Oleh Mohammad Ali Tsabit
Pada Selasa, 4 Maret 2025, saya menghadiri sebuah seminar bertajuk “Bijak Bermedsos bagi Lansia” yang diselenggarakan oleh Day Care Lansia Aisyiyah (DCLA) di Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Seminar ini menghadirkan Dr. Hj. Adib Sofia, S.S., M.Hum. sebagai pembicara. Dosen Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga itu membahas bagaimana lansia harus lebih bijak dalam menyikapi arus informasi digital.
Seminar ini menunjukkan bahwa lansia memiliki kebutuhan akan ruang sosial yang lebih relevan dengan usianya. Mereka tidak hanya menjadi objek perawatan, tetapi juga agen aktif dalam keberlanjutan sosial.
Sebagai komunitas yang beroperasi di bawah Aisyiyah, salah satu organisasi keperempuanan terbesar di Muhammadiyah, DCLA berupaya melakukan penguatan kapasitas melalui berbagai program edukatif terhadap lansia. Aisyiyah, yang sejak awal berdiri berfokus pada penguatan kapasitas perempuan dan pendidikan masyarakat, menempatkan lansia sebagai kelompok yang tetap harus dioptimalkan perannya, bukan sekadar dirawat. Dalam konteks ini, konsep community engagement hadir sebagai strategi yang menghubungkan lansia dengan realitas sosial yang lebih luas, khususnya dalam era digital.
Community engagement sebagai sebuah konsep studi, setidaknya fokus pada delapan hal persoalan, yaitu lingkungan (environment); penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (applicattion of science and technology); pengentasan kemiskinan (poverty alleviation); pemuda, pendidikan, dan budaya (youth, education, and culture); usaha mikro, kecil, dan menengah (micro, small, and medium enterprise); kesehatan (health); kelompok marjinal dan rentan (marginal and vulnerabel groups), dan masyarakat adat (indigenous people).
DCLA beroperasi dalam kerangka kelompok marjinal dan rentan (marginal and vulnerable groups). Kategori ini tentu saja tidak dapat dipahami dalam tataran normatif belaka. DCLA harus dilihat sebagai ruang praktik sosial di mana terjadi tarik-menarik antara reproduksi budaya lama dan artikulasi budaya baru. Lansia, yang selama ini diposisikan sebagai entitas pasif dalam ruang sosial—dalam konteks DCLA—justru diperlakukan sebagai subjek aktif yang terus mengalami reorientasi epistemik dalam menghadapi realitas digital dan transformasi sosial.
Dengan demikian, keberadaan DCLA bukan hanya sebagai institusi perawatan sosial. Komunitas ini juga berfungsi sebagai wadah untuk mengembangkan identitas dan kapasitas lansia dalam menghadapi dunia yang terus berubah. Ruang sosial bagi lansia ini memungkinkan mereka untuk tetap aktif, memiliki kapasitas, dan terus belajar (literasi digital), sehingga tidak terpinggirkan oleh perubahan zaman.
DCLA dan Lansia: Dari Keterbatasan Menuju Partisipasi Aktif
Kategori marginal and vulnerable groups dalam community engagement bukan sekadar konstruksi yang menunjuk pada dua domain spesifik dalam suatu kelompok masyarakat, “marginal” dan “rentan”. Dalam dua domain tersebut terdapat konfigurasi relasional yang melibatkan reproduksi nilai, produksi pengetahuan, dan negosiasi identitas dalam masyarakat. Tidak semua lansia otomatis masuk dalam kategori rentan. Namun, dalam konteks masyarakat urban yang terus berubah, banyak lansia mengalami keterputusan sosial dan eksklusi digital, sehingga DCLA berperan dalam menjembatani keterbatasan dari lingkungan yang luas.
Kesehatan fisik bukanlah satu-satunya tantangan yang dihadapi lansia. Mereka juga harus menghadapi pergulatan yang mungkin paling menakutkan, yaitu isolasi sosial akibat perubahan pola komunikasi dan pergeseran nilai dalam masyarakat digital. DCLA hadir sebagai ruang yang menghubungkan kembali lansia dengan lingkungan sosial yang dinamis, sekaligus memberikan mereka kesempatan untuk tetap berpartisipasi dalam kehidupan publik.
Salah satu tantangan utama dalam penguatan kapasitas lansia adalah bagaimana mereka dapat menavigasi dunia digital yang semakin terbuka. Lansia yang terbiasa dengan sistem informasi konvensional sering kali mengalami dislokasi epistemik—yakni pergeseran dalam cara mereka memahami dan memproses informasi. Jika sebelumnya validasi informasi melewati institusi yang memiliki otoritas naratif seperti media cetak dan penyiaran, kini informasi beredar dalam ekosistem yang tidak memiliki hierarki otoritatif yang jelas. Lansia yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang mekanisme penyebaran informasi digital sering kali menjadi sasaran hoaks dan misinformasi. Oleh karena itu, diperlukan strategi penguatan kapasitas berbasis literasi digital agar mereka dapat membangun kesadaran kritis terhadap arus informasi yang semakin kompleks.
Melalui program edukatif yang diselenggarakan oleh DCLA, lansia diajak untuk merekonstruksi cara mereka memahami informasi, tidak hanya dalam kerangka verification, tetapi juga dalam konteks critical digital literacy. Di sini, community engagement berfungsi bukan sekadar sebagai program sosial, tetapi sebagai ruang negosiasi epistemik, di mana lansia tidak hanya menerima pengetahuan baru, mereka juga dipaksa untuk mendekonstruksi kebiasaan kognitif lama agar lebih adaptif terhadap lanskap informasi yang semakin kompleks.
Agama dan Lansia: Pilar Transformasi Sosial
Dalam community engagement berbasis agama, kita melihat bagaimana nilai-nilai spiritual dan praksis sosial tidak dapat dipisahkan. Agama berfungsi sebagai kerangka normatif sekaligus instrumen penguatan kapasitas sosial dalam komunitas. Dengan demikian, lansia yang tergabung dalam komunitas ini tidak hanya menerima ajaran agama secara pasif. Mereka juga menggunakan perkumpulan ini sebagai modal sosial untuk menavigasi perubahan zaman. DCLA sebagai bagian dari Aisyiyah, beroperasi dalam logika bahwa agama harus menjadi basis normatif sekaligus instrumen produksi makna dalam komunitas. Lansia menjadi penerima layanan dan di waktu bersamaan juga menjadi agen dalam konstruksi nilai sosial yang bersumber dari tradisi Islam.
Komunitas berbasis keagamaan sering kali dipandang sebagai mekanisme reproduksi nilai-nilai moral. Namun, DCLA justru menunjukkan bahwa agama dalam community engagement bersifat reproduktif dan transformatif. Memperkuat pemahaman keagamaan bukan satu-satunya tujuan utama dari kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan komunitas ini. Sebab, pengajian dan forum edukatif lainnya juga merupakan instrumen yang memungkinkan lansia terus beradaptasi dengan setiap perubahan sosial yang terjadi.
Meminjam Pierre Bourdieu, lansia yang tergabung dalam DCLA, dapat dikatakan sedang menggali ulang modal cultural reproduction. Mereka tidak hanya tengah mempertahankan habitus keagamaan yang telah dimiliki, tetapi juga mentransformasikannya ke dalam konteks yang lebih modern. Bijak dan bajik dalam menggunakan media sosial dengan tetap mempertahankan nilai-nilai Islam sebagai rujukan utama dalam kehidupan mereka.
Day Care Lansia Aisyiyah (DCLA) bukti bahwa community engagement tidak hanya dapat dipahami dalam kerangka program sosial. Community engagement juga dapat dipahami sebagai ruang produksi pengetahuan dan negosiasi identitas. Dengan pendekatan edukatif yang dinamis, komunitas ini menjadi medium pelayanan sosial yang membuka ruang bagi lansia untuk terus terlibat dalam dialektika sosial yang lebih luas.
Hubungan antara agama dan community engagement dalam DCLA menunjukkan bahwa nilai-nilai spiritual dapat berfungsi sebagai alat adaptasi sosial. Melalui komunitas ini, lansia dapat menemukan ruang artikulasi baru dalam menghadapi perubahan sosial, terutama yang disebabkan oleh perkembangan teknologi informasi berbasis internet. Reproduksi nilai-nilai agama (transenden) digali dan ditransformasikan menjadi modal sosial (imanen) yang memungkinkan mereka tetap relevan dalam masyarakat yang terus berubah.
Dengan demikian, community engagement berbasis agama seperti Day Care Lansia Aisyiyah (DCLA) bukan hanya tentang pelayanan, tetapi juga tentang penciptaan makna baru dalam kehidupan sosial. Lansia yang sebelumnya dipandang sebagai kelompok yang rentan terhadap perubahan kini menjadi bagian dari proses transformasi sosial yang lebih besar, menjadikan komunitas ini sebagai model ideal dalam membangun masyarakat inklusif, memiliki kapasitas, dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
*) Mahasiswa Magister Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.