terendah dalam piramida tirani.
Tirani itu bisa jadi adalah diri kita yang bebal. Bisa pula bupati, DPR dan atau negara yang haus kekuasaan. Mereka ingin merusak dan menguasai akal budi kita secara suka-suka.
Padahal, jika akal budi sudah sangat dikuasi oleh tirani, kita pasti menjadi tidak berharga lagi. Kita hanyalah kaum rendahan yang sering tidak disadari. Dan kita hanyalah kaum buangan yang mudah diperah tirani. Sungguh ironi.
Di samping itu, kritik adalah bukti bahwa kita setara dengan siapa saja. Tanpa memandang remeh, rendah dan hendak menista. Karena kritik, dalam kerja etika, adalah garis jeda untuk tidak semena-mena.
Dan sekali lagi, sebuah kritik yang baik, objektif dan proporsional adalah bukti bahwa kita layak dihargai. Sebab kritik adalah wujud akal budi.
Buruk dan baiknya akal budi kita, tampak jelas dari wajah kritik yang kita cipta. Kritik yang serampangan, yang egois dan memaksa menang sendiri, adalah wajah buruk dari akal budinya. Begitupun sebaliknya.
Ada dua pertanyaan sederhana. Pertama, apa dasar kita berani mengkritik? Sekedar untuk bertahan hidup, atau untuk berfoya-foya?
Kedua, seringkali ada rasa takut untuk mengkritik, apa sebab sebenarnya? Apakah karena kita sadar sudah tidak berharga? Rendahan dan buangan semata?
Jika pertanyaan ini juga muncul dibenak pembaca, salah satu jawabannya adalah ungkapan Voltaire, yang dalam catatan ini menjadi kalimat pembuka.
Terakhir. Jangan lepas akal budi kita begitu saja. Buatlah dia berharga. Tanpa pamrih atau alat gertak semata. Salam awam saja.
Ganding, 26 Desember 2024