Oleh Anindya Miftahul Nikma
(Mahasiswa PBSI Universitas Negeri Yogyakarta)
Novel Aib dan Nasib karya Minanto yang terbit pada tahun 2020 mampu mencuri banyak perhatian karena berhasil memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019 sekaligus Buku Sastra Pilihan Tempo 2020 Kategori Prosa. Minanto lahir pada 6 Juni 1992, memulai menulis novel pada tahun 2015. Karya lainnya yaitu Semang (2017), Dulatip Ingin Membenturkan Kepalanya Ke Tembok Setiap Kali Ia Diberitahui Kabar Tentang Orang Tua (2018), dan Kemelut Rondasih dan Dua Anaknya (2023). Ia mengaku terinspirasi oleh James Baldwin, novelis kulit hitam Amerika Serikat yang banyak menuliskan tentang ketidakadilan ras, gender, dan orientasi seksual. Dalam novel ini, Melalui karyanya, Minanto menggambarkan sengkarut kehidupan masyarakat rural pedesaan Indramayu yang terjebak dalam lingkaran konflik sosial, memperlihatkan kondisi manusia di hadapan aib dan nasib. Mecoba memposisikan kedudukan perempuan yang semakin lemah dan terhimpit permasalahan sosial dan ekonomi. Disusun dalam bentuk fragmen-fragmen episodik yang diharapkan mampu memberikan pengalaman naratif bagi pembacanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Novel ini menceritakan kondisi kehidupan masyarakat Desa Tegalurung yang mayoritas penduduknya berada pada kelas ekonomi menengah ke bawah. Menegaskan bahwa kelas ekonomi dapat memengaruhi kualitas kehidupan masyarakat. Kemiskinan telah menjadi gerbang pembuka menuju permasalahan sosial yang juga rumit. Pernikahan dini, penyalahgunaan media sosial, kenakalan remaja, permasalahan rumah tangga, dan kriminalitas menjadi permasalahan utama yang turut memperumit keadaan masyarakat Desa Tegalurung. Dalam novel ini, setiap tokoh yang ditonjolkan memiliki permasalahan hidupnya masing-masing. Pada fragmen pertama, menampilkan persahabatan Bagong Badrudin dan Boled Boleng yang terjerumus pada kriminalitas. Bagong Badrudin dan Boled Boleng merupakan pemuda desa yang tidak bekerja, kesibukannya hanya bermain media sosial Facebook dan bergaul dengan pemuda desa yang lain.
Media sosial digunakan sebagai sarana penyebaran konten pornografi dan melibatkan teman sebayanya sebagai bahan cemoohan. Tak hanya itu, mereka juga menggunakan media sosial Facebook sebagai sarana bekenalan dan berkomunikasi dengan gadis-gadis cantik di luar sana tanpa menggunakan identitasnya sendiri. Hal ini merupakan penyalahgunaan media sosial, masyarakat rural yang gagap akan teknologi menggunakan media sosial tanpa memperhatikan etika dalam bermedia sosial. Pada fragmen kedua, menceritakan tentang tokoh Marlina, pemuda yang menjadi tulang punggung keluarga menghidupi ayah dan kedua adiknya. Konflik internal keluarga antara Marlina dan ayahnya yang Bernama Nurmubin menjadi permasalahan utama pada tokoh Marlina. Marlina yang berpendidikan rendah karena tidak menyelesaikan pendidikannya memandang bahwa pendidikan bukanlah hal yang penting dalam berkehidupan, sedangkan ia mau tak mau harus membiayai dan mendukung kedua adiknya untuk menempuh pendidikan atas perintah sang ayah. Selain itu, tuntutan pernikahan juga dirasakan oleh Marlina. Ketika ia memutuskan menikah dengan Eni setelah berjuang mendapatkan restu pada kedua pihak keluarga. Tak berakhir bahagia, pernikahan yang menyenangkan itu hanya bertahan beberapa waktu saja, konflik rumah tangga turut mewarnai kehidupan Marlina.
Marlina yang memiliki permasalahan seksual sehingga tak kunjung dikarunai anak, Eni yang memutuskan pergi ke luar negeri menjadi TKW karena tuntutan ekonomi, dan komunikasi yang buruk antara Marlina dan Eni yang mengakibatkan pertikaian diantara mereka. Pada fragmen ketiga, menceritakan kisah hidup Mang Sota, lelaki tua yang sudah ditinggal mati oleh istri tercintanya karena melahirkan sang buah hati, Uripah. Uripah tumbuh menjadi gadis yang memiliki permasalahan mental. Hal ini yang membuat ia sering menjadi bahan ejekan pemuda desa dan dihamili oleh salah satu pemuda desa yang akhirnya membuat ia hamil tanpa suami, melahirkan putra bernama Duloh. Hidup dalam keterbatasan ekonomi membuat Mang Sota kesulitan menghidupi Uripah dan Duloh. Keluarga mereka seringkali dibantu oleh Yuminah, tetangga yang baik hati. Yuminah sering membantu mengasuh Duloh. Hingga pada suatu hari, Uripah hilang sebab kabur dari rumah. Beberapa hari kemudian, saat Uripah juga belum dapat ditemukan, Duloh ditemukan telah meninggal dalam keadaan bersimbah darah karena terjatuh dalam selokan yang sedang proses pembangunan. Pada fragmen keempat, menampilkan cerita tokoh Gulabia, gadis SMA yang sedang diselimuti perasaan jatuh cinta pada kekasihnya, Kicong. Namun berubah Ketika ia bertemu dengan seorang supir angkot Bernama Kartono yang mampu menarik hatinya karena kedewasaannya. Kartono sudah memiliki istri, ia sering menceritakan bagaimana sosok istrinya yang menyebalkan namun ia juga menyayanginya. Semakin lama merka semakin dekat hingga akhirnya berhubungan suami istri dan mengakibatkan Gulabia hamil di luar nikah. Hal ini memaksa Gulabia berhenti sekolah dan menjadi istri kedua dari Kartono.
Pernikahan ini menjadi awal dari kesengsaraan Gulabia. Kartono yang awalnya merupakan lelaki yang berpikiran dewasa ternyata ia telah memiliki dua istri sebelum Gulabia, artinya Kartono memiliki tiga istri. Kartono juga menjadi sosok suami yang patriarki.
Dalam sudut pandang feminisme, fokus utama adalah pada kesetaraan kesempatan dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki. Feminisme berjuang untuk menghilangkan ketidakadilan gender dan memastikan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dalam semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi politik. Sejalan dengan pendapat Humm (dalam Aspriyanti, 2022), feminisme dapat diartikan sebagai doktrin persamaan hak bagi perempuan yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi kaum perempuan. Ini berarti bahwa perempuan seharusnya tidak hanya memiliki akses yang sama terhadap peluang tetapi juga mampu berpartisipasi penuh dan setara dalam semua aspek kehidupan. Dalam karya sastra, kajian feminisme memainkan peran penting dalam mengeksplorasi dan mengkritik bagaimana perempuan direpresentasikan oleh penulis, terutama penulis laki-laki. Menurut Ryan (dalam Kurniawati, 2018), kajian feminisme dalam sastra bertujuan untuk menganalisis representasi perempuan dalam tulisan-tulisan yang diciptakan oleh penulis laki-laki. Ini sering kali mengungkap bagaimana stereotip gender dan bias patriarki mempengaruhi cara perempuan digambarkan dalam cerita, dan bagaimana narasi tersebut dapat memperkuat atau menantang norma-norma sosial yang ada.
Pada novel ini, representasi perempuan masih tergambar lemah dan seringkali terkalahkan oleh dominasi maskulin. Ini mencerminkan realitas bahwa banyak karya sastra yang mencerminkan pandangan dunia patriarki di mana perempuan sering diposisikan sebagai subjek pasif atau sekunder dibandingkan dengan tokoh laki-laki yang dominan.
Dalam konteks ini, perempuan sering digambarkan sebagai korban atau sebagai figur yang tidak memiliki kekuatan atau suara yang signifikan. Analisis feminis terhadap novel ini bisa membantu untuk memahami dinamika ini dan mendorong pembaca untuk memikirkan ulang peran dan representasi perempuan dalam cerita. Dengan demikian, kajian feminisme tidak hanya berfungsi sebagai kritik terhadap karya sastra tetapi juga sebagai alat untuk perubahan sosial yang lebih luas menuju kesetaraan gender.
Perempuan Sebagai Boneka Seks
Perempuan dalam novel ini digambarkan sebagai entitas lemah yang hidup mengalir bersamaan dengan alur kehidupan tanpa memiliki kontrol penuh atas nasib mereka. Tokoh Uripah adalah contoh nyata dari gambaran ini, seorang perempuan muda yang tak berdaya. Uripah lahir dengan gangguan mental, yang membuatnya lebih rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan. Dalam kondisi yang sudah lemah, ia menjadi korban dari pria tak bertanggung jawab yang menghamilinya. Pria tersebut kemudian meninggalkannya tanpa pertanggungjawaban, memaksa Uripah untuk membesarkan anaknya sendiri dengan bantuan sang ayah yang juga berada dalam kondisi ekonomi yang sulit. Kisah Uripah menyoroti bagaimana perempuan yang berada dalam posisi rentan sering kali menjadi sasaran bagi pria bejat yang melampiaskan nafsu jahatnya.
Pria-pria ini tidak hanya mengeksploitasi kelemahan fisik dan mental perempuan, tetapi juga melarikan diri dari tanggung jawab setelah melakukan perbuatan keji. Akibatnya, perempuan seperti Uripah dipaksa menghadapi dampak psikologis dan fisik dari kekerasan yang dialami serta berjuang untuk bertahan hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit. Keadaan yang telah terlahir lemah, ditambah dengan perlakuan bejat dari pria, semakin memperpuruk kondisi Uripah. Dihadapkan pada realitas di mana mereka harus mengandalkan diri sendiri dalam situasi yang sangat tidak adil dan berat.Seperti pada kutipan novel berikut,
“Mula-mula Susanto mengendap-ngendap, kemudian setengah berlari sebelum mendekap dan membungkam mulut Uripah dengan jarit. Uripah kelojotan, meronta-ronta. Kedua tangan dirangkul dengan erat oleh Susanto sedangan kedua kaki dibegal kencang oleh Bagong. Dan dengan satu pukulan penuh tenaga, Uripah tak sadarkan diri, dan digotong ke satu gubuk kosong.
“Sekarang aku mau menonton seberapa hebat kontolmu ngaceng,” ujar Susanto dengan nada melecehkan.
Bagong Badrudin tidak memberi tanggapan apa-apa lantaran ia memikirkan bukan hal lain kecuali Boled Boleng.“ (hal 199)
Pada kutipan di atas menunjukkan adegan saat Uripah akan diperkosa oleh Susanto dan Bagong. Uripah digunakan sebagai alat pemuas hasrat bejat mereka tanpa ada pertanggungjawaban.
Perempuan Sebagai Tulang Punggung
Dalam rumah tangga, kedudukan perempuan sering kali diposisikan sebagai ibu rumah tangga yang mengurus semua kebutuhan rumah tangga. Selain itu, tidak jarang perempuan juga menghadapi tuntutan untuk mencari nafkah, menambah beban tanggung jawab mereka. Contoh nyata dari situasi ini bisa dilihat melalui tokoh Eni dalam novel Aib dan Nasib. Eni terpaksa berangkat menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Keputusan ini bukan hanya tentang mencari penghasilan, tetapi juga mencerminkan tekanan sosial dan ekonomi yang dialami banyak perempuan dalam konteks masyarakat rural seperti Desa Tegalurung. Eni, dalam perannya sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah, menghadapi berbagai permasalahan, termasuk masalah di ranjang dengan suaminya.
Ketidakpuasan batin yang dirasakan Eni membuatnya berusaha mencari pengobatan untuk suaminya dan tetap berjuang memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Ini menunjukkan beban ganda yang sering kali harus dipikul oleh perempuan, di mana mereka tidak hanya bertanggung jawab atas urusan domestik tetapi juga harus memastikan kesejahteraan ekonomi keluarga. Kondisi ini mencerminkan realitas bahwa perempuan sering kali harus mengorbankan kebahagiaan pribadi mereka demi kepentingan keluarga.
Budaya kehidupan masyarakat Desa Tegalurung yang sudah turun temurun juga memperparah situasi ini. Di desa tersebut, perempuan yang sudah lulus sekolah atau sudah tergolong dewasa pasti diarahkan untuk menjadi TKW guna memenuhi kebutuhan keluarga. Budaya ini menunjukkan adanya ekspektasi sosial yang kuat terhadap perempuan untuk berkontribusi secara ekonomi, sering kali dengan mengorbankan kesempatan mereka untuk mengembangkan diri dan mencapai kepuasan pribadi. Melalui cerita Eni, novel Aib dan Nasib tidak hanya menggambarkan perjuangan individu perempuan tetapi juga menyoroti masalah struktural yang memperkuat ketidaksetaraan gender dan membatasi pilihan hidup perempuan dalam masyarakat rural. Seperti pada kutipan novel berikut,
“Kalau kamu ke luar negeri, kapan kamu bisa hamil?”
“Justru itu, Mas. Izinkan aku bekerja di sana buat kita sama-sama berobat, dan ngumpulin uang buat masa depan anak kita nanti.”
“Tidak bisa, Eni.” Ujar Marlina. “Kalau kamu oergi, siapa yang jaga bapak dan Semanggen? Lagi pula sekarang pekerjaanku sudah tidak seperti jaga gudang toko. Kaji Basuki baik sekali kepadaku. Toh, Pang Randu dan Godong Gunda sudah lulud sekolah dan mulai belajar mandiri.”
“Kamu mau mengontrak rumah terus sama bapakmu? Mau sampai kapan? Bobol uang kita Cuma gara-gara tiap tahun iuran rumah naik.”(hal 146)
Pada kutipan di atas menunjukan adegan saat Eni berencana pergi ke Singapura menjadi TKW untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.
Perempuan Sebagai Korban
Perempuan juga seringkali digunakan sebagai objek pelampiasan atau pemuas nafsu pria, yang menggambarkan ketidakadilan gender dan eksploitasi seksual dalam masyarakat. Tubuh perempuan yang dianggap indah sering kali menarik perhatian pria dan memicu hasrat seksual mereka. Fenomena ini tercermin dalam cerita Gulabia, seorang gadis SMA yang hamil di luar nikah dengan seorang sopir angkot yang sudah beristri. Gulabia terjebak dalam kebahagiaan sementara yang justru membawanya pada gerbang penderitaan yang panjang. Setelah hamil, ia menikah dengan Kartono, sopir angkot tersebut, yang sudah memiliki istri.
Pernikahan ini bukanlah solusi, melainkan awal dari serangkaian penderitaan baru bagi Gulabia. Dalam rumah tangganya, Gulabia tidak hanya menghadapi tekanan psikologis akibat statusnya sebagai istri kedua, tetapi juga mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Kartono, yang seharusnya menjadi pelindung dan pendamping, malah memperlakukan Gulabia dengan kasar dan tidak hormat, memperlihatkan bagaimana kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam hubungan dapat merusak kehidupan seorang perempuan. Di dalam rumah tangga yang penuh kekerasan ini, Gulabia menjadi korban tanpa ada celah untuk perlawanan. Ia diperlakukan sebagai boneka seks di ranjang, dipaksa memenuhi hasrat seksual suaminya tanpa mempertimbangkan keinginannya sendiri. Selain itu, Gulabia juga mengalami kekerasan fisik dan emosional, membuatnya merasa terperangkap dalam siklus penderitaan yang sulit dihindari.
Kisah Gulabia menggambarkan realitas pahit yang dihadapi banyak perempuan di masyarakat yang patriarki, di mana mereka sering kali tidak memiliki suara atau kekuatan untuk melawan penindasan yang mereka alami. Melalui cerita ini, pembaca diajak untuk lebih peka terhadap isu-isu ketidaksetaraan gender dan kekerasan terhadap perempuan, serta pentingnya memperjuangkan hak-hak dan martabat perempuan dalam setiap aspek kehidupan.Seperti pada kutipan novel berikut,
“Pada bulan-bulan ke depan, bukan salah Gulabia, atau Pak Sobirin, atau Bu Sobirin jika semua keinginan itu tidak terpenuhi. Bahkan Gulabia sendiri lingling setiap kali memikirkan nasib. Terlebih setiap kali ia dirantai oleh Kartono, entah di kasur, entah kamar mandi. Tidak saja lengan dan kaki, tetapi juga hidup dan kebebasan Gulabia terbelenggu terikat oleh sebuah rantai rumah tangga. Hingga mengingat semua itu pun membuat ia ingin segera mati.” (hal 89)
Begitulah nasib naas perempuan, tidak ada setitik kesejahteraan yang didapatkan, bahkan dari orang terdekat sekalipun. Tidak ada tempat berteduh bagi rasa sakit perempuan.
“Memang begitu jadi istri, Nok Gulabia. Tidak apa-apa. Belajarlah dan bersabarlah!” ujar Pak Sobirin.
“Di sini tidak ada apa-apa. Kami juga tidak bisa menjanjikan apa-apa. Bapak dan ibumu ini melarat, Nok Gulabia. Bapak mohon jangan tambah-tambah kesusahan kami dengan niat perceraianmu itu,” papar Pak Sobirin. “Bapak dan ibumu Cuma bisa makan dari sumbangan jamaah, Itu pun kalua bapakmu ini memberikan ceramah. Kalau tidak, tidak aka nada sumbangan.”
“Tapi dia sering memukulku, Pak”
“Tidak selalu kan?”
“Tidak benar seorang suami memukul istri, Pak. Kau tahu itu. Kau mengajarkan itu kepada murid-muridmu di pengajian.”
“Ya, aku juga tidak mengajarkan perceraian kepada murid-muridku,” ujar Pak Sobirin. “Barangkali kau juga salah, Nok. Tidak selalu Kartono bersikap zolim padamu. Bersabarlah! Bagaimanapun juga dia suamimu. Dia tidak akan terus-menerus memukulmu. Dia pasti akan sabar lambat laun.”
“Kau tidak dipukuli Kang Kartono, Pak. Maka enak saja bilang begitu.”
“Keputusanku tidak akan berubah. Pulanglah! Semua akan baik-baik saja.”. (hal 193)
Novel Aib dan Nasib yang menceritakan kehidupan masyarakat rural Tegalurung menggambarkan citra perempuan yang lemah dan tertindas. Dalam cerita ini, perempuan sering kali digambarkan sebagai makhluk yang tidak berdaya, bergantung pada laki-laki, dan mengalami ketidakadilan dalam berbagai aspek kehidupan. Representasi ini mencerminkan realitas sosial di banyak masyarakat tradisional di mana norma-norma patriarki masih sangat dominan. Perempuan sering kali dihadapkan pada batasan-batasan yang membatasi kebebasan dan kesempatan mereka, baik dalam ranah domestik maupun publik.
Representasi perempuan yang lemah dan tertindas dalam novel Aib dan Nasib membuka peluang ketidaksetaraan gender pada perempuan dalam lingkar karya sastra. Ketika sastra terus menerus menggambarkan perempuan dalam posisi subordinat, hal ini dapat memperkuat stereotip negatif dan mengukuhkan pandangan bahwa perempuan memang seharusnya berada dalam posisi tersebut. Sastra memiliki kekuatan besar dalam membentuk persepsi masyarakat tentang realitas sosial, dan oleh karena itu, penting untuk mencermati bagaimana perempuan direpresentasikan dalam karya-karya sastra. Kajian feminis berusaha untuk menyoroti ketidakadilan ini dan mendorong perubahan menuju representasi yang lebih setara dan adil.
Akhirnya, representasi perempuan dalam novel Aib dan Nasib menekankan pentingnya penulis yang sadar akan isu-isu gender yang dapat membawa perspektif berbeda dan lebih adil dalam menggambarkan perempuan.
Dengan mendorong lebih banyak narasi yang memperlihatkan perempuan sebagai individu yang kuat, mandiri, dan memiliki kekuatan untuk menentukan nasib mereka sendiri, sastra dapat berkontribusi pada perubahan sosial yang lebih luas. Hal ini dapat membantu mengatasi ketidaksetaraan gender dan membentuk masyarakat yang lebih adil dan setara.