Di dalam literatur sejarah politik Indonesia merdeka, kita mengenal suatu istilah yang namanya Volksraad. Namun, hal ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia.
Padahal, sebagai sebuah sejarah kebangsaan, Volksraad penting untuk diketahui oleh masyarakat, khususnya oleh generasi muda.
Oleh karena itu, nolesa.com berusaha menelusuri kembali apa itu Volksraad dan mencoba menyajikannya kembali kepada khalayak pembaca sebagaimana berikut:
Volksraad, dikutip dari buku Fungsi-Fungsi DPR: Teks, Sejarah dan Kritik karya Desmond J. Mahesa diketahui adalah Dewan Rakyat di masa Hindia Belanda. Atau, dalam bahasa Indonesia disebut dengan parlemen.
Dalam sejarahnya, Volksraad dibentuk oleh Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum pada tanggal 18 Mei 1918, dua tahun pasca Belanda menerbitkan Indische Staatsregeling (IS) (konstitusi baru untuk negeri jajahannya, Hindia Belanda) pada 16 Desember 1916 yang di dalamnya mengatur tentang pembentukan kelembagaan Volksraad beserta hak-haknya.
Di antara hak-hak Volksraad yang disebutkan dalam Indische Staatsregeling itu adalah hak mengajukan petisi (pasal 68), hak interpelasi (pasal 69), hak angket (pasal 82), hak inisiatif (pasal 84), dan hak amandemen (pasal 85).
Awal Volksraad itu dibentuk, keberadaannya disambut dengan baik oleh kaum pergerakan Indonesia. Namun segera kecewa setelah mengetahui bahwa mayoritas anggotanya adalah wakil-wakil yang pro-Belanda. Bahkan, dari saking kecewanya, H. Agus Salim menyebut Volksraad sebagai “Komidi Omong”.
Pada akhirnya kaum pergerakan Indonesia pun terbelah pada sikap yang kooperatif dan nonkooperatif. Akan tetapi, mereka yang tetap memilih bersikap kooperatif dengan keadaan yang kurang menguntungkan itu, mereka tetap gigih menyuarakan kehendak Indonesia merdeka dari dalam.
Beberapa tahun kemudian, pada 1922 tepatnya, konstitusi Belanda tentang negeri jajahan itu diubah. Konstitusi baru itu menyatakan “Pemerintah daerah jajahan diberi kekuasaan mengatur dan mengurus masalah-masalah intern.”
Tiga tahun kemudian, (1925) konstitusi Belanda tentang negeri jajahan kembali diubah. Dan perubahan ini sedikit menguntungkan Indonesia. Sebab, sejak saat itu Volksraad lebih banyak diisi oleh kaum pergerakan Indonesia (bumiputera), yang kemudian membentuk Fraksi Nasional pada 27 Januari 1930.
Selain itu, sejak perubahan konstitusi Belanda untuk negeri jajahan pada 1925 itu, Dewan Rakyat Hindia Belanda juga diberi wewenang di bidang anggaran dan legislasi laiknya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seperti yang kita kenal kini. Yang kemudian melahirkan College van Gedelegeerden, badan pembentuk undang-undang (UU).
Sejak 1927 hingga 1941, diketahui ada enam UU yang dihasilkan oleh Dewan Rakyat. Dan dari enam itu hanya tiga UU yang diterima oleh Gubernur Jenderal de Jonge (sejak 1931).
Menurut Desmond J. Mahesa, pada 15 Juli 1936 anggota Dewan Rakyat, Soetardjo Kartodikoesomo juga sempat mengajukan petisi kepada Ratu Wilhelmena dan Parlemen Belanda (Staten General) yang menuntut: Pertama, agar Parlemen Belanda segera menjadikan Dewan Rakya sebagai parlemen yang sebenarnya, yakni dengan mengadakan pemilihan umum yang demokratis sesuai kehendak rakyat.
Kedua, meminta Parlemen Belanda membentuk Dewan Kerajaan yang diisi oleh Belanda dan Indonesia. Yang fungsi utamanya adalah mengkaji hubungan Indonesia-Belanda dalam konstitusi yang ada untuk meningkatkan posisi Indonesia menjadi “partner yang sejajar”.
Petisi itu kemudian ditanggapi oleh pemerintah Belanda: “Masanya belum tiba, ujar pemerintah Belanda”. Sementara pers Belanda menyebut petisi Soetardjo itu sebagai “permainan yang berbahaya,” tulis Desmond J. Mahesa.