Oleh Moh. Husain*)
(Catatan Ngaji Buku, Islam yang Menyenangkan karya Edi AH Iyubenu)
Di tengah demamnya bangsa kita terhadap dalil-dalil keislaman yang sebenarnya cenderung beralih fungsi untuk memfasilitasi keegoan diri sendiri daripada menebarkan nilai-nilai keislaman itu sendiri. Maka, menarasikan Islam tidak harus dengan dalil yang bertumpukan baik dengan ayat-ayat Alqur’an ataupun dengan jubelan matan hadits yang dijadikan sumber berkeyakinan. Toh, mendakwahkan Islam dengan dalil yang bertumpukan tak akan menjamin (lisan) seseorang untuk tidak menyakiti liyan.
Apalagi, ditambah dengan maraknya caption “Membela Tuhan”, kerap kali keberislaman kita pun cenderung mengikis nilai-nilai keadaban, akhlak, etika, dan good attitude kita.
Padahal beberapa abad yang lalu diutusnya NabI Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak, dan Islam juga telah mengajarkan kita bahwa cara menyebarkan Islam (baik gerakan maupun gagasan) bisa dicapai dengan tiga hal; hikmah (cinta), mau’izhah hasanah (nasihat-nasihat yang baik), dan ahsan (kompetensi keilmuan yang mumpuni).
Mempertahankan ketiga prinsip dakwah tersebut sudah pasti kebaikan dan kedamaian sebagai jalan utama untuk mencapai Islam yang berkemanusiaan atau rahmatan lil ‘alamin.
Islam yang baik dan mendamaikan tergambar jelas dalam Islam yang Menyenangkan karya Edi AH Iyubenu ini. Meskipun tanpa dalil yang bertumpukan (kecuali beberapa ayat Alqur’an dan hadits yang lumrah kita hafal, yang sebenarnya sudah cukup untuk menjadikan kita muslim yang berkeadaban) penulis secara konsisten mendakwahkan Islam yang logis, metodologis, teoretis, historis dan tentunya juga spiritualis tanpa harus menyakiti dan menyalahkan liyan apalagi hingga secara tegas dan tergesa-gesa menggunakan term sesat, buruk, kafir, bid’ah bahkan ahlun nar.
Dan, hadirnya karya tersebut memang berangkat dari kegelisahan penulis terhadap mulai terkikisnya nilai-nilai keadaban kita dalam berislam, yakni betapa mudahnya kita menyesat-kafirkan liyan apabila telah berseberangan gagasan. Ironisnya, kita gemar membackingnya dengan dalil-dalil keislaman.
Contoh kasusnya adalah tudingan sesat dan kafir terhadap salah satu ahli tafsir terkemuka Quraish Shihab serta pakar hukum Islam Mun’im A. Sirry karena perbedaan pendapat perihal surat al-Maa’idah ayat 51.
Mayoritas (khususnya mereka yang punya kepentingan ideologi, politik dan ekonomi di Pilgub DKI 2017) memahami ayat tersebut sebagai bentuk pelarangan atau diharamkannya mengangkat pemimpin nonmuslim. Sedangkan Quraish Shihab menguraikan bahwa ayat tersebut tak bisa ditafsirkan sesederhana mungkin secara mandiri agar penyimpulannya tidak memenggal keutuhan konteks semantiknya sebab secara metode tafsir tematik (maudhu’i), ayat tersebut berkaitan erat dengan tiga ayat sebelumnya, 48-50.
Dan, Mun’im A. Sirry pun menggolongkan ayat tersebut ke dalam kelompok “ayat polemis”, agar pemahaman kita tidak terjebak pada “suasana polemik masa lalu” kita pun harus paham bagaimana konteks historis (asbabun nuzul) ayat tersebut.
Well, agar tak mudah terjebak pada perilaku “menyesat-kafirkan liyan” dengan berlandaskan dalil-dalil keislaman. Maka, pemahaman kita terhadap setiap dalil haruslah dilalui dengan cara yang bijak, yakni kesadaran terhadap kenisbian diri sendiri sebagai manusia bukan berperilaku Maha Semau Gue sebagai mana sifat Tuhan. Yang pada hakikatnya, siapa yang sesat dan siapa yang kafir hanya berada pada wilayah hak prerogatif Tuhan.
Menukil dari Nasr Hamid Abu Zayd, sarjana muslim terkemuka dari Mesir, bahwa teks tidak bisa dilepaskan sama sekali dari konteksnya. Semisal, bila hendak menukil ayat Alqur’an, kita pun harus membekali diri kita dengan pemahaman terhadap asbabun nuzulnya, hadits haruslah tetap digandengkan dengan asbabul wurudnya, fiqh senantiasa dilihat pula illatul hukminya, pun sebuah ideologi harus kita telusuri jejak genealogisnya.
Dengan berpegangan pada apa yang diungkapkan Nasr Hamid Abu Zayd tersebut niscaya kita tak akan secara gegabah untuk menyesat-kafirkan liyan hanya karena perbedaan penafsiran dan pemahaman apalagi ditambah dengan caption “Membela Tuhan” agar lebih leluasa menyalahkan dan menyakiti liyan. Betapa tragisnya kita!
Lantas sudah berapa banyak kerusakan di muka bumi yang kita perbuat atas nama “Membela Tuhan”? Entah kerusakan yang berupa kerukunan antar umat beragama, kemajemukan antar bangsa, atau perpecahan di dalam tubuh Islam itu sendiri. Padahal kafirun, jahilun, mufsidun, dan munkirun cirinya selalu sama, yakni gemar berbuat keburukan, kekejian, kerusakan, atau kekacauan. Mereka adalah pengibar disharmoni di negeri yang majemuk ini.
Di sisi lain, yang menarik dari karya Edi AH Iyubenu ini adalah bagaimana cara penulis membangun energi keislaman dalam skala sosial dengan cara menganalogikannya dengan fenomena di jagat sepak bola. Tak jarang di dalamnya kita akan kembali berpapasan dengan beberapa pemain, pelatih, dan klub fenomenal sekaliber Neymar, Dani Alves, Casillas, Ramos, Gerrard, Xavi, Ancelotti, Van Gaal, Benitez, Mourinho, MU, Arsenal, Liverpool, Real Madrid, Barcelona, Villareal, dst.
Namun, pada intinya, “Islam yang Menyenangkan” adalah Islam yang menenun ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah yang berpuncak pada kekaffahan Islam, akhlaq karimah.
Misal, Neymar dengan aksi rainbow flicknya (rainbow flick adalah gerakan di mana seorang pemain mengapit bola dengan kedua kakinya kemudian mendorongnya melewati kepala dia dan/atau lawannya) yang kerap menuai pro-kontra di mana-mana ini direpresentasikan sebagai salah satu umat atau bahkan seorang pemikir (Islam) yang gemar menyuarakan suatu pemikiran yang (akan) dianggap menyimpang, salah, dan sesat oleh pemangku kekuasaan padahal suara sang pemikir atau pun aksi Neymar tersebut sah-sah saja.
Selanjutnya adalah sosok pelatih asal Portugal yang berkarakter congkak, sombong, dan pernah menjuluki dirinya “The Special One”, Jose Mourinho. Mou digambarkan sebagai sosok “ustadz” yang merukunkan nyinyiran, cara-cara radikalistik demi memuja diri sendiri, menjungjung firqah dan jamaahnya sendiri sembari menistakan firqah dan jamaah yang lain.
Bila pola berislam kita sekarakter dengan perilaku Mou, tidak menutup kemungkinan di kemudian hari cara berislam kita akan penuh kepongahan, pemuja kebenaran eksklusif, dan menisbatkan diri sebagai tangan kanan Tuhan. Lantas kita pun layak menyandang status muslim yang ber-DNA Fir’aun.
Selain hal tersebut, tentunya masih ada beragam hal yang sangat menarik dari karya Edi AH Iyubenu ini, yang erat kaitannya dengan bagaimana cara kita dan orang-orang terdahulu kita memandang apa yang disebut dengan “kebenaran” dalam Islam serta seperti apa bentuk “keselamatan” yang ditawarkan oleh Islam itu sendiri.
Namun, pada intinya, “Islam yang Menyenangkan” adalah Islam yang menenun ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah yang berpuncak pada kekaffahan Islam, akhlaq karimah.
*) Moh. Husain adalah Wakil Derektur Kooperasi Pondok Shalawatan Al-Musthafa