Oleh Farisi Aris*)
Jika kita berbicara masalah kehidupan sosial yang lebih beradab, teratur, dan aman, maka jelas hukum adalah yang utama, politik berada barisan kedua. Sebagaimana slogan populer: hukum mesti menjadi panglima, yang mengatasi, yang menyelesaikan, yang mengakhiri segala kontradiksi dan paradoks sosial.
Namun, bukankah itu tidak pernah benar-benar terjadi. Hukum, ya hukum, sebagaimana kita saksikan: tidak pernah benar-benar mengakhiri kontradiksi dan paradoks sosial yang terjadi. Mengapa? Konon, karena politik tidak menghendaki hukum menjadi penyelesai, menjadi jalan terakhir.
Saya sengaja memilih kata ‘konon’. Sebab, saya sendiri rada-rada tidak setuju dengan argumen yang diajukan oleh banyak kalangan itu. Karenanya saya pilih kata ‘konon’ itu, karena argumen itu rada-rada tidak jelas, titik rasionalitasnya. Terkesan ngawur, terkesan sebagai pengkambinghitaman belaka.
Karena itu, untuk menguji pandangan itu, saya punya pertanyaan: benarkah politik tidak menghendaki hukum menjadi panglima? Ini sebenarnya membutuhkan diskusi panjang, tetapi, saya akan mencoba meringkasnya.
Pertaman-tama, saya ingin merujuk KBBI. Menurut KBBI, politik adalah pengetahuan tentang kenegaraan atau ketatanegaraan. Definisi ini, saya kira, merujuk pada makna politik sebagai pengetahuan yang lahir sekitaran abad 15 (kalau saya tidak salah), bukan merujuk pada makna politik sebagai bagian dari kehidupan manusia yang telah lahir jauh sebelum itu.
Akan tetapi, saya tidak hendak mempermasalahkan rujukan makna itu. Merujuk pada politik sebagai pengetahuan atau pada makna politik sebagai bagian dari praktik kehidupan manusia, itu tidak masalah (meski sebenarnya bisa kita permasalahkan). Yang jelas, berdasarkan makna harfiah yang ada, politik sebenarnya adalah hal kebajikan.
Nah, jika politik adalah kebajikan, bukankah hukum juga kebajikan? Lalu bagaimana mungkin kebajikan (politik) tidak menghendaki kebajikan (hukum) terjadi? Bukankah tidak ada kontradiksi di antara keduanya? Lalu mengapa politik dipandang tidak menghendaki kebajikan (hukum) terjadi?
Meski hukum dan politik saling berhadap-hadapan (vis a vis), keduanya tidak pernah menunjukkan muka masam, apalagi bermusuhan. Malahan, keduanya sama-sama menuju puncak kebajikan.
Inilah celakanya. Dalam kajian ilmu politik, antara politik, budaya politik, dan aktor politik itu dibedakan. Politik lebih pada pengetahuan bajiknya; budaya politik lebih pada kebiasaan (hukum) politik yang berkembang di masyarakat; aktor politik lebih pada pelaku atau subjek politik itu sendiri.
Pertanyaannya: dari tiga terminologi tersebut, yang manakah yang menghambat kebajikan hukum terjadi? Yang jelas bukan politik. Jawabannya adalah antara budaya atau aktor politik itu sendiri. Politik tidak termasuk sebagai penghambat. Posisinya pasif.
Karenanya, menganggap politik sebagai penghambat pembaptisan hukum sebagai panglima, itu adalah sebuah kecelakaan. Meski hukum dan politik saling berhadap-hadapan (vis a vis), keduanya tidak pernah menunjukkan muka masam, apalagi bermusuhan. Malahan, keduanya sama-sama menuju puncak kebajikan.
Jadi, tak diragukan lagi. Politik tidak pernah memusuhi hukum. Sebagai dua kebajikan, hukum dan politik senantiasa segendang-sepenarian, keduanya adalah malaikat yang tidak punya hasrat. Keduanya dilahirkan semata untuk tugas kebajikannya masing-masing.
Hukum adalah murni kebajikan. Begitupun politik. Sekali lagi, keduanya tidak mungkin saling mencegal. Yang paling mungkin melakukan perampokan hukum, itu bukan politik. Melainkan adalah budaya atau aktor politik itu sendiri: dua sub politik yang tidak lagi murni sebagai politik, tetapi telah bercampur aduk dengan watak, karakter, dan cara berpikir antara budaya dan aktor politik yang ada.
*)Farisi Aris, penulis lepas, mukim di Yogyakarta