Judul Buku : 250 Wisdoms; Membuka Mata, Menangkap Makna
Penulis : Komaruddin Hidayat
Penerbit : Hikmah
Tahun : 2010
Tebal : 336 halaman
ISBN : 978-602-8767-01-9
Buku-buku Komaruddin Hidayat, khas aroma islami. Tulisan-tulisannya bersifat renungan membawa pembaca pada permenungan terhadap hidup dan segala halnya. Kalimat-kalimatnya yang pendek menyentuh dasar kalbu untuk berpikir tentang makna hidup. Lewat buku 250 Wisdoms: Membuka Mata, Menangkap Makna, Hidayat kembali mendekati manusia. Membuka mata lebih lebar untuk menangkap makna langit.
Sebuah pesan kehidupan yang amat dalam untuk diresapi. Barangkali, pendekatan hati memang diperlukan untuk mengetuk jiwa yang tidur. Seperti komentar penulis buku Simfoni di Dalam Diri: Mengolah Kemarahan Menjadi Keteduhan. Gede Prama menuliskan menulis dengan hati dipastikan menyentuh hati.
Buku bersampul hijau-putih bermotif bunga tampak menyejukkan dan menyegarkan pikiran gelap. Desain gambar yang simpel, menerbitkan rangsangan stimulus positif atas ketenangan. Buku berisikan dua belas bab berjudul tidak lebih dari sepuluh kata. Judul-judulnya itu seperti Menyapa Semesta dengan Cinta, Roda-Roda Usaha, Melukis Surga dalam Keluarga, Arti Sebuah Persahabatan, Belajar Menjelajahi Pribadi, Cinta Tuhan Menebar Pada Keragaman, Merawat Keagungan Pribadi, Bangsa yang Punya Hati, Bekal Pulang Kampung, Menengok Jendela Hati, Bukan Sekadar Kebahagiaan, dan Hening dalam Keramaian.
Pada setiap judul terlahir sub judul yang juga sederhana tapi memikat. Hidayat membongkar judul secara langsung—menjurus tidak bertele-tele. Satu halaman berisi satu sub judul. Setebal 336 halaman dengan lugas dan luwes menuliskan 250 nasihat—pesan langit kepada pembawa.
Gagasan setiap 250 sub judul dicetuskan bersifat satir. Penulis buku Psikologi Kematian itu menunjukkan kebobrokan manusia dengan gamblang.
Bab ketiga: Melukis Surga dalam Keluarga, Hidayat mengingatkan kita terhadap kepemilikan. Berjudul ‘Sekadar Titipan’ penulis buku Berdamai dengan Kematian mengungkap persoalan kepemilikan kapan saja akan diambil oleh pemiliknya. Ketika momen itu terjadi, baiknya seseorang melapangkan hati dan pikiran (hal. 60).
Kepemilikan yang dimaksud dalam tulisan selembar itu, tak lain adalah harta dan anak. Keduanya merupakan titipan Tuhan yang sewaktu-waktu akan diambil tanpa kompromi.
Selanjutnya, bab keenam, Hidayat juga menunjukkan warna-warni keragaman di dunia. Ditulisnya pada nomor 112 ‘Menjaga Hati yang Lain Berarti Menjaga Hati Sendiri’ Hidayat mengingatkan untuk tidak memaksakan orang lain menerima gagasan kita. Manusia dituntun lebih bijak untuk menyadari akan keberpihakan orang lain.
Setiap orang memiliki keyakinan lain, misalnya persoalan ke Arab Saudi menggunakan pesawat atau kapal. Semua adalah hak individu memilih dan menentukan jalannya. Manusia dilarang memaksakan orang lain dalam satu frekuensi dengan kita (hal. 147).
Manusia diberi kesempatan memberikan saran. Objek dapat menerima atau sebaliknya, bebas.
Membaca dengan keterbukaan hati dan pikiran, semakin ke belakang Hidayat menyentuh hal-hal tak disadari manusia. Bab ketujuh: Merawat Keagungan Pribadi ia menunjukkan kedahsyatan energi maaf dan terima kasih. Suatu hal yang sering diabaikan manusia. ‘Hanya Maaf dan Terima Kasih’ manusia diingatkan sebagai makhluk sosial (zoon politicon).
Manusia membutuhkan orang lain, penting bagi setiap individu menyadari akan kelemahan dan keterbatasan. Kekuatan maaf hadir ketika manusia melakukan kesalahan. Begitu pula energi terima kasih setelah mendapat bantuan dari pihak lain.
Berkaitan dengan ini, serupa dengan buku Betapa Dahsyatnya Energi Maaf, Tolong, dan Terima Kasih karya Aep Syaiful Hamidin. Hamidin menegaskan apabila manusia mampu mengusahakan menerapkan ketiga energi positif di atas dipastikan kehidupan tidak lagi mengenal diksi ‘salah paham’, ‘bertengkar’, dan lain sebagainya. Buku yang dikemas dalam bentuk cerita merupakan strategi pendekatan humanisme.
Selanjutnya, lebih kedalam pada bab kedelapan, manusia disindir keras atas kelemahan jiwanya. Lewat subjudul ‘Karya Harta, Miskin Jiwa’ kita ditodong pada perilaku korupsi. Hidayat memandang koruptor adalah manusia yang patut dikasihani karena jiwanya miskin dan rapuh, meskipun depositonya mencapai triliun (hal. 232).
Karenanya dikenalkan spiritual happiness pada bab sebelas: Bukan Sekadar Kebahagiaan. Yakni, kesadaran akan hakikat bahagia. Bukanlah memiliki harta yang melimpah, melainkan harta jiwa. Kebahagiaan sejati itu adalah kebahagiaan itu sendiri. Ada ketentraman, ketenangan, dan kenyamanan.
Menjadi kaya dengan cara korupsi bukanlah kebahagiaan hakiki apabila rasa was-was terus melingkar-lingkar bertanggung jawab. Ditegaskan, kebahagiaan tidak didasari oleh ambisi dan nafsu (hal. 292).
Dengan begitu, baiknya bertindak baik supaya mendatangkan kesenangan. Kesenangan (kebaikan) telah ditulis Hidayat pada bab sama bernomor 222 dengan judul ‘Memilih Menanam Kebaikan’. Hidayat menawarkan makna hidup lewat perilaku baik. Dikatakan, apabila mengerjakan kebaikan, pasti mendapat kesenangan (hal. 298).
Membaca 250 Wisdoms: Membuka Mata, Menangkap Makna, hingga akhir sungguh bentuk penyadaran dan permenungan. Makna hidup bergelantungan pada kata-kalimat yang disusun. Siapa saja dipastikan mudah menerima gagasan yang ditulis. Hidayat dengan segala kearifan hendak mengetuk hati dan jiwa manusia, mengenali kelemahan untuk perbaikan ke depannya.