Oleh AHMAD FARISI*
Dalam negara demokrasi, adanya kritik publik terhadap kekuasaan adalah sesuatu yang wajar. Wajar karena demokrasi sendiri menempatkan kebebasan menyatakan pendapat sebagai bagian inti dari demokrasi.
Secara historis, konsep demokrasi lahir dari kesadaran kolektif bahwa kehidupan bersama (bernegara) harus dikelola secara bersama-sama. Ini artinya, dalam merumuskan kebijakan dan kepentingan bersama, semua pihak diberi hak dan kesempatan yang sama untuk memberikan kritikan dan masukan guna menghasilkan rumusan kebijakan yang setara, adil, dan komprehensif. Rakyat diberi hak partisipasi dan kedaulatan penuh memberikan kritikan, masukan dan serta ikut menyatakan pendapatnya terkait kebijakan yang hendak dibuat dan/atau yang sedang dirancang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal itu berbeda dengan konsep atau sistem ”monarki absolut” (bedakan dengan monarki konstitusional) yang menempatkan penguasa (raja) sebagai satu-satunya pusat sentral pembuatan kebijakan. Di mana dalam konteks ini, rakyat tidak diberi kedaulatan untuk ikut serta menentukan kebijakan publik yang berkaitan dengan kehidupan rakyat sendiri.
Rakyat hanya diposisikan sebagai subjek pasif yang mau tidak mau harus menjalankan dan melaksanakan kebijakan yang dibuat penguasa (raja). Dengan kata lain, dalam sistem ”monarki absolut”, selain sebagai penguasa, raja juga dikukuhkan sebagai satu-satunya sumber kebijakan yang paling otoritatif, yang tidak bisa digugat dan dipermasalahkan oleh siapa pun.
Namun, seiring berkembangnya kesadaran publik, konsep atau sistem monarki absolut semacam itu akhirnya ditinggalkan dan beralih pada sistem atau konsep negara demokrasi yang memposisikan rakyat atau warga negara sebagai pemegang kedaulatan. Inilah esensi daripada demokrasi. Yakni, sebuah konsep politik yang memfasilitasi dan memastikan bahwa pikiran-pikiran rakyat dan warga negara terangkum secara baik dalam perumusan dan pengambilan kebijakan publik sehari-hari.
Karena itu, dengan dasar argumentasi di atas, maka idealnya menjadi tidak boleh ada pihak yang alergi dan merasa terhina terhadap kritik warga negara. Sebab, pada hakikatnya, kritik adalah upaya warga negara untuk memastikan bahwa hak dan kepentingan-kepentingan bersama terkafer dengan baik. Sehingga semua warga negara bisa mendapatkan haknya masing-masing secara adil dan proporsional, tidak ada yang dirugikan dan tak ada pula yang dikorbankan. Sementara di sisi lain juga tidak ada pihak yang diuntungkan secara berlebihan melebihi batas kewajaran.
Memposisikan Hukum secara Proporsional
Oleh sebab itu, dalam konteks demokrasi dan kritik, hukum haruslah diposisikan secara terukur dan kontekstual. Artinya, jangan sampai ada warga negara yang karena aktif dan keras melakukan kritik terhadap kekuasaan dipidanakan secara hukum. Meski, misalkan, sebuah kritikan dianggap mengandung unsur hinaan, semuanya harus tetap dilihat secara proporsional tanpa melibatkan anasir-anasir politik di dalamnya.
Seperti teks dan konteks kritikan itu disampaikan. Apakah teks dan konteks kritikan yang dianggap memuat unsur hinaan itu memang dengan sengaja diniatkan untuk menghina atau mengkritik, semua itu harus dipertimbangkan dilihat secara komprehensif dan matang.
Atas dasar hal itu, problem yang sifatnya merupakan diskursus politik yang difasilitasi oleh demokrasi, sudah selayaknya untuk ditanggapi dan diselesaikan dalam konteks diskursus demokrasi pula, tidak perlu ada mobilisasi massa untuk menggiring opini publik dan menciptakan tekanan terhadap proses penegakan hukum. Perbedaan pandangan politik dalam demokrasi adalah hal lumrah dan merupakan keniscayaan.
Dunia demokrasi itu seperti dunia sepak bola, jika kita masih mau ada kompetisi demokratis kemudian hari, jangan patahkan lawan-lawan politik yang ada.
Karena itu, biarkanlah diskursus publik itu berkembang secara sehat. Jangan sebaliknya, di persekusi secara hukum. Ini tidak baik bagi pengembangan dan pembangunan demokrasi Indonesia ke depan. Kritik publik bukanlah racun. Karena itu, jangan dianggap sebagai racun.
Menurut Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018) dalam Bagaimana Demokrasi Mati, dunia demokrasi itu seperti dunia sepak bola, jika kita masih mau ada kompetisi demokratis kemudian hari, jangan patahkan lawan-lawan politik yang ada. Sebab, sebuah kompetisi politik demokratis tidak mungkin akan terjadi tanpa adanya kelompok lawan.
Artinya, kita boleh tidak setuju dengan pendapat lawan-lawan politik kita. Namun begitu, kita harus tetap menghormati (babkan melindungi) hak lawan politik kita untuk menyatakan pendapatnya. Kata filsuf Pencerahan Prancis, Voltaire, ”Saya tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tapi saya akan membela sampai mati hak Anda untuk mengatakan itu.”
Benar bahwa demokrasi tidak memfasilitasi warga negara untuk menghina dan mencaci maki. Namun, penting dicatat bahwa, jika demokrasi tidak memfasilitasi rakyat atau warga negara untuk mencaci maki kekuasaan, maka hukum juga bukanlah fasilitas bagi siapa pun untuk menyalurkan dendam politiknya terhadap lawan-lawan politik yang lainnya.
Karena itu, dalam konteks demokrasi dan kritik, tidak perlu ada pemidanaan dan langkah-langkah persekusi lainnya. Fungsi hukum memang untuk mengatur kehidupan berdemokrasi. Namun, kendati demikian bukan berarti kita bebas menggunakan atau menjadikan hukum sebagai alat untuk membungkam dan mempersekusi lawan-lawan politik kita.
Dalam kerangka demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, hukum haruslah diposisikan secara proporsional agar tidak mencekik dan membunuh demokrasi dari dalam. Dengan kata lain, jangan jadikan hukum sebagai alat untuk memersekusi kritik publik!
*) Pengamat Politik