Benturan-benturan kepentingan dalam negara itu kian terasa. Berbagai konflik kepentingan (conflict of interest) yang muncul belakangan ini menunjukkan bahwa benturan-benturan kepentingan dalam negara itu adalah fakta tak terbantahkan.
Bentuknya pun kompleks, muncul dengan berbagai variabel. Dari persoalan ekonomi, politik, hingga ke persoalan-persoalan sosial-agama. Sejurus kemudian, kekacauan dalam negara pun (setidaknya dalam level wacana) menjadi tak terhindarkan.
Klaim-klaim kebenaran dan penghakiman-penghakiman sepihak, bertebaran di mana-mana. Menyesaki ruang-ruang politik negara. Negara, seperti ruangan yang dipenuhi kabut tebal, menjadi tidak jelas rupa dan bentuknya.
Pada saat bersamaan, kebencian-kebencian politik berdasarkan identitas kelompok kesukuan, agama, afiliasi politik, dan ras—bak jamur di musim hujan—tumbuh dengan subur. Muncul secara terus menerus dan diproduksi tanpa henti.
Dan, keadaan ini semakin diperparah dengan hadirnya ‘yang virtual’ (internet). Dengan hadirnya ‘yang virtual’, benturan-benturan kepentingan dalam negara itu terjadi dengan kian keras, membabi-buta, lepas landas tanpa batas dan tali kendali yang kuat.
Benarlah apa yang dikatakan para penulis cyberpunk seperti B. Sterling, W. Gibson, dan N. Stephenson yang melihat masa depan didominasi bukan oleh kediktatoran terpusat, melainkan oleh fragmentasi sosial yang diakibatkan ‘yang virtual’ (F. Fukuyama, 2020).
Dengan hadirnya ‘yang virtual’, manusia-manusia baru dengan karakter yang buas, yang tanpa sungkan melibas nilai-nilai kemanusiaan, bermunculan. Lahir sebagai manusia-manusia baru yang “bebas nilai” dan sembari menuhankan kepentingan subjektifnya.
Mengutip ungkapan populer Thomas Hobbes: mereka (manusia) adalah serigala atas manusia lainnya (homo, homini, lupus). Memangsa manusia-manusia lainnya, dan menghancurkan sistem, tatanan, dan keadilan semesta.
Sejumlah ilusi tentang martabat diri, kemajuan, kehormatan kelompok, kemenangan, kekuasaan dan sejumlah ilusi-ilusi politis lainnya telah mendorong masyarakat kita pada ruang pertarungan kepentingan tanpa nilai dan moral.
Hasrat-hasrat untuk berkuasa dan menguasai, dan ambisi-ambisi untuk tampil dominan dan lalu mendominasi kehidupan dan sumber daya negara, menghancurkan nilai-nilai dan keluhuran politik yang harusnya ditegakkan untuk kepentingan publik.
Ironisnya lagi, benturan-benturan kepentingan itu tidak hanya melibatkan sejumlah masyarakat, tetapi juga pejabat publik itu sendiri. Dari pejabat yang paling tinggi hingga yang paling rendah, terjebak dalam kubangan kepentingan politik (identitas) diri.
Seperti gayung bersambut, sempurnalah benturan-benturan kepentingan dalam negara itu terjadi, menggunung, mencipta disrupsi sosial dan politik. Dan tanpa mau menyadari, semuanya masih terhanyut dalam arus kepentingan subjektif masing-masing.
Jean-Jacques Rousseau, mengistilahkan kondisi kehidupan yang demikian ini sebagai efek kehidupan “pasca-masyarakat”, kehidupan pasca-manusia mengenal kepemilikan pribadi yang kemudian menciptakan persaingan dan benturan-benturan kepentingan.
Efek politik
Kondisi sosial-politik yang riuh dengan benturan-benturan kepentingan subjektif itu berefek buruk pada stabilitas politik negara. Mesin politik negara—yang pada pokoknya mesti terus memproduksi kebijakan-kebijakan politik menjadi terganggu dan tidak produktif.
Imajinasi negara untuk memproyeksikan kebijakan-kebijakan politik berkelanjutan demikian menjadi tumpul. Seperti se-ekor rusa di tengah gurun luas nan gelap, negara tampak kebingungan hendak melangkah ke mana.
Pada saat yang bersamaan, kekeringan diskursus dan wacana publik yang sehat, melanda negara dan tak teratasi. Kebijakan-kebijakan politik sulit bertumbuh. Halaman-halaman negara yang hijau, yang menyejukkan dan menyegarkan, gagal diwujudkan.
Negara—pun telah bergerak cepat—namun tetap seperti diam di tempat. Pencapaian-pencapaian yang ada masih tampak biasa—sebagaimana proses “evolusi sosial” yang terjadi dalam sejarah panjang peradaban manusia selama berabad-abad.
Artinya, dengan ini penulis ingin menegaskan bahwa, adanya benturan-benturan kepentingan dalam negara, telah membuat negara (sebagai kekuatan besar/big power) gagal menjadi “mesin percepatan evolusi” dan “transformasi sosial”.
Imajinasi-imajinasi kehidupan masa depan yang berkemajuan, sejahtera, dan berkeadilan—yang dengan membentuk negara kita berharap bisa lekas terwujud, namun tetap bak api jauh dari panggang, sulit dapat segera diwujudkan –meski juga tidak mustahil.
Kembali pada kehendak publik
Dalam kehidupan masyarakat politik yang penuh dengan benturan-benturan kepentingan individual semacam itu, jalan yang paling dimungkinkan untuk membangun kembali stabilitas politik negara, tiada lain kecuali kembali pada kehendak publik.
Setiap individu dan/atau elite politik yang selama ini terpasung oleh kepentingan subjektif-individual, perlu meleburkan kepentingan diri, dan terlahir sebagai “manusia publik” yang memiliki jiwa altruistik, humanis, dan egaliter.
Karena itu, seruan politik Rousseau dalam The Social Contrac agar manusia yang hidup pada kehidupan “pasca-masyarakat” kembali hidup dengan menjunjung tinggi nilai-nilai publik (kehendak umum masyarakat) menjadi masuk akal dan rasional.
Itu artinya, sebuah kehidupan bernegara yang berkeadilan hanya bisa diwujudkan bilamana masyarakat mampu keluar dari kepentingan-kepentingan subjektif berbasis identitas diri, dan kembali pada apa yang menjadi kehendak publik.
Proses politik demokrasi mesti dibiarkan sebagaimana aturan dan norma hukum yang ada, tanpa intervensi. Dan hak semua warga negara untuk menyatakan pendapatnya serta mengekspresikan perasaan politiknya mesti diberikan sepenuhnya.
Kepentingan-kepentingan politik subjektif, tak boleh lagi melakukan pemboikotan terhadap jalannya proses politik demokrasi konstitusional. Serta, juga tak boleh melakukan marginalisasi terhadap pendapat dan ekspresi politik setiap warga negara.