Oleh SUJONO*
Ada perasaan sia-sia yang menjalar perlahan di hati seorang dosen. Malam itu semua usahanya meyakinkan para mahasiswanya tentang keunggulan ekonomi Islam, gugur berkeping-keping; hanya karena sebuah pertanyaan sederhana seorang mahasiswa.
Rasanya semua energi intelektualnya sudah dikerahkan. Enam belas kali pertemuan dalam satu semester. Jumlah itu menurut sang dosen sudah cukup untuk membangun keyakinan di benak para mahasiswa tentang keunggulan sistem ekonomi Islam di atas semua sistem lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sang dosen membuat perbandingan ideologi dan sistem yang sangat rasional-objektif antara Islam dengan kapitalis dan komunis; perbandingan bisnis antara konsep Bank tanpa riba dan Bank konvensional; analisa komprehensif tentang kegagalan pembangunan di dunia Islam; syarat-syarat yang diperlukan demi meningkatkan kesejahteraan ummat dan memajukan perekonomian mereka. Begitu seterusnya.
Mahasiswa-mahasiswanya antusias. Sampai pertanyaan sederhana itu muncul;
Apakah ada sebuah negara yang telah menerapkan sistem ekonomi Islam, dan mencapai tingkat kemakmuran yang dijanjikan sistem itu seperti yang Bapak ceritakan, sehingga kita dapat menjadikannya model pengembangan ekonomi bangsa kita ke depan? tanya mahasiswa itu enteng dan sedikit lugu.
Sederhana memang. Tapi itulah “lubang besar” yang menganga dalam cara kita mengkomunikasikan Islam kepada masyarakat.
Sementara kita menjelaskan keunggulan ideologi dan sistem yang abstrak, tetapi mereka mengharapkan contoh aplikasi yang sukses dalam kehidupan nyata.
Sementara kita membanggakan keunggulan di dunia maya spiritual, tapi mereka hanya terpesona kepada yang unggul di dunia empiris.
Sementara kita menjelaskan kehebatan Islam di masa lalu, tetapi mereka menyaksikan keterpurukan kita saat ini.
Sementara kita menjelaskan kebenaran-kebenaran Islam, tetapi mereka justru menantikan kekuatan-kekuatan kaum Muslimin.
Sementara kita menjelaskan teori, namun mereka memahami teori lebih baik melalui contoh kasus.
Sebuah Cermin Realitas
Kebanyakan orang belajar secara visual, tapi kita bekomunikasi secara abstrak. Ini hanya contoh kecil, sangat sederhana, tapi memadai untuk menjelaskan “mengapa gerakan dakwah” belum mampu menembus pusaran logika massa, apalagi melakukan penetrasi pada jaringan-jaringan pemikiran, sosial dan politik untuk kemudian mengubah, memobIlisasi dan mengendalikan mereka.
Di tingkat opini publik, Islam dan gerakan dakwah dengan mudah “diisolasi” tanpa pembelaan spontanitas dari masyarakat.
Rendahnya tingkat penerimaan publik dan kapasitas serta citra kita sebenarnya merupakan realitas-realitas yang berakar pada cara kita berpikir.
Pikiran adalah cermin besar yang memantulkan seluruh potret realitas kita secara apa adanya.
Pikiran adalah ruang kemungkinan (space of possibility), dan realitas adalah ruang tindakan yang telah jadi nyata (space of action).
Seluruh realitas kita hanya bergerak pada ruang kemungkinan itu. Makin besar ruang kemungkinannya, makin besar pula ruang realitanya. Bagaimana kita berpikir, begitulah kita akan bertindak.
Dan…
Realitas-realitas kita di masa mendatang adalah buah dari benih-benih pikiran yang kita tanam hari ini.
Wallahu a’lam…