Judul : Samudra Kezuhudan Gus Dur
Penulis : K.H. Husein Muhammad
Penerbit : DIVA Press
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Cetakan : Juli 2019
Tebal : 300 halaman
ISBN : 978-602-391-733-4
Kiai Abdurahman Wahid merupakan cucu kiai karismatik—Kiai Hasyim As’ary pendiri NU. Belaiu lahir dari seorang ayah bernama Wahid Hasyim, menteri agama pada masa Presiden Soerkarno. Kiai Abdurahman Wahid tumbuh besar dilingkungan Pesantren. Dan, semasa hidupanya beliau tercatat sebagai ketua umum PBNU dan Presiden keempat Indonesia. Secara keturunan dan kedudukan Kiai Abdurahman Wahid termasuk golongan darah biru. Meski begitu Kiai Abdurahman Wahid tetap rendah hati, tidak sombong dan tidak pula jahat pada sesama.
Saat menjabat presiden, Kiai Abdurahman Wahid terbilang sebagai orang yang tak punya uang. Pasalnya, menurut Mahfud MD yang dikutip penulis dalam buku ini. Gaji Kiai Abdurahman Wahid sebagai Presiden sering diberikan kepada orang-orang yang memerlukan atau yang menurutnya membutuhkan meski tak diminta, termasuk pula kepada para menterinya. Alwi Shihab dan AS Hikam adalah menteri yang pernah disedakahi uang oleh Kiai Abdurahman Wahid, atas dasar Jas dan sepatu mereka berdua sudah lawas dan tidak layak pakai sebagai seorang menteri.
Tidak hanya kepada Alwi Shihab dan AS Hikam, Kiai Abdurahman Wahid juga sering menyedekahkan uangnya kepada pengurus NU, kiai kampung, dan ustaz; santri, nelayan dan tukang kebun; pedagang kelontong dan para petani yang membutuhkan. Baik untuk kepentingan fasilitas organisasi atau untuk memenuhi kebutuhan pribadi keluarga mereka.
Kebiasaannya memberi kepada orang-orang yang membutuhkan beliau lakukan tanpa bertanya apakah yang beliau beri benar-benar membutuhkan atau tidak, Kiai Abdurrahman Wahid tak peduli bahkan beliau tak pernah menyuruh orang untuk menyelidiki orang-orang yang beliau beri. Dalam memberi beliau juga tak pernah melihat siapa yang beliau beri, tak pernah bertanya apa agamadan seterusnya, dalam segala keadaan beliau tak pernah bertanya mengenai identitas seseorang. Baginya semua orang sama, yaitu sama-sama makhluk Allah. Bahkan, beliau sering membagikan uangnya kepada orang yang pernah mengkritik dan masih terus mengkritik pemikirannya (hal 197).
Selain punya kebiasaan memberi, Kiai Abdurahman Wahid juga punya kebiasaan mendengar lantunan-lantunan ayat suci Al Qur’an yang merdu, bila ada yang mengesankan hatinya, beliau akan memberi tafsir atasnya. Bukan hanya melalui kaset yang diputar, kadang Kiai Abdurahman Wahid juga mengundang huuffazah (para penghafal Al-Qur’an) dari Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur’an (PTIQ) dan Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) untuk sema’an (mendengarkan) ayat-ayat suci Al-Qur’an di rumahnya.
Terlepas dari semua itu, dalam menjalani hidup Kiai Abdurahman Wahid terbilang sederhana. Hari-harinya selalu beliau jalani dengan berpuasa sunah. Saat beliau buka puasa atau makan pada umumnya, lauk-pauknya pun tak terlalu mewah seperti orang-orang sekelasnya. Lauk-pauknya hanya terdiri dari tempe, tahu dan sambal lalap; sayur bening atau lodeh, telor dan daging kering; cumi-cumi dan kerupuk (Hal-145). Sedangkan dalam berpenampilan, menurut pengalaman penulis, di rumahnya ataupun di Istana Presiden pakaiannya sama saja, sama-sama sederhana.
Buku ini menerangkan sepak terjang kehidupan Kiai Addurrahman Wahid dalam menjalani hidup sehari-hari. Karya K.H. Husein Muhammad ini punya nilai lebih dibanding dengan karya tematik Kiai Addurrahman Wahid lainnya. Selain sarat dengan air mata keteladanan Kiai Abdurahman Wahid, buku ini adalah buku pertama yang meneropong sosok Kiai Abdurahman Wahid dari kacamata sufi. Semoga dengan membaca buku ini, kita diberi keinginan dan kesempatan untuk melakukan apa yang telah dilakukan Kiai Abdurrahman Wahid. Wallahu ‘alam