Membaca Wacana Penundaan Pemilu

Ahmad Farisi

Selasa, 15 Maret 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Wacana penundaan pemilu telah menciptakan “kekhawatiran” tersendiri bagi banyak pihak. Kekhawatiran itu kiranya tidak berlebihan.

Sebab, meski wacana itu sampai saat ini masih sebatas bola liar, tetapi wacana itu ditengarai punya potensi besar untuk diwujudkan melalui jalur amandemen.

Presiden Jokowi dalam pernyataan resminya memang telah menyatakan bahwa dirinya taat dan patuh terhadap konstitusi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, karena dalam pernyataannya itu Jokowi tidak secara tegas menolak usulan penundaan pemilu, pertanyaan baru pun bermunculan: taat dan patuh terhadap konstitusi yang manakah ia?

Taat dan patuh terhadap konstitusi yang berlaku-kah –yang tidak memuat pasal penundaan pemilu? Atau, taat dan patuh pada konstitusi yang akan di amandemen-kah –yang akan memuat pasal penundaan pemilu? Semuanya masih abu-abu.

Karenanya, untuk itu penting bagi kita untuk terus waspada demi mengantisipasi berbagai kemungkinan-kemungkinan politik yang sama sekali tak pernah kita inginkan terjadi dalam sejarah politik kita.

Terlebih, salah satu menteri Jokowi yang cukup berpengaruh, Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan, juga telah ikut bersuara mewacanakan penundaan pemilu.

Bahkan, sebagaimana disampaikan Luhut dalam podcast #closethedoor di channel You Tube Deddy Corbuzier, ia mengklaim punya big data yang menampung aspirasi rakyat yang menginginkan penundaan pemilu (sekitar 110 juta). Tentu hal ini harus menambah kewaspadaan kita.

Sebab, jika kekuatan politik raksasa yang ada bersatu dan berkehendak, ketidakmungkinan pun bisa saja menjadi mungkin dalam sekejap.

Potensi Amandemen

Baca Juga :  HPN 2024 dan Jurnalisme Masa Kini

UUD 1945 dalam Pasal 37 mengharuskan usul perubahan diajukan oleh 1/3 anggota MPR. Pada sidang pembahasan usulan perubahan, minimal harus dihadiri oleh 2/3 anggota MPR.

Sementara pada putusan perubahan harus disetujui oleh 50 persen ditambah 1 dari seluruh anggota MPR.

Secara teoretis, ketentuan tentang pengubahan konstitusi itu termasuk dalam kategori konstitusi yang kaku, sebuah konstitusi yang tidak mudah untuk di amandemen.

Namun, jika melihat pada peta politik kekuasaan yang ada, ketentuan melakukan perubahan itu sangatlah mudah untuk dipenuhi.

Sebab, mayoritas partai di parlemen adalah pendukung atau koalisi daripada pemerintahan yang sedang dipimpin oleh Jokowi.

Sampai hari ini, yang masih bertahan dan tercatat bukan bagian dari koalisi pemerintahan Jokowi hanyalah Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Jadi, jika partai-partai koalisi itu menemukan kesamaan kepentingan dalam wacana penundaan pemilu, atau bahkan yang di luar koalisi juga berhasil dipengaruhi, maka amandemen untuk mengakomodasi pasal penundaan pemilu itu hanya menunggu waktu. Pun pada kenyataannya nanti akan mendapat gelombang penolakan besar-besaran dari publik.

Apalagi, diketahui MPR juga punya agenda politik terkait dengan amandemen, yakni memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) ke dalam UUD sebagaimana yang masif diwacanakan pada akhir 2021 lalu, tentu prosesnya akan semakin mulus.

Bak gayung bersambut, kompromi politik untuk mengamandemen konstitusi pun bisa saja terjadi.

Dan, jika kompromi politik antara yang berkepentingan dengan penundaan pemilu dan yang berkepentingan dengan PPHN ini terjadi, pada akhirnya bukan hanya penundaan pemilu yang akan lolos dan terakomodasi dalam konstitusi, tetapi juga pasal-pasal PPHN sekaligus.

Baca Juga :  Idul Adha dan Pesan Kepemimpinan Nabi Ibrahim

Dua hal berbeda yang sama-sama kita tolak, namun bisa terjadi secara bersamaan.
Karena itu, bagaimanapun bentuknya, wacana amandemen ini perlu untuk terus kita waspadai, khususnya mengenai penundaan pemilu.

Apa pun alasannya, upaya untuk menunda pemilu ini adalah bagian dari taktik politik untuk mempertahankan status quo. Yang pada akhirnya akan menciptakan sistem kekuasaan yang tak terbatas dan absolut.

Bahaya Kekuasaan Tak Terbatas

Demokrasi menghendaki transisi kekuasaan (Affan Gaffar, 1999). Dengan kata lain, demokrasi tak menghendaki kekuasaan yang tak terbatas.

Karena itu, jika kita menengok konstitusi negara-negara demokrasi dunia, hampir semuanya memuat pembatasan kekuasaan di dalamnya.

Di konstitusi Amerika Serikat, misalnya, pembatasan kekuasaan itu bisa kita lihat pada Pasal II ayat I, yang menyatakan: Presiden Amerika Serikat memangku jabatannya dalam jangka waktu empat tahun, bersama-sama dengan Wakil Presiden, yang dipilih untuk jangka waktu yang sama.

Di konstitusi kita, pembatasan kekuasaan itu diatur dalam Pasal 7 yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan setelahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Mengapa demokrasi menghendaki pembatasan kekuasaan? Sebab, kekuasaan yang tak terbatas, atau yang tak dibatasi akan cenderung otoriter dan mengancam eksistensi demokrasi itu sendiri: mengangkangi dan pada akhirnya menghancurkannya.

Baca Juga :  Hukum vis a vis Politik

Lihat Hugo Chaves yang memimpin Venezuela sejak 1999 – 2012, yang pada awalnya memimpin Venezuela dengan sangat demokratis, namun mejadi penguasa otoriter karena kekuasaannya yang tak terbatas (Steven Levitsky & Daniel Ziblat, 2019).

Bersama para pendukungnya, ia berhasil menghapus pasal pembatasan kekuasaan dalam konstitusi Venezuela.

Di Indonesia, kita juga bisa melihat Soeharto, yang karena tanpa pembatasan kekuasaan yang jelas dalam konstitusi, ia bisa berkali-kali ikut pemilu dan memenangkannya. Yang pada akhirnya membuat ia sewenang-wenang dan menjalankan demokrasi berdasarkan kehendak subjektifnya.

Mematuhi Konstitusi

Karena itu, pembatasan kekuasaan yang telah diatur oleh konstitusi sudah selayaknya untuk dipatuhi dan dijadikan norma dasar dalam menyelenggarakan kebijakan politik kenegaraan.

Jangan hanya karena untuk memenuhi hasrat berkuasa, lalu mengutak-atik konstitusi. Ini adalah preseden buruk bagi pembangunan dan pelembagaan demokrasi kita.

Pembatasan kekuasaan yang diatur dalam UUD 1995 itu sudah merupakan representasi ideal sekaligus riil sebuah norma hukum yang mesti dipatuhi secara kolektif.

Wacana menunda pemilu melalui amandemen hanya akan merusak rambu-rambu demokrasi politik yang telah kita bangun selama lebih dari dua dekade. Dan hal itu sangat kita sayangkan.

Karena itu, sebagaimana yang dijelaskan Schmuckenchlager: politik kekuasaan kadang harus dikesampingkan untuk melakukan hal yang benar.

Dan, kita berharap para elite partai punya keberanian politik untuk melakukan penolakan wacana penundaan pemilu ini. Bukan sebaliknya, memberi dukungan moral dan politik atas terbentuknya kekuasaan yang tak terbatas.

Berita Terkait

Antara Putusan MK dan UU Pilkada, Ke Mana KPU Harus Merujuk?
Sakaratul Maut; Andaikata Lebih Jauh Lagi
Holupis Kuntul Baris: Merayakan Hari Kemerdekaan dengan Semangat Gotong-Royong
Roebling, Tak Sempurna; Namun Mampu Mewujudkan Cita-citanya
Menyikapi Ancaman Terorisme
Calon Tunggal, Kegagalan, dan Pragmatisme Partai Politik
Kiai Fikri Tidak Gagal dan Juga Tidak Pernah Membelot!
Menyoal Fenomena Calon Tunggal dalam Pilkada

Berita Terkait

Sabtu, 24 Agustus 2024 - 10:46 WIB

Antara Putusan MK dan UU Pilkada, Ke Mana KPU Harus Merujuk?

Jumat, 23 Agustus 2024 - 08:30 WIB

Sakaratul Maut; Andaikata Lebih Jauh Lagi

Sabtu, 17 Agustus 2024 - 13:55 WIB

Holupis Kuntul Baris: Merayakan Hari Kemerdekaan dengan Semangat Gotong-Royong

Jumat, 16 Agustus 2024 - 10:00 WIB

Roebling, Tak Sempurna; Namun Mampu Mewujudkan Cita-citanya

Minggu, 11 Agustus 2024 - 05:45 WIB

Menyikapi Ancaman Terorisme

Berita Terbaru