Oleh AHMAD FARISI*
Setelah berkali-kali diuji dan serta berkali-kali pula ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), akhirnya permohonan untuk membatalkan presidensial threshold (ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden) yang termuat dalam Pasal 222 UU No. 7/2017 tentang Pemilu dikabulkan MK.
”Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam amarnya saat membacakan putusannya pada Kamis, 2 Januari 2025.
Meski terdapat dissenting opinion dari Hakim Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Anwar Usman, namun Putusan MK Nomor 62-PUU/XXII/2024 ini benar-benar seperti sebuah keajaiban.
Sebab, dalam putusan ini MK bukan hanya mengubah pandangannya terkait kedudukan hukum (legal standing), tetapi juga mengubah pendiriannya tentang prinsip open legal policy, satu prinsip pokok yang selama ini sering menjadi problem utama bagi MK untuk menilai konstitusionalitas norma ambang batas yang telah digugat berkali-kali itu.
Dalam Putusan Nomor 73/PUU-XX/2022 yang dimohonkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya, dalam pertimbangannya dengan tegas MK menyatakan bahwa ketentuan presidensial threshold adalah ranahnya pembentuk undang-undang.
Bahkan, dalam Putusan Nomor 80/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh Partai Buruh, selain menyatakan diri tetap tidak berwenang, MK juga menegaskan bahwa ketentuan presidensial threshold sama sekali tidak melanggar hak-hak partai politik peserta pemilu untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.
Karena itu, jika kita merujuk pada putusan-putusan sebelumnya, kesimpulannya adalah sulit bagi MK untuk membatalkan ketentuan presidensial threshold.
Namun, setelah selama ini menerima banyak gugatan terkait ketentuan presidensial threshold, akhirnya MK mau mengubah pendiriannya hingga akhirnya MK berani melakukan judicial activism dan menyatakan bahwa presidensial threshold 20 persen bertentangan dengan UUD 1945.
Secara garis besar, sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan hukumnya, ada beberapa alasan yang membuat MK kemudian mengubah pendiriannya terkait perkara presidensial threshold.
Pertama, ketentuan presidensial threshold dinilai mencederai hak partai politik peserta pemilu untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Sebab, menurut MK, hak untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden adalah hak konstitusional (constitutional rights) partai politik peserta pemilu yang tak boleh dikurangi dan dibatasi.
Kedua, menguntungkan partai besar dan merugikan partai kecil. Menurut MK, penetapan persentase ambang batas tidak didasarkan pada penghitungan yang rasional. Sehingga penetapan persentase yang ada dinilai lebih menguntungkan partai besar di satu sisi dan merugikan partai-partai peserta pemilu lainnya yang tidak memiliki perolehan suara cukup.
Ketiga, mengabaikan spirit constitutional engineering yang tertuang dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Menurut MK, semangat dari Pasal 6A ayat (3) adalah menghendaki adanya beragam calon presiden dan wakil presiden yang mencerminkan kebhinekaan Indonesia.
Namun, presidensial threshold justru tak menghendaki adanya keberagaman calon itu. Lebih lanjut, MK juga berpendapat bahwa jika presidensial threshold yang tidak mencerminkan spirit constitutional engineering ini terus diberlakukan akan berpotensi menghalangi hak rakyat mendapatkan cukup banyak pilihan alternatif pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Keempat, pembentukan undang-undang melampaui kewenangan delegasinya. Secara tekstual, Pasal 6A ayat (5) memang telah memberikan delegasi kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur tata cara pemilihan presiden dan wakil presiden secara lebih rinci dalam undang-undang.
Namun, menurut MK, yang didelegasikan kepada pembentuk undang-undang sebenarnya adalah terkait tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden, bukan berkaitan dengan persyaratan pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai yang telah dikunci dalam Pasal 6A.
Karena itu, bagi MK penggunaan presidensial threshold sebagai syarat bagi partai untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah tidak tepat.
Dengan alasan-alasan di atas, menurut MK telah dengan terang bisa dilihat bahwa presidensial threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU 7/2017 bukan hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable yang jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945.
Angin Segar bagi Demokrasi
Pembatalan presidensial threshold oleh MK ini patut kita syukuri. Kita mengapresiasi keberanian MK dalam mengambil keputusan yang monumental ini. Ini adalah angin segar bagi demokrasi.
Dengan dibatalkannya presidensial threshold, maka ke depan peluang rakyat untuk mendapatkan lebih banyak pilihan alternatif menjadi terbuka lebar. Tidak hanya terbatas pada dua pilihan sebagaimana selama ini sering terjadi dalam pemilu Indonesia mutakhir.
*) Pengamat politik