Rapor Merah IIP Kita

Redaksi Nolesa

Selasa, 8 Agustus 2023

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh AHMAD FARISI*


Survei Integritas Pendidikan (SIP) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2022 menarik untuk dicermati. Dalam hasil survei yang rilis pada awal Juli lalu, KPK menyebutkan bahwa Indeks Integritas Pendidikan (IIP) kita yang tercermin dari karakter, ekosistem, dan kepatuhan masih rendah, 70,40 atau berada di level dua dari level tertinggi, empat (Kompas, 4/7/2023).

Ironisnya, selain menemukan fakta tentang rendahnya IIP kita secara umum, KPK juga menemukan fakta bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan kita, semakin rendah IIP-nya. Dengan kata lain, ini artinya semakin tinggi jenjang pendidikan peserta didik dan lembaga terkait, maka peserta didik dan lembaga pendidikan terkait semakin rendah atau semakin tak berintegritas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Temuan KPK ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Jauh sebelum SPI KPK dilakukan, beberapa kejadian dan laporan terkait memang sudah mengarah ke situ. Sebut saja laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) 2021 yang mencatat ada 240 kasus korupsi di sektor pendidikan sepanjang 2016-2021.

Selain itu, laporan tahunan Transparency Internasional Indonesia (TII) yang rilis awal 2023 juga melaporkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi/Corruption Perception Index (IPK/CPI) kita mengalami penurunan drastis. Dari yang awalnya bertengger di angka 38 pada 2021 merosot ke angka 34 pada 2022.

Merosotnya IPK kita pada 2022 itu disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya oleh budaya dan praktik korupsi yang dilakukan oleh para sarjana dari sejumlah perguruan tinggi ternama yang masih menjamur dan bahkan tak terbendung. Laporan KPK 2022 menyebutkan bahwa dari 1.200 kasus korupsi yang ditangani KPK, 87 persen (sekitar 1.044) kasus dilakukan oleh sarjana.

Baca Juga :  Jurnalisme Sehat untuk Keutuhan Bangsa

Fakta ini menunjukkan bahwa sejak lama, pendidikan nasional kita memang sudah lama terjangkiti penyakit ketidakjujuran. Sehingga, alih-alih melahirkan manusia-manusia yang berkarakter, jujur, berintegritas, yang dihasilkan justru adalah manusia-manusia yang hanya berpengetahuan tinggi, akan tetapi miskin integritas, krisis moral, buta hati, dan minus akal sehat.

Pendidikan kita hanya mampu mendorong peserta didik untuk tahu banyak hal, namun tidak mendorong mereka untuk mengaplikasikan dan mengamalkan apa yang diketahuinya. Peserta didik tidak didorong untuk menjadi intelektual praktis, seorang intelektual yang tidak hanya mengetahui, tatapi juga terampil mengamalkan dan menerapkan apa yang diketahuinya.

Kondisi ini persis dengan dunia pria dalam ilustrasi yang dibuat Thomas Aquinas (1989) tentang seorang pria yang tumbuh besar dalam lingkungan terdidik yang membuat si pria tersebut mengetahui bahwa berbuat curang adalah tindakan yang buruk. Namun, dalam kenyataannya, seorang pria yang hidup dengan didikan itu masih sering melakukan perbuatan tercela – seperti mencuri – yang kontradiktif dengan pengetahuan yang dimilikinya.

Itu artinya, dunia atau lingkungan yang mendidik si pria tersebut hanya mampu mendorong si pria tahu tentang apa yang buruk dan apa yang baik, namun tidak mampu mendorong si pria untuk melakukan apa yang telah diketahuinya tentang kebaikan dan keburukan itu sendiri. Sehingga, kebebasan tak terbatas dan tak terkendalilah yang mendorong si pria untuk melakukan sesuatu.

Baca Juga :  Konstitusionalitas Jabatan Guntur Hamzah Pasca Putusan MK

Karena itu – dengan kondisi yang nyaris sama dengan dunia pria dalam ilustrasi yang dibuat Thomas Aquinas itu – tak heran bila IIP kita masih rendah dan mengalami fenomena kemerosotan di setiap jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebab, secara paradigmatik, dunia pendidikan kita masih menjadikan pengetahuan yang terkonversi ke dalam angka-angka sebagai tujuan akhir.

Pendidikan hanya dilihat sebagai proses prosedural semata yang bisa ditempuh dengan berbagai cara. Tidak dilihat sebagai proses sakral untuk melakukan tranformasi diri menjadi pribadi yang lebih bermoral dan berkarakter. Sebab itu, tak ayal pula bila dalam proses pengelolaannya, pendidikan kita dikelola dengan cara-cara yang sangat koruptif dan manipulatif.

Momentum Memperbaiki IIP

Fakta di atas menjelaskan bahwa dunia pendidikan kita masih jauh dari cita-cita yang diharapkan. Yakni, membentuk manusia-manusia yang berbudi luhur, jujur, berintegritas, dan juga amanah. Karena itu, kondisi ini kiranya penting untuk dijadikan sebagai momentum untuk memperbaiki IIP kita.

Bonus demografi – kondisi di mana kelompok usia produktif (15 – 64) lebih tinggi ketimbang kelompok usia nonproduktif (64 dan seterusnya) – yang digadang-gadang akan memberi sumbangan positif untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 hanya akan jadi pepesan kosong bila tak ada revolusi mental atau reformasi paradigmatik dalam proses pengelolaan pendidikan kita.

Baca Juga :  Pseudo History dan Borobudur yang Peninggalan Nabi Sulaiman

Dalam penelitiannya selama bertahun-tahun di sejumlah negara, Daron Acemoglu dan James A. Robinson (2017) menemukan bahwa kebanyakan negara gagal bukan disebabkan oleh kondisi geografis dan kebodohan pemimpinnya, melainkan disebabkan oleh pengelola negara yang mengelola lembaga politik dan ekonomi secara koruptif dan manipulatif.

Dalam konteks ini – meminjam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara – ada beberapa hal yang harus dilakukan para pendidik atau pengelola pendidikan untuk memperbaiki rendahnya IIP kita. Pertama, guru atau pendidik harus menjadi contoh atau suri teladan yang baik bagi segenap peserta didik, baik dalam bersikap dan lebih-lebih dalam bertindak (Ing Ngarsa Sung Tuladha).

Kedua, guru atau pendidik harus mampu merangsang ide dan kreativitas peserta didik untuk terus melakukan inovasi (Ing Madya Mangun Karsa). Ketiga, guru atau pendidik harus mampu memberi motivasi dan arahan bagi peserta didik (Tut Wuri Handayani). Bukan hanya mampu melakukan transfer pengetahuan lalu membiarkan peserta didik bertumbuh secara liar tanpa arahan.

Dengan demikian, dunia pendidikan kita tidak hanya mendorong peserta didik untuk sekadar tahu seperti terjadi seorang pria dalam dunia ilustratif Thomas Aquinas (1989). Tetapi juga mampu mengamalkan dan menerapkan apa yang diketahuinya. Pola semacam ini diyakini akan mampu mendongkrak IIP kita di masa depan. Yang tentunya, juga akan memperjelas peran dan kontribusi dunia pendidikan kita dalam agenda pemberantasan dan pencegahan korupsi.


*) Pengamat politik

Berita Terkait

Isra Mikraj Sebuah Perjalanan Spiritual yang Hanya Bisa Dipercaya oleh Orang yang Beriman
Akhir dari Presidensial Threshold
Catatan Pengujung Tahun 2024
Isu Politisasi Hukum dan Marwah Penegakan Hukum Kita
Kritik Adalah Harga Diri Kita
Membaca Manuver Mas Wapres
Tahan! Jaga Diri dari Sembarangan Menuduh dan Menyebarkannya
Serba-serbi Guru

Berita Terkait

Jumat, 24 Januari 2025 - 08:23 WIB

Isra Mikraj Sebuah Perjalanan Spiritual yang Hanya Bisa Dipercaya oleh Orang yang Beriman

Selasa, 7 Januari 2025 - 05:10 WIB

Akhir dari Presidensial Threshold

Selasa, 31 Desember 2024 - 15:44 WIB

Catatan Pengujung Tahun 2024

Senin, 30 Desember 2024 - 20:43 WIB

Isu Politisasi Hukum dan Marwah Penegakan Hukum Kita

Kamis, 26 Desember 2024 - 16:00 WIB

Kritik Adalah Harga Diri Kita

Berita Terbaru

Menteri Pertanian RI, Andi Amran Sulaiman (Foto: ip/nolesa.com)

Nasional

Pemerintah Jamin Harga Beras Stabil Hingga Ramadan 1446 H

Selasa, 4 Feb 2025 - 22:03 WIB

Nelly Farraniyah (Foto: dokumen pribadi untuk nolesa.com)

Sosok

Pengalaman Hobi Jadi Motivasi Profesi

Selasa, 4 Feb 2025 - 18:26 WIB