Kepada Siapa Kepala Daerah Tunduk?

Redaksi Nolesa

Sabtu, 1 Maret 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh AHMAD FARISI*


Instruksi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri dalam Surat Nomor 7294/IN/DPP/II/2025 yang memerintahkan para kepala daerah dari PDIP untuk menunda keikutsertaannya dalam retret kepala daerah di Akademi Militer Magelang menarik untuk didiskusikan lebih dalam secara ketatanegaraan.

Instruksi Ibu Megawati itu merupakan respons politik atas tindakan KPK yang melakukan penahanan terhadap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebagai tersangka perintangan penyidikan suap penetapan PAW anggota DPR RI 2019-2024 pada Kamis (20/2/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Surat instruksi ini menjadi menarik sebab poin instruksi yang termuat dalam surat tersebut secara tidak langsung menentang kehendak pemerintahan pusat yang dipimpin oleh Prabowo. Atau, memerintahkan para kepala daerah dari PDIP untuk melawan kehendak pemerintahan pusat yang dipimpin oleh kepala pemerintahan yang melantik mereka.

Sepintas, tidak ada problem ketatanegaraan yang timbul dari instruksi politik Megawati yang secara langsung bersebrangan dengan kepentingan pemerintahan pusat tersebut. Sebab, meski memiliki dasar rasionalitas yang kuat di balik pelaksanaannya, kegiatan retret kepala daerah yang dilaksanakan pemerintahan Prabowo semata-mata merupakan kegiatan penunjang untuk menopang penyelenggaraan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah.

Dikatakan sebagai kegiatan penunjang sebab kegiatan retret semacam itu bukanlah merupakan perintah undang-undang yang bersifat mengikat. Melainkan sebatas kegiatan yang bersifat kondisional sesuai kebutuhan. Karena itu, dilaksanakan atau tidak oleh pemerintahan pusat/diikuti atau tidak oleh para kepala daerah, tidak ada akibat hukum yang harus dipertanggungjawabkan oleh pihak yang tidak melaksanakan atau tidak mengikutinya.

Baca Juga :  Arogansi MPR

Namun, bagaimana jika persoalan serupa terjadi dalam konteks kebijakan pemerintahan pusat yang cukup serius yang secara langsung berhubungan dengan kepala daerah, sementara di sisi lain ketua atau pimpinan partai karena posisinya sebagai partai oposisi memerintahkan untuk tidak melaksanakannya, kepada perintah siapa kepala daerah harus tunduk?


jabatan kepala daerah adalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat untuk melaksanakan urusan pemerintahan konkuren


Kepanjangan tangan pemerintahan pusat

Secara struktural, jabatan kepala daerah yang memiliki kewenangan memerintah di daerah adalah kepanjangan tangan dari pemerintahan pusat untuk melaksanakan urusan pemerintahan konkuren (Pasal 9 Ayat [2] UU Pemda). Hal ini sejalan dengan pemaknaan Pasal 18 UUD 1945 yang menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah (otda) di Indonesia.

Ini artinya, sebagai kepanjangan tangan dari pemerintahan pusat, dalam menjalani posisinya sebagai kepala daerah, setiap kepala daerah tidak bisa mengambil jalan berbeda dari kehendak dan keputusan pemerintahan pusat yang memerintah secara nasional. Kecuali dalam beberapa hal yang hal itu memang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan.

Baca Juga :  Semua Agama Saling Menyayangi

Secara filosofis, jabatan kepala daerah memang memiliki daulat (sovereignty) yang bersumber langsung dari rakyat. Namun, secara paradigmatik, daulat yang dimiliki kepala daerah mutlak berbeda dengan daulat yang dimiliki presiden, di mana daulat yang dimiliki presiden adalah daulat untuk memerintah secara penuh. Sementara daulat yang dimiliki kepala daerah adalah daulat yang disamping memerintah secara mandiri, tetapi juga tunduk pada tunduk pada kekuasaan yang ada di atasnya, yakni kekuasaan pemerintahan pusat.

Pada konteks ini, dapat dikatakan bahwa kepala daerah tidak serta merta bisa memisahkan dirinya dari kehendak pemerintahan pusat. Sebab, berdasarkan daulat penuh yang dimilikinya, pemerintahan pusat merupakan puncak piramida pemerintahan yang perintah, kehendak, dan keputusannya merepresentasikan kepentingan negara itu sendiri.

Oleh sebab itu, sebagai pemegang kekuasaan otonomi di daerah, kepala daerah harus senantiasa bersinergi dengan pemerintahan pusat untuk mewujudkan kehidupan bernegara yang dicita-citakan. Dalam urusan pemerintahan, kepala daerah senantiasa harus tunduk patuh pada kehendak pemerintahan pusat yang dipimpin secara langsung oleh seorang presiden.

Adapun jika terdapat instruksi atau perintah dari ketua partai yang memerintahkan sebaliknya dari kehendak pemerintahan pusat maka para kepala daerah bisa mengabaikannya atas dalil mendahulukan kepentingan negara yang merupakan kepentingan bersama.

Baca Juga :  Selamat Datang di Era Otoritarianisme Kompetitif

Sementara perintah partai, apa pun bentuk dan dalilnya, adalah kepentingan subjektif partai yang status dan keberadaannya jauh lebih rendah dibanding kepentingan negara.

Lebih-lebih, dalam peraturan perundang-undangan yang ada, kepala daerah dan partai politik yang menjadi rumah politiknya sama sekali tidak diikat oleh aturan apa pun yang mengatur hubungan keduanya dalam konteks posisinya sebagai kepala daerah. Pun sejak awal pencalonan, dukungan partai menjadi syarat wajib bagi pencalonan kepala daerah.

Hal itu berbeda dengan posisi antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah yang memang diatur secara rinci dalam peraturan perundang-undangan. Di mana antara pemerintahan pusat dan daerah satu sama lain diletakkan sebagai satu kesatuan utuh.

Dengan kata lain, hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah adalah hubungan kelembagaan yang diikat secara hukum yang satu dan lainnya harus saling menaati. Sementara hubungan antara kepala daerah dan partai politik tak lebih dari hubungan kultural yang tidak mengikat jabatan kepala daerah. Maka dari itu, segera menjadi terang kepada perintah dan kehendak siapa seharusnya kepala daerah tunduk dan patuh.


*) Pengamat Politik

 

Berita Terkait

Membangun Ruang Sosial Lansia di Era Digital
Membenahi Institusi Kepolisian Kita
Hikmah Ramadan: Sabar dan Takdir
Hidup pada Bulan Ramadan Tetapi Tidak Terampuni Dosanya?
Menanti Kenegarawanan Presiden
Isra Mikraj Sebuah Perjalanan Spiritual yang Hanya Bisa Dipercaya oleh Orang yang Beriman
Akhir dari Presidensial Threshold
Catatan Pengujung Tahun 2024

Berita Terkait

Selasa, 11 Maret 2025 - 05:00 WIB

Membangun Ruang Sosial Lansia di Era Digital

Sabtu, 8 Maret 2025 - 19:28 WIB

Membenahi Institusi Kepolisian Kita

Senin, 3 Maret 2025 - 04:13 WIB

Hikmah Ramadan: Sabar dan Takdir

Sabtu, 1 Maret 2025 - 05:08 WIB

Kepada Siapa Kepala Daerah Tunduk?

Jumat, 28 Februari 2025 - 15:07 WIB

Hidup pada Bulan Ramadan Tetapi Tidak Terampuni Dosanya?

Berita Terbaru