Akhir-akhir ini, konflik keagamaan masih sering terjadi, baik yang dilakukan secara jelas ataupun yang masih samar-samar. Misalnya, kasus beberapa bulan lalu, pengeboman di Geraja, pembatasan aktivitas jemaah Ahmadiyah di Sintang, dan juga kasus lain yang mengarah pada gesekan antara kepercayaan agama tertentu di Indonesia.
Fenomena di atas memberi peta bahwa sebenarnya pola keberagamaan kita masih setengah-setengah dan belum sepenuhnya matang. Padahal, kalau mau jujur dan mencoba untuk melakukan telaah dan pemaknaan ulang pada Pancasila, sila pertama khususnya, sudah jelas bahwa konsep “Ketuhanan” telah berdiri kokoh di atas tanah Indonesia. Lantas, alasan apa yang menjadikan kita masih mengklim bahwa agama kita yang paling benar atau keyakinan kita sebagai satu-satunya yang mewakili misi “Ketuhanan” tersebut.
Ketika pemahaman tentang agama masih dangkal, apalagi hal demikian lahir di lingakaran akademik atau setidaknya mereka yang mengaku sebagai juru dakwah agama, saya pesimis agama di masa depan akan menemukan pijakan atau memberi nafas bagi pemeluknya. Di sini saya tidak ingin mengatakan bahwa agama tidak ada ruang berpijak, tidak. Melainkan, saya khawatir agama ditinggalkan hanya gara-gara hari ini kita mewarisi agama yang bar-bar, agama yang tidak menjadi rahmat bagi semesta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Maka dari itu, konsep agama yang ditawarkan oleh Nabi Muhammad, misalnya, yang mampu berkolaborasi dengan kebudayaan, sosialm ekonomi dan politik setempat patut menjadi dasar bagi peletakan keberagamaan kita hari ini. Yang mana agama dijadikan inspirasi dan jalan hidup bagi pemeluknya. Di sinilah, saya kira konsep rahmatan lil alamin mengakar di tengah-tengah masyarakat.
Lebih jauh lagi, pola tersebut kemudian diwarisi oleh para Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa. Walisongo tidak serta merta menghapus kebudayaan atau peradaban masyarakat Nusantara, tetapi menjadkan kebudayaan dan tradisi sebagai ladang dakwah untuk menyampaikan misi keislaman. Mungkin, dari tadi saya masih mengawang-awang, ngalur ngidul, dan tidak jelas apa yang ingin disampaikan di sini. Tapi, percayalah, bahwa ini merupakan satu kegelisahan saya setelah berada di bangku kuliah, di mana teman-teman yang notabene dari desa dengan mudah melupakan sejarah, tradisi dan pola keberagamaan yang dibangun sejak kecil.
Waktu itu, musim hujan di Jogja, seorang teman dekat di kelas bercerita tentang teman perempuannya yang akhir-akhir ini mulai berubah cara pakaian, pergaulan dan juga cara ia menampilkan keagamaan di ruang publik. Bahkan di suatu kesempatan si perempuan itu mengajak teman saya untuk hijrah. Saya kira ini bukan hal yang aneh. Wajar saja ketika misalnya orang yang dekat dengan kita, atau siapapun tiba-tiba di satu masa mengalami perubahan yang drastis, lebih-lebih dalam beragama.
Berbeda dengan apa yang saya alami akhir-akhir ini, di mana merasa gelisah dengan pola keberagamaan manusia-manusia kiwari yang kecenderungannya mengabaikan spirit keagamaan yang sudah dipelajari di kampung, misal. Sikap abai pada aturan agama mulai longgar, hanya berdasar pada nilai kebebasan berekspresi dan hak asasi. Aneh? Tidak juga. Tapi, ketika ruang-ruang seperti ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin agama justru hanya dilihat dari nilai semata, bukan lagi sebagai jalan hidup atau pun inspirasi.
Terakhir, saya ingin menegaskan kembali bahwa, konsep keberagamaan yang ideal hari ini atau pun di masa depan adalah keberagamaan yang menghargai kebudayaan, peradaban, tradisi dan local wisdom. Sehingga agama mempunyai ruh yang mampu meniupkan spirit di setiap masa. Agama bukan lagi dipahami semata-mata hanya ajaran yang berdiri di museum ketuhanan, tanpa melihat sisi kultur masyarakat setempat.
Sebagai negara yang menaungi banyak identitas—agama dalam konteks Indonesia—harus dijadikan ruang kesadaran baru akan persatuan dan sikap saling menghargai satu sama lainnya.