Judul : Mencapai Indonesia Merdeka
Penulis : Ir. Soekarno
Penerbit : IRCiSoD
Cetak : Pertama, Januari 2021
Tebal : 156 Halaman
ISBN : 978-623-6699-62-1
Peresensi : Muhammad Ghufron*)
Salah satu medium perjuangan paling subtil mencapai Indonesia merdeka di titimangsa kolonial ialah tulisan. Tulisan bak senjata yang membawa misi agung melepaskan Indonesia dari belenggu penjajah. Tulisan-tulisan pun disebar hati-hati demi memantik semangat pergerakan kaum pribumi kala itu. Di pelbagai surat kabar baik lokal maupun nasional ada gagasan mulia tokoh bangsa yang mesti dibaca dan direnungi.
Tulisan yang berserak merupakan manifestasi konstruk dari kristalisasi gagasan dan pemikiran atas realitas kemurungan bangsa. Bertahun-tahun kondisi bangsa diimajinasikan sebagai Indonesia Merdeka. Ada ikhtiar bergumul melawan ide-ide Barat sebagai hasrat tak tertangguhkan yang telah digaungkan ke segenap relung pribumi untuk merdeka dari perbudakan kolonial.
Ikhtiar sungguh-sungguh itulah yang telah dimuliakan Soekarno melalui Mencapai Indonesia Merdeka. Gagasan yang termaktub dalam Mencapai Indonesia Merdeka merupakan beberapa buah pikirannya yang terbit di beberapa surat kabar, antara lain ; Pikiran Rakyat, Pandji Islam, dan Suluh Indonesia. Tulisan-tulisan tersebut juga telah dimuat dalam masterpiece nya, Di Bawah Bendera Revolusi.
Soekarno mula-mula menulis sebab-sebab Indonesia tidak merdeka dalam buku ini. Menurutnya, asbab Indonesia tidak merdeka harus dicari ke masa abad 16 atau 17 silam, saat “feodalisme Eropa” surut dan diganti dengan “kapitalisme tua”, yaitu berdirinya sebuah kelas perdagangan dan pertukangan yang giat sekali berniaga di kawasan Eropa.
Lebih lanjut, kapitalisme tua dalam pandangan Soekarno itu, akan semakin kuat sampai mencapai kuasa pemerintahan. Dari sini, timbullah suatu hasrat menguasai benua-benua lain, terutama benua Timur. Imbasnya, kapitalisme kemudian mengepakkan sayap-sayapnya hingga ke bagian negara dunia ke tiga, seperti Indonesia. Inilah awal mula embrio “Imperialisme”.
Kapitalisme tua melalui nafsu imperialismenya yang demikian semakin mendedahkan segenap persoalan bagi masyarakat pribumi. Adanya sistem tanam paksa (Culture Stelsel), menjalankan monopoli dengan kekerasan dan kekejaman, membinasakan ribuan jiwa manusia, menghancurkan kerajaan-kerajaan, membasmi ladang cengkih dan pala merupakan beban berat yang mesti dipikul rakyat kala itu.
Kekhawatiran Soekarno kian memuncak ketika realitas semacam ini dianggapnya sebagai bencana batin. Suatu realitas bencana yang menandakan bawa rakyat Indonesia menjadi “rakyat kambing” yang selamanya harus dipimpin dan dituntun sejalan dengan kehendak kolonial. Rakyat yang seperti itu percaya saja semboyan imperialisme bahwa mereka datang ke Indonesia bukan untuk mencari rezeki, tapi datang membawa misi suci dan ketertiban umum (Hal-14).
Karena itulah, di kedirian Soekarno bergelora api Nasionalisme sebagai elan vital fundamen menuju Indonesia merdeka. Nasionalisme di alam pikir Soekarno bukanlah Nasionalisme yang timbul dari kesombongan bangsa belaka, tetapi Nasionalisme yang maujud dari pengetahuan atas narasi historis perjalanan bangsa. Baginya, Nasionalisme semacam ini akan menerima rasa hidup sebagai wahyu, dan menjadikannya sebagai bakti.
Soekarno berkali-kali menggaungkan semangat persatuan untuk mewujudkan Nasionalisme nya itu. Di saat dirinya terlibat polemik dengan H. Agus Salim, begitu kentara ia menulis ihwal persatuan di sana. Ia tak mau berlarut dalam polemik yang begitu panjang. Polemik hanya jalan bagi pergumulan ide-idenya untuk merdeka. Sebab seperti yang ia tulis, “Di dalam persatuan kita berdiri, di dalam perceraian kita terjatuh” (Hal-26).
Semangat persatuan sejalan dengan tumbuhnya semangat pergerakan. Kepada orang partai dan kawan politiknya yang berada di lingkaran Marhaenisme, ia terus mendorong agar semangat pergerakan tersublim di inti perjuangannya. Untuk menumbuhkan semangat pergerakan itu, percaya pada kekuatan diri sendiri serta anti kooperatif pada pihak kolonial merupakan fundamen yang mesti disemai dalam-dalam.
Sublimasi gagasan Soekarno kian menemukan momentumnya tatkala dirinya berusaha mengubah semboyan “Jangan banyak bicara, bekerjalah” menjadi “Banyak bicara, banyak bekerja”. Ini merupakan tanggapan atas tulisan Manadi, kawannya, di Pikiran Rakyat. Semboyan itu dianggap kurang benar lantaran Manadi telah mengesampingkan spirit wacana di ruang publik.
Spirit wacana perlu diaktualisasikan ke dalam tiap-tiap partai politik. Bagi Soekarno, setiap partai yang berhaluan semangat Nasionalisme penting kiranya wacana dikembangkan guna membangun suatu iklim Nasionalisme yang konstruktif.
Wacana ihwal Nasionalisme perlahan akan menyadarkan masyarakat Indonesia untuk bersikap kritis terhadap kondisi bangsa.
Karena itulah, wacana dan tindakan mesti berjalan seimbang. Soekarno tidak hanya menulis dan berwacana ihwal bangsa, tapi juga betindak untuk bangsa. Tulisan-tulisannya dalam buku ini sesungguhnya merupakan sumbangsih luhur bagi peradaban bangsa. Terbukti, tidak hanya soal politik dan Nasionalisme, tulisan-tulisannya dalam buku ini juga berkelindan dengan isu-isu kemanusiaan dan kesejahteraan bangsa.
Akhirnya, kendati Soekarno mengakui karya ini hanya sebatas “risalah” atau kata-kata ringkas, namun kedalaman makna dari pemikiran dan gagasannya amat berarti untuk dijadikan bahan kajian dan referensi bagi siapa saja yang berminat terhadap kajian sejarah dan dinamika politik Indonesia.
*) Muhammad Ghufron, Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pegiat Literasi di Garawiksa Institute