Politik lahir setidaknya sebagai dua hal: sebagai ide sekaligus sebagai tindakan. Politik sebagai ide adalah kondisi di mana pikiran-pikiran politik mulai tumbuh dan ada, sedangkan politik sebagai tindakan adalah proses puncak di mana politik menjadi laku, seni, dan praktik sosial. Dalam dunia ide, politik merupakan hal abstrak. Bersifat imajener. Sedangkan dalam proses akhirnya, yakni saat sudah menjadi tindakan, politik bukan lagi barang abstrak. Ia menjadi realitas pasti.
Dengan demikian—mengikuti logika Alain Badiou—muncullah kondisi di mana politik sebagai representasi keinginan manusia untuk hidup bersama tidak lagi dapat merepresentasikan dirinya sebagai representasi.
Dengan demikian, maka berarti manusia adalah satu-satunya seubjek politik itu sendiri. Jika politik kita artikan sebagai ‘cara untuk mengatur hidup kehidupan sosial’ [sebagaimana dikhotbahkan oleh filsuf-filsuf Yunani Kuno], maka ada banyak keinginan dan cita-cita mengapa manusia mencetuskan dan sekaligus menjadi subjek politik itu sendiri, salah satunya tiada lain adanya keinginan dan harapan untuk mencapai kedamaian, kerukunan, kebahagian, dan kesejahteraan bersama dalam hidup.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, dalam realitasnya tidaklah demikian. Subjek yang menciptakan dan melahirkan politik yang dicita-citakan sebagai cara untuk mengatur kehidupan orang banyak, agar dapat menciptakan sistem kehidupan yang damai, adil, sejahtera dan rukun tidaklah benar-benar pernah tercapai. Misalnya, bisa kita lihat hari ini bagaimana politik lebih tampak sebagai alat untuk merebut tahta dan kekuasaan belaka, bukan untuk menyemai kemerdekaan, kedamaian dan kesejahteraan bersama.
Kehidupan politik kita akhir-akhir ini pun seperti itu. Realitas politik kita memperlihatkan adanya ketidaksamaan antara politik sebagai ide dan politik sebagai tindakan. Ada sejumlah ketimpangan yang membuat keduanya tak lagi bisa berjalan seimbang. Pada tingkatan ideologis, politik kita begitu menggugah dan menawarkan banyak impian-impian luar biasa pada kehidupan kita, namun, dalam sisi praktisnya, semua itu tak lebih dari sekadar janji-janji utopis nan munafik yang dijadikan alat oleh subjek (elite) politik kita.
Lalu, pertanyaannya, mengapa bisa demikian? Jawabannya adalah karena subjek penting (elite) yang menjadi pelaku utama tindakan politik tidak lagi merdeka dari nafsunya dan dari hasrat individunya. Dengan demikian—mengikuti logika Alain Badiou—muncullah kondisi di mana politik sebagai representasi keinginan manusia untuk hidup bersama tidak lagi dapat merepresentasikan dirinya sebagai representasi. Oleh karena itu, pada konteks ini, sebenarnya politik kita tak lebih dari sekadar ‘kesadaran palsu’. Sempurna dalam ide namun cacat dalam tindakan.
Fantasi dalam logika zizekian dikatakan sebagai intuisi yang membentuk hasrat subjek politik. Dalam ‘fantasi’ subjek politik hidup dalam bayang-bayang kesempurnaan dirinya.
Ada beragam tafsir mengapa subjek penting (elite) politik itu menjadi tidak merdeka atas nafsu dan hasrat individunya itu, salah satunya, yang disebut oleh Slavoj Zizek adalah karena ‘fantasi’. Fantasi dalam logika zizekian dikatakan sebagai intuisi yang membentuk hasrat subjek politik. Dalam ‘fantasi’ subjek politik hidup dalam bayang-bayang kesempurnaan dirinya. Misalkan, dalam dunia fantasi orang akan sering membayangkan bahwa dengan punyak banyak uang dan jabatan tinggi, ia mengira bahwa hidupnya akan bahagia dan sesuai dengan yang diinginkan.
Sehingga, dari situ, hasratnya untuk kaya dan meraih jabatan setinggi-tingginya pun mulai membara, menggelora dan menggoda. Dalam kondisi seperti ini, subjek tersebut sudah tidak merdeka, Karena setiap tindakan politiknya pasti diwarnai dengan kepentingan [subjektivitas] dirinya. Bukan kepentingan bersama. Dengan demikian, cita-cita semua subjek politik dalam menciptakan politik menjadi sirna karena perilaku ‘culas’ sebagian atau sekelompok subjek penting (elite) politik tersebut.
Dalam proses selanjutnya, subjek penting (elite) politik yang terjajah oleh keinginan hasratnya tersebut akan menghalalkan segala cara. Mulai dari mempolitisasi agama, ideologi, budaya, hingga perang yang menumpahkan darah pun bisa saja dilakoni. PD I dan PD II adalah gambaran ‘pasti’ dari bagaimana subjek penting politik yang sangat berhasrat memuaskan hasrat nafsu politiknya.
PD I dan PD II adalah soal kapitalisme dan komunisme. Keduanya, sama-sama menawarkan kemerdekaan dan kesejahteraan bagi subjek politik lainnya. Namun, kata Eric Fromm, bagaimana mungkin ideologi politik yang demikian menawarkan kemardekaan dan kesejahteraan subjek malah mengamini ‘perang’ yang jelas-jelas menyengsarakan banyak subjek politik lainnya? Dugaan kita tiada lain—kecuali adanya subjek penting (elite) politik culas yang memang menginginkan perang itu terjadi demi hasrat dan kepuasan nafsunya.
Karena itu, satu-satunya jalan keluar dari semua problem politik yang tiada henti ini adalah semua subjek politik—subjek penting (elite) khususnya—harus merdeka dari nafsu dan hasrat individunya. Dan, melenyapkan fantasi negatif yang membentuk hasrat negatif pula adalah jalan untuk merdeka sebagai subjek politik. Kemerdekaan tiap-tiap subjek politik dari hasrat individualnya adalah jawaban pasti untuk mengembalikan politik sebagai representasi keinginan bersama yang dapat merepresentasikan dirinya.
Pada saat bersamaan, saat politik sebagai representasi sudah bisa merepresentasikan dirinya sebagai representasi keinginan semua subjek politik, di situlah cita-cita politik akan menemukan titik gemilangnya. Di mana semua subjek bisa merasakan kenyamanan, kebahagiaan, kedamaian, dan kesejahteraan politik sebagai subjek politik itu sendiri.