Di Indonesia secara umum dan di Madura secara khusus, orang yang telah melaksanakan ibadah haji dipanggil dengan sebutan haji (ajji). Baik sesuai dengan nama baru yang dilakukan perubahan di Makkah ataupun sesuai nama yang memang sudah ada. Seperti Ji Muhammad, Ji Zinal, Ji Slamet, Ji Fatonah, Ji Fauzi, dan lain semacamnya.
Meski peristiwa serupa juga sangat mudah kita temukan di banyak daerah di Indonesia, namun di Madura terasa berbeda. Penyematan gelar haji kepada orang yang berhaji di Madura mirip dengan masyarakat akademik yang menyematkan gelar profesor kepada seorang profesor. Yang meski tidak tidak wajib memanggil dengan sebutan ”prof.”, namun tak etis rasanya bila tidak menyematkan gelar ”prof.” pada seorang profesor. Baik dalam pemanggilan ataupun dalam penulisan. Bagi orang Madura, demikian juga dengan gelar haji. Juga telah menjadi hukum tak tertulis yang secara sosial-etik harus dilakukan.
Di dalam Islam, memanggil atau memberi gelar haji kepada orang yang telah beribadah haji bukanlah kewajiban dan bahkan tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat. Karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa penyematan gelar haji pada orang yang telah berhaji adalah tidak perlu dan bahkan bisa makruh atau bahkan haram dilakukan. Namun, sebagian ulama membolehkan asal penyematan gelar haji itu tidak bertentangan dengan syariat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun begitu, penulis tak hendak buru-buru memutuskan status hukum (sunah mubah, makruh, atau haram) penyematan gelar haji pada orang yang telah berhaji dalam sosio-kultural masyarakat Madura tanpa mengetahuinya konteks yang sebenarnya, yang mendasari penyematan gelar haji itu menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat.
Penghargaan Spritual
Dalam pandangan masyarakat Madura, pencapaian spritual adalah pencapaian luar biasa yang tidak semua orang bisa mencapainya. Karena itu, di dalam kehidupan masyarakat Madura, orang yang dianggap telah mampu mendaki puncak spritual tertentu, tak ayal akan diperlakukan dengan sangat istimewa dengan caranya masing-masing.
Ibadah haji, dalam pandangan masyarakat Madura adalah ibadah spiritual penting yang tidak semua orang mampu melakukannya. Karena itu, tak ayal orang-orang yang mampu melakukan ibadah haji kemudian dianggap memiliki hubungan istimewa (spesial) dengan Rabnya sehingga dipanggil untuk berkunjung ke Rumah Tuhan (Baitullah).
Jadi, pertama-tama, dalam konteks ini, penyematan gelar haji pada seseorang yang telah berhaji tak lain adalah sebagai penghargaan spritual terhadap pelaku ibadah haji: disematkan gelar khusus yang hal itu menjadi pembeda dari daripada yang lain sebagai bentuk pengistimewaan kepada mereka yang telah dianggap istimewa oleh Tuhan.
Masyarakat Madura berpandangan bahwa, orang-orang yang telah dipanggil oleh Tuhan untuk melaksanakan ibadah haji adalah manusia istimewa. Karena itu, sebagai upaya untuk menghargai pencapaian spiritual mereka, disematkanlah gelar haji tersebut.
Ini unik. Semacam khazanah baru bagaimana gelar haji itu dieksplorasi dan dimaknai secara lebih filosofis: dari hanya sekadar gelar biasa menjadi suatu gelar yang bernilai transenden. Karena itu, dalam pemaknaan ini, penyematan gelar haji kepada mereka yang telah berhaji (baik dalam penyebutan ataupun penulisan) kemudian menjadi sesuatu yang sama sekali tidak problematik dan boleh-boleh saja dilakukan dan dikerjakan.
Sebab, dalam pemaknaan ini, gelar haji dilakukan sebagai sebentuk pemuliaan terhadap orang-orang yang telah diundang Tuhan untuk bertandang ke rumahNya. Islam sendiri tak melarang pesoalan ini. Bahkan, dalam banyak ayat atau teks wahyu, Islam dengan tegas memerintahkan umat Islam untuk memuliakan manusia dan kekasih-kekasih Tuhan.