Oleh Farisi Aris*)
Suatu waktu saya pernah berbalas komentar dengan seorang kiai. Temanya soal politik.
Karena itu berlangsung di media sosial, saya tidak ambil serius. Bagi saya, media sosial adalah taman bermain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena itu, pun membahas hal-hal serius, hampir setiap berbalas komentar, saya selalu mencari kalimat-kalimat yang ringan.
Kata seorang nitizen, yang duniawi saja.
Dan itu, juga saya lakukan saat berbalas komentar dengan kiai yang juga masih guru saya, saya bawa enjoy saja. Membalas dengan nada-nada bercanda.
Tak disangka. Ada yang kebakaran jenggot. Ulah saya yang berbalas komentar dengan kiai itu dianggap su’ul adzab. Muncullah sumpah serapah.
Saya tersenyum membaca ulah netizen yang, jangankan kenal, merasa kenal saja tidak. Namun, saya memaklumi itu semua. Termasuk sumpah serapahnya.
Toh, bagaimanapun, hak untuk menafsirkan teks yang ia baca adalah hak ia sepenuhnya.
Saya –sebagai pengucap– tidak punya hak untuk membatasi, apalagi mengintervensi semesta tafsir sang pembaca.
Tafsir dan pengkultusan kiai
Adakah tafsir yang objektif, yang terlepas dari subjektivitas si penafsir?
Tentu ada. Banyak bahkan. Dan itu terjadi, bila si penafsir menjaga jarak dari objek yang ditafsiri itu sendiri.
Pada saat bersamaan, juga tak lupa menjadikan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya teropong kebenaran.
Meski kita semua bukan kiai, tapi semua kiai itu adalah kita: manusia pada umumnya.
Akan tetapi, masyarakat kita tidak punya tradisi intelektual macam itu. Tradisi yang kita punya adalah tradisi menghakimi, dengan asumsi, dengan spekulasi.
Sering kali, atau kebanyakan, peristiwa-peristiwa budaya, sosial, apalagi politik, dilihat dari sudut-sudut yang paling personal, alih-alih berpegang pada ilmu pengetahuan.
Dan, tak bisa dipungkiri, sumpah serapah yang saya dapati dalam peristiwa balas komentar dengan seorang kiai itu, juga tak lebih dari sekadar argumen yang tidak memiliki pijakan rasionalitas.
Setidaknya, hal itu bisa dilihat dari komentarnya yang mengkultuskan posisi seorang kiai tanpa mau menyaksikan bagaimana ilmu pengetahuan melihatnya.
Kiai diposisikan sebagai monumen kebenaran yang final, yang tidak bisa dilawan secara dialogis. Melawannya dianggap tabu. Atau haram sekaligus.
Padahal, di dalam konsep politik kesetaraan, kelas sosial itu adalah barang mati. Dan, semua subjek, sama sebagai manusia. Yang punya kesempatan yang sama untuk berbicara.
Namun, terlepas dari konsep kesetaraan politik itu, saya tetap heran dengan fenomena pengkultusan kiai itu. Mengapa kita begitu suka mengkultuskan kiai?
Bukankah kiai juga manusia? Bukan nabi yang maksum (terjaga) dari kesalahan. Juga bukan malaikat yang selamanya putih!
Anda mau contoh? Silakan buka Mbah Google. Lalu, ketik frasa kasus kiai… Anda akan menemukan bahwa kiai itu manusia biasa.
Jadi, meski kita semua bukan kiai, tapi semua kiai itu adalah kita: manusia pada umumnya.
*)Farisi Aris, penulis lepas, mukim di Yogyakarta