Katastrofi Ketatanegaraan

Redaksi Nolesa

Sabtu, 28 Oktober 2023

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh AHMAD FARISI*

Tahapan Pilpres 2024 telah memasuki tahapan krusial. Yakni, tahap pendaftaran. Dua bakal calon presiden dan wakili presiden (bacapres dan bacawapres), yakni Anies-Muhaimin (AMIN) dan Ganjar-Mahfud telah resmi mendaftarkan diri sebagai dua pasangan calon yang akan berkontestasi di Pilpres 2024. Kemeriahan menggema. Para pendukungnya terlihat tampak begitu antusias mengawal pendaftaran dua bacapres dan bacawapres tersebut.

Namun, terlepas dari semua kemeriahan itu, kita bersedih atas apa yang tengah terjadi belakangan ini. Mulai dari cawe-cawe kepala negara, perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK dan hingga yang terbaru, tentang patahnya palu hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Bagi penulis, semua itu bukan peristiwa politik biasa, melainkan katastrofi (bencana) ketatanegaraan yang akan berimplikasi buruk pada sistem ketatanegaraan kita ke depan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Boleh jadi, bencana ketatanegaraan yang tengah terjadi kini, akan menjadi menjadi contoh bagi politisi-politisi masa depan perihal bagaimana memperlakukan kekuasaan. Belum lagi jika apa yang terjadi kini dipahami sebagai serangan satu aktor kepada aktor lainnya, yang barang tentu akan meninggalkan luka dan dendam, maka barang pasti, bencana-bencana ketatanegaraan semacam ini akan menjadi bencana ketatanegaraan yang terjadi secara berulang. Namun ujungnya, tetaplah rakyat dan negara yang dirugikan.

Baca Juga :  Menyongsong 2023, Kita harus Bagaimana?

Kita memang bukan negara yang pertama yang mengalami katastrofi ketatanegaraan semacam ini. Negara-negara seperti Rusia, Turki, Filipina, dan sejumlah negara-negara Afrika sudah lebih dulu mengalaminya dari kita. Itulah asbabun nuzul mengapa Steven Lavistky & Daniel Ziblatt (2018) menulis buku yang berjudul How Democraciz Die atau Bagaimana Demokrasi Mati.

Namun, meski bukan yang pertama, kita tetap menyesali katastrofi ketatanegaraan yang tentah terjadi ini. Sebab, katastrofi ketatanegaraan semacam ini, adalah awal dari kehancuran kita sebagai negara yang beradab, yang menjunjung tinggi Pancasila dan hukum. Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk mencegah bencana ketatanegaraan menjadi semakin meluas?

Berjuang melalui Bilik Suara

Sebagai warga negara, sebenarnya tak banyak yang bisa kita lakukan. Meski secara fundamental kita diberi kebebasan oleh konstitusi untuk menggugat kebijakan negara yang dinilai melenceng, namun belakangan ini semua itu tampak tak berguna. Dalam beberapa tahun ini kita telah menyaksikan, betapa protes dan gugatan publik tak lagi dianggap penting.

Meski protes dan gugatan publik menggema, nyaris tak satupun ada yang dirubah. Aspirasi publik, sudah seperti sampah yang tidak berharga. Lihatlah penolakan publik terhadap revisi UU KPK, UU IKN, UU Cipta Kerja, perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK dan beberapa kebijakan publik lainnya,, adakah protes dan gugatan publik yang diakomodasi di situ?

Baca Juga :  Rapor Merah IIP Kita

Oleh karena itu, hal yang paling mungkin untuk kita lakukan untuk saat ini, adalah berjuang melalui bilik suara. Narasi ini sepintas memang sangat sepele, namun cukup efektif dan cukup memungkinkan untuk kita lakukan. Sebab, melalui bilik suara inilah kepemimpinan nasional akan ditentukan.

Dengan kata lain, apakah kita kembali akan mengalami bencana ketatanegaraan serupa atau tidak, di bilik suaralah inilah babak penentuannya. Karena itu, sebagai pemilih, maka sudah waktunya bagi kita untuk menjadi pemilih cerdas. Wabil khusus para pemilih muda dan pemilih nahdliyin (santri).

Belakangan ini, jika kita cermati, dua basis pemilih ini (pemilih muda dan pemilih nahdliyin) sedang diperebutkan secara cermat oleh partai dan bacapres. Upaya merebut suara dua kantong pemilih itu rasanya cukup rasional. Sebab, dari 204. 807. 222 Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional, 56 persen (113 juta) di antaranya adalah pemilih muda. Dengan rincian, 66.822.389 atau 33,60 persen berasal dari generasi milenial (1989-1994) dan sebanyak 46.800.161 atau 22,85 persen berasal dari pemilih generasi Z (1995-2010).

Sementara itu, menurut olah data SMRC, dari jumlah DPT yang ada, 20 persen atau 40 juta di antarnya adalah pemilih nahdliyin. Data Ini belum termasuk warga nahdliyin kultural. Jadi, wajar bila dua basis suara ini sangat diperhitungkan secara elektoral. Sebab, siapa pun yang berhasil meraih dukungan besar dari dua basis pemilih ini, bisa dipastikan akan meraih kemenangan. Atau setidaknya, berpeluang masuk pada putaran kedua.

Baca Juga :  Pertumbuhan Demokrasi dan Kritisisme Publik 

Karena itu, dengan basis suara yang besar itu, sudah saatnya pemilih muda/nahdliyin untuk menjadi pemilih yang cerdas untuk mengantisipasi katastrofi ketatanegaraan di masa depan. Sekali lagi, dukungan pemilih di bilik suara ada babak penentu kepemimpinan nasional ke depan. Jika pemilih muda/nahdliyin salah menyalurkan suaranya, tidak menutup kemungkinan, bencana ketatanegaraan seperti yang terjadi kini akan terulang lagi.

Santri (pemilih nahdliyin) dan juga pemilih muda, bukankah buih di lautan politik. Oleh sebab itu, pemilih muda dan pemilih nahdliyin harus sungguh-sungguh secara cerdas menentukan pilihan politiknya.
Jangan hanya karena persoalan identitas yang dianggap mewakili kelompok muda dan nahdliyin, kita salah menyalurkan suara emas kita. Memilih pemimpin adalah memilih sosok yang akan wakili nasib kita secara keseluruhan, bukan hanya sebatas mewakili identitas kita secara formal. Untuk apa identitas kita diwakili, jika katastrofi ketatanegaraan terus terjadi?


*) Pengamat politik

Berita Terkait

Menguji Kebenaran Pernyataan Sekretaris DPC PKB Sumenep
Desakralisasi Gelar Profesor
Kenapa Kita Yakin Bahwa Anak-anak Itu Memberi Kebahagiaan?
Prabowo-Gibran dan PR Menata Ulang Indonesia
Inilah Kisah Buhlul
Penerimaan Diri Merupakan Kemampuan Tertinggi Seorang Manusia
Memformulasikan Ulang Fungsi dan Kewenangan DPD
Bahaya Mahasiswa “Kurang Ngopi”

Berita Terkait

Minggu, 21 Juli 2024 - 09:00 WIB

Menguji Kebenaran Pernyataan Sekretaris DPC PKB Sumenep

Minggu, 21 Juli 2024 - 05:12 WIB

Desakralisasi Gelar Profesor

Jumat, 12 Juli 2024 - 08:15 WIB

Kenapa Kita Yakin Bahwa Anak-anak Itu Memberi Kebahagiaan?

Kamis, 11 Juli 2024 - 21:14 WIB

Prabowo-Gibran dan PR Menata Ulang Indonesia

Jumat, 5 Juli 2024 - 08:00 WIB

Inilah Kisah Buhlul

Jumat, 28 Juni 2024 - 08:00 WIB

Penerimaan Diri Merupakan Kemampuan Tertinggi Seorang Manusia

Minggu, 23 Juni 2024 - 15:54 WIB

Memformulasikan Ulang Fungsi dan Kewenangan DPD

Sabtu, 22 Juni 2024 - 09:13 WIB

Bahaya Mahasiswa “Kurang Ngopi”

Berita Terbaru

Ilustrasi (foto: nolesa.com)

Tips

Referensi Khusus Pengantin Baru

Sabtu, 27 Jul 2024 - 08:00 WIB

Sosok

Politisi Arif dan Bijak Itu Mendahului Kita

Sabtu, 27 Jul 2024 - 05:55 WIB