Oleh AHMAD FARISI*
Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang syarat usia calon kepala daerah di satu sisi dan Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan di sisi lain mendapat apresiasi publik. Dalam dua putusan itu, MK dinilai mampu memberikan apa yang disebut dengan kepastian dan keadilan hukum yang selama ini dinanti-nantikan publik.
Dalam Putusan 70, MK menegaskan bahwa syarat usia bagi calon kepala daerah harus terpenuhi sejak penetapan calon. Bukan pada saat pelantikan kepala daerah terpilih sebagaimana Putusan MA Nomor 23/P/HUM/2024. Menurut MK, secara historis, sistematis, dan praktik selama ini, dan perbandingan dengan pemilihan lain, penghitungan syarat usia calon kepala daerah dihitung sejak penetapan calon, bukan sejak pelantikan calon terpilih.
Sementara dalam Putusan 60, MK memberi jalan baru yang lebih mudah bagi parpol atau gabungan parpol untuk mengusung pasangan calon kepala daerah. Di mana yang awalnya parpol atau gabung parpol diwajibkan memenuhi perolehan kursi 20 persen atau perolehan suara sebanyak 25 persen pada pemilu legislatif sebelumnya di daerah terkait agar bisa mengajukan calon kepala daerah, kini tidak lagi. MK membatalkan ketentuan a quo.
Dalam Putusan 60 tersebut, MK memperbolehkan parpol atau gabungan parpol mengusung pasangan calon kepala daerah dengan perolehan suara yang dimilikinya serupa dengan ketentuan yang berlaku bagi calon perseorangan atau calon independen. Misalnya, untuk daerah provinsi dengan daftar pemilih tetap (DPT) 6.000.000 – 12.000.000, parpol hanya diwajibkan mengantongi perolehan suara minimal 7,5 persen dari total DPT yang ada.
Dengan demikian, parpol-parpol yang awalnya terancam tidak bisa mengajukan pasangan calon karena tidak memenuhi threshold, seperti PDI-P di Jakarta menjadi bisa mengajukan pasangan calon seorang diri meski tidak mendapat tambahan kursi/suara dari parpol lain. Putusan ini oleh publik dinilai memberi harapan baru di tengah besarnya potensi calon tunggal melawan kotak kosong yang diperkirakan akan terjadi di berbagai daerah.
Namun, meski disambut baik oleh publik, dua putusan tersebut justru mendapat resistensi dari para elite di DPR. Satu hari setelah MK membacakan putusannya pada Selasa (20/8), melalui Badang Legis (Baleg) DPR pada Rabu (21/8) langsung menggelar pembahasan revisi UU 10/2016 untuk ”mengakali” dan “menganulir” dua putusan MK tersebut.
Hasilnya, pertama, Baleg DPR menyepakati putusan MK Nomor 70, namun hanya memberlakukannya bagi parpol/gabungan parpol non-parlemen, sementara parpol/gabungan parpol yang memiliki kursi di DPRD daerah terkait tetap menggunakan ketentuan lama.
Kedua, menolak putusan MK Nomor 70 dan menerima/mengakomodasi putusan MA, yakni menghitung syarat usia calon kepala daerah sejak pelantikan calon kepala daerah terpilih. Namun, kabar baiknya, karena tekanan kuat dari masyarakat sipil, akhirnya DPR memilih tidak mengundangkan RUU Pilkada dengan poin-poin kontroversial yang telah disepakati itu.
Akan tetapi, meski demikian, peluang untuk diundangkannya RUU Pilkada sebelum masa pendaftaran calon kepala daerah pada 27-29 Agustus ini masih terbuka. DPR—yang hari ini mengalami krisis moral—bisa saja mengundangkan RUU Pilkada kapan saja. Sudah banyak contoh yang memperlihatkan ini. Pengesahan RUU KPK dan RUU Cipta Kerja, misalnya.
Lantas, bagaimana Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pilkada harus bersikap jika DPR nantinya mengundangkan RUU Pilkada atau Presiden mengeluarkan Perppu Pilkada untuk mensiasati putusan MK? Bolehkan KPU mendasarkan aturan pelaksanaan Pilkada 2024 secara mutlak pada putusan MK tanpa memedulikan keputusan DPR?
Putusan MK merupakan putusan yang mengikat para pihak (inter parties). Selain itu, putusan MK juga bersifat final, yang artinya tidak ada upaya hukum apa pun yang bisa dilakukan untuk mengubahnya dan karena itu harus ditaati oleh siapapun (erga omnes).
Karena itu, sejak putusan MK diucapkan, bisa dikatakan putusan MK bisa langsung diterapkan. Dalam beberapa kasus, putusan MK memang ada yang tidak langsung diberlakukan. Namun, hal itu hanya bisa terjadi bila MK memberi waktu khusus kapan suatu putusan harus diberlakukan. Namun, dalam konteks putusan 70 dan 60, MK tidak memberlakukan waktu khusus apa pun. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahwa dua putusan MK terkait ketentuan pelaksanaan Pilkada sudah bisa diterapkan di Pilkada 2024.
Untuk itu, sebaiknya KPU tak terlalu ambil pusing jika nantinya terdapat dua ketentuan terkait pelaksaan Pilkada, yakni dalam putusan MK dan UU Pilkada. Sebab, adalah sah bagi KPU untuk mendasarkan pelaksanaan Pilkada 2024 pada putusan MK secara mutlak. Tidak ada konsekuensi hukum jika KPU memilih menaati Putusan MK ketimbang UU yang memiliki ketentuan sama. Putusan MK final dan berkekuatan hukum tetap. Di samping juga bisa dianggap sejajar/disejajarkan dengan norma UUD 1945, yang tentunya lebih tinggi dari UU.
Sebaliknya, konsekuensi hukum itu ada justru jika KPU tidak mengakomodir putusan MK sebagai basis pelaksanaan Pilkada 2024. Menurut MK dalam Putusan 70, pelaksanaan Pilkada yang tidak didasarkan pada putusan MK berpotensi dibatalkan oleh MK sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang memiliki kewenangan memutus sengketa Pilkada.
Karena itu, agar KPU tidak kerepotan dan dipersoalkan secara hukum di kemudian hari, sebaiknya KPU ikuti saja apa yang telah diputuskan oleh MK tanpa terpengaruh oleh dinamika politik yang sedang berlangsung. Putusan MK terkait aturan Pilkada sudah final dan tidak bisa dilakukan upaya hukum apa pun untuk mengubahnya. Sehingga, mendasarkan pelaksanaan Pilkada 2024 kepada putusan MK secara mutlak adalah sah dan berkepastian secara hukum.
Logika yang sama juga berlaku bagi kepentingan penyelenggaraan pemilu di masa depan. Bahwa jika terdapat dua ketentuan yang berbeda dalam putusan MK dan UU terkait, adalah sah bagi KPU untuk merujuk pada putusan MK secara mutlak. Apalagi, ketentuan pada UU terkait merupakan norma yang pernah dibatalkan MK, jadi adalah tidak ada pilihan lain bagi KPU selain menjalankan dan menaati putusan MK yang final dan mengikat.
*) Pengamat Politik