Oleh AHMAD FARISI*
Baru-baru ini (18/7) Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Fathul Wahid membuat keputusan yang menghebohkan dunia akademik.
Betapa tidak, dengan tegas ia mengeluarkan Surat Edaran 2748/Rek/10/SP/VII/2024 yang memerintahkan agar ”gelar profesor” tak lagi disematkan dalam kegiatan surat-menyurat dan yang lain semacamnya. Alias cukup ditulis nama aslinya saja tanpa atribut gelar.
“Dalam rangka menguatkan atmosfir kolegial dalam tata kelola perguruan tinggi, bersama ini disampaikan bahwa seluruh korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum selain ijazah, transkrip nilai, dan yang setara itu dengan penanda tangan Rektor yang selama ini tertulis gelar lengkap “Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.” agar dituliskan tanpa gelar menjadi “Fathul Wahid”,” tegas Falhul Wahib pada SE tersebut.
Dalam sekejap, keputusan Rektor UII itu menuai banyak pujian dari para insan akademis di berbagai perguruan tinggi. Banyak yang menilai langkah Rektor UII itu sebagai langkah yang positif.
Menurut Fathul Wahid, keputusan itu memang sengaja dilakukannya untuk ”mendesakralisasi gelar profesor” yang selama ini dianggap sebagai gelar sakral: menaikan status dan privilege.
Yang harus diakui, kesakralan gelar profesor itu telah membuat banyak orang tergoda untuk berburu gelar profesor secara tidak sehat.
Padahal, menurut Fathul Wahid, gelar profesor bukanlah gelar sembarangan yang bisa dibuat mainan. Melainkan terdapat tanggungjawab dan amanah besar yang harus dikerjakan. Bukan hanya sebagai status sosial yang dibuat untuk gaya-gayaan semata.
Selama ini, aktivitas perburuan gelar profesor secara tidak sehat ini memang sedang marak. Beberapa pihak, dari dosen, politisi dan beberapa petinggi di negeri ini terindikasi melakukannya.
Padahal, banyak dari mereka yang tidak memenuhi standar untuk mendapatkan gelar profesor atau diangkat sebagai guru besar/gubes. Seperti standar menulis di jurnal internasional bereputasi dan syarat mengajar minimal sepuluh tahun.
Karen itu, tak ayal bila beberapa di antara mereka yang kebelet jadi profesor terbukti melakukan sejumlah pelanggaran dalam prosesnya mendapat gelar profesor. Seperti menulis di jurnal predator yang keabsahannya dipertanyakan.
Sementara beberapa di antaranya juga terbukti menggunakan jasa ordal (orang dalam) di lingkungan Kemendikbudristek untuk meloloskan mereka-mereka yang kebelet jadi profesor namun tak memenuhi syarat.
Menurut laporan investigasi Majalah Tempo (7 Juli 2024) yang berjudul “Skandal Guru Besar Abal-abal”, menemukan ada belasan dosen di Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Banjarmasin yang diduga merekayasa syarat permohonan agar mendapat gelar profesor.
Oleh sebab itu, di tengah maraknya perburuan gelar profesor yang dilakukan secara tidak sehat oleh banyak pihak, kita mengapresiasi langkah Rektor UII ini.
Kita berharap, gerakan desakralisasi gelar profesor ini mampu membuat semua kita tersadar bahwa, gelar profesor bukanlah gelar untuk gaya-gayaan belaka. Ada tanggung jawab moral dan pengabdian di dalamnya.
*) Pengamat Politik