Oleh AHMAD FARISI*
Meski berhasil menghasilkan beribu-ribu sarjana dengan IPK melangit, namun harus diakui bahwa lembaga pendidikan kampus kita masih gagal mencetak sarjana-sarjana yang jujur, profesional, dan berintegritas.
Menurut data yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2022, 87 persen kasus korupsi (sekitar 1.044 dari 1.200 kasus) yang ditangani KPK pelakunya adalah sarjana. Mengapa ini bisa terjadi? Bukankah pendidikan mendorong setiap insan untuk menjadi manusia yang jujur, adil dan berintegritas? Namun mengapa yang terjadi justru sebaliknya: cacat moral dan miskin integritas? Adakah yang salah dan mesti diperbaiki dari kampus kita?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penyakit Bawaan
Fakta ini sudah lama terendus. Namun, fakta itu dibiarkan begitu saja tanpa mendapat tanggapan dan respon serius dari berbagai kampus yang ada. Seolah-olah, banyaknya sarjana yang terlibat praktik rasuah di berbagai instansi bukan masalah serius bagi kampus karena hal itu terejadi di luar kampus. Sehingga dengan itu, kampus merasa tak perlu ambil pusing memikirkan perilaku sarjana yang berada di luar kampus: amoral atau tidak?
Padahal, jika kita mau jujur, adanya banyak sarjana yang terlibat kasus korupsi tak lain adalah masalah yang tak bisa dipisahkan dari kampus itu sendiri. Sebab, jika kita cermati, penyakit korupsi yang menjangkiti para sarjana dengan berbagai titelnya itu tak lain adalah penyakit bawaan.
Dikatakan demikian sebab, penyakit korupsi yang menjangkiti para sarjana tak lain adalah penyakit yang sesungguhnya sudah mendiami para sarjana sejak masih mahasiswa. Penyakit bawaan dimaksud bukan hanya tentang jual-beli karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi dll) sebagaimana sempat menjadi perbincangan publik beberapa waktu lalu. Melainkan benar-benar menyerupai praktik korupsi yang terjadi di gelanggang politik-kekuasaan.
Pernah mendengar cerita penggelapan dana/anggaran organisasi intra kampus yang dilakukan oknum mahasiswa? Mungkin sebagian kita tidak familiar dengan cerita yang menyimpan sisi gelap organisasi intra kampus ini. Sebab, cerita semacam itu memang jarang atau bahkan tidak pernah diangkat ke permukaan. Baik oleh media maupun oleh para pengamat pendidikan.
Namun, di kalangan mahasiswa, cerita tentang penggelapan dana/anggaran organisasi intra kampus oleh oknum mahasiswa itu sangatlah familiar dan bisa dibuktikan kebenarannya. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, penulis berkesempatan mendengar langsung cerita itu dari oknum mahasiswa yang menjadi pelaku penggelapan dana organisasi intra kampus.
Dari beberapa cerita yang penulis dapat, penggelapan anggaran yang dilakukan oknum mahasiswa itu biasanya dilakukan saat mengadakan kegiatan yang didanai atau dibiayai oleh kampus. Adapun cara yang mereka lakukan, adalah memanipulasi rencana dan laporan akhir anggaran kegiatan.
Konon, selain dinikmati sendiri bersama beberapa oknum mahasiswa yang terlibat, hasil praktik lancung itu sebagian juga digunakan untuk mendanai keperluan organisasi ekstra kampus yang diikuti oleh oknum terkait.
Nominal anggaran yang sering kali digelapkan oleh oknum mahasiswa memang tidak seberapa bila dibandingkan dengan nilai korupsi politik. Namun, tanpa disadari, di situlah sebenarnya mental koruptif dan budaya korupsi para sarjana yang terlibat praktik rasuah mulai terbentuk dan terus bermutasi dalam diri para sarjana hingga masuk dan bekerja di berbagai institusi; dari institusi politik, institutisi swasta, dan hingga institusi pendidikan itu sendiri.
Fakta ini sejalan dengan sejumlah profil dan latar para sarjana yang terlibat kasus korupsi, di mana rata-rata mereka adalah mantan aktivis mahasiswa yang bergelut dengan organisasi intra kampus pada masanya. Karena sudah terbiasa melakukan penyelewengan dan penggelapan dana/anggaran, korupsi kemudian dianggap sebagai hal lumrah dan wajar dilakukan oleh mereka tatkala menjadi sarjana dan duduk di sejumlah jabatan penting. Korupsi sudah semacam menjadi habitus dalam diri mereka.
PR Serius Kampus
Karena itu, adanya banyak sarjana yang terjerembab dalam jurang korupsi itu harus menjadi perhatian serius bagi kampus. Kampus tidak boleh acuh tak acuh terhadap persoalan ini. Para sarjana yang terlibat kasus korupsi secara administratif memang sudah bukan bagian dari warga kampus.
Namun, bagaimanapun, mereka (sarjana koruptor) adalah produk dari pendidikan kampus. Jika para sarjana yang dihasilkan kampus itu terlibat dalam sejumlah praktik korupsi, itu artinya kampus kita gagal menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan tinggi yang bermutu dan berkualitas.
Oleh sebab itu, dengan itu mestinya kampus mengevaluasi diri dan memastikan bahwa setiap sarjana yang dihasilkan tidak menderita penyakit integritas yang berpotensi merusak sistem dan tatanan kehidupan masyarakat. Bukan hanya asyik-masyuk secara terus-menerus memproduksi sejumlah sarjana-sarjana baru yang tidak berkarakter dan tak memiliki integritas hanya untuk menjaga akreditasi kampus agar tetap berada di jalur aman.
Fungsi dan tanggung jawab kampus bukan hanya memberi titel berderet. Lebih dari itu, kampus punya tanggung jawab luhur untuk mencetak manusia-manusia yang berperikemanusiaan, berintegritas, berbudipekerti luhur, menjungjung tinggi nilai-nilai Pancasila, dan memegang teguh UUD NRI 1945.
*) Pengamat politik