Judul Buku : Argumen Kontekstualisasi Zakat Dalam Al-Qur’an
Penulis : Rufi’ah
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : Desember, 2021
ISBN : 978-623-6166-73-4
Sebagai salah-satu syariat dalam berislam, tentu kita telah mafhum dengan kata zakat. Sejumlah buku-buku komprehensif tematik zakat pun banyak yang bertebaran. Namun, adakah buku-buku tematik zakat yang tidak hanya komprehensif-naratif, tetapi juga berusaha mendiskusikan sejumlah argumen-argumen (dalil-dalil) zakat dalam Al-Qur’an untuk memperoleh teks dan konteks yang tepat dengan kondisi kekinian? Jawabannya bisa banyak, atau juga bisa sedikit, atau bahkan belum ada.
Namun, terlepas dari jawaban di atas, melalui Argumen Konstekstualisasi Zakat Dalam Al-Qur’an, itulah yang hendak dilakukan oleh penulis buku ini, Rufi’ah. Buku ini, yang awalnya adalah tesis penulis di Pascasarjana IAIN Pononorogo, berusaha melacak dan sekaligus mendiskusikan agumen-argumen (dalil-dalil) zakat dalam Al-Qur’an, yang tujuannya adalah menemukan konteks disyariatkannya zakat di samping juga mencari sejumlah teks-teksnya.
Mula-mula buku ini dibuka dengan sebuah tindakan melacak, mencari, dan menemukan dalil-dalil zakat dalam Al-Qur’an. Menurut penulis kelahiran Lumajang ini, ayat-ayat zakat dalam Al-Qur’an disebutkan dengan beragam istilah. Ada zakat, haq, shadaqah, dan infaq. Dan, dalam penelusuran Rufi’ah, ditemukan bahwa kata zakat dalam Al-Qur’an disebut puluhan kali, dan sering kali bersanding-bersamaan dengan perintah shalat. “Dua puluh tujuh kali disebut bersamaan dalam shalat, dan sekali setelah ayat shalat, tetapi dalam ayat yang berbeda, dan selebihnya disebut secara mandiri,” (hlm. 11).
Yusuf al-Qardhawi, ayat zakat dalam konteks Makkah masih bersifat pertanyaan, dan belum secara tegas menyatakan kewajiban zakat. Karenanya, kala itu, mengeluarkan zakat tergantung pada kemurahan hati seseorang terhadap orang lain.
Zakat, antara Ayat Makkiyah dan Madaniyah
Dari sejumlah ayat zakat yang ada, terdapat penekanan yang berbeda antara ayat-ayat zakat yang turun di Makkah (Makkiyah) dan ayat-ayat zakat yang turun di Madinah (Madaniyah). Menurut Rufi’ah, dalam konteks Makkah, kondisi umat Islam kala itu masih labik, karena jumlah pemeluknya masih sedikit dan belum mempunyai pemerintahan dan organisasi politik yang mapan. Sehingga, ketika itu, zakat hanya difokuskan untuk membantu fakir miskin.
Sebagaimana dikatakan Yusuf al-Qardhawi, ayat zakat dalam konteks Makkah masih bersifat pertanyaan, dan belum secara tegas menyatakan kewajiban zakat. Karenanya, kala itu, mengeluarkan zakat tergantung pada kemurahan hati seseorang terhadap orang lain.
Sedangkan dalam konteks ayat-ayat Madaniyah, di mana kondisi umat Islam sudah kuat dan memiliki organisasi politik yang sudah mapan dan kuat, zakat sudah berbentuk hukum yang mengikat dan tidak lagi hanya bersifat anjuran seperti yang sebelumnya terjadi di Makkah. Bahkan, besaran zakat, dan barang yang terkena wajib zakat juga sudah ditentukan dengan jelas hingga ke kelompok-kelompok penerimanya (hal. 12).
Konstekstualisasi Zakat
Secara bahasa, zakat berasal dari kata zaka, yang berarti berkah, bersih, dan baik. Dalam perspektif fiqih, zakat berarti adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak. Inti utama dari disyariatkannya zakat adalah, selain untuk membersihkan jiwa dan harta muzakki (pemberi zakat), juga untuk menghapus atau mengurangi beban ekonomi mustahiq (penerima zakat) sehingga tercipta relasi sosial-ekonomi yang baik di dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Namun, menurut Rufi’ah, selama ini pengaplikasian zakat masih cenderung tekstual dan menemukan konteks yang tepat. Misalnya, dalam memahami delapan kelompok penerima zakat. Caranya masih cenderung tekstual. Padahal, perubahan zaman juga telah merubah kebutuhan pokok mustahiq.
Karena itu, menurut Rufi’ah, dalam konteks kekinian, perlu reinterpretasi ulang terhadap delapan kelompok mustahiq itu, bukan hendak menyangsikan delapan kelompok mustahiq yang disebutkan dalam Qs. At-Taubah: 60, melainkan hanya sebatas mencari konteks yang lebih tepat mengenai tat cara pelaksanaan dan penerima-penerimanya. Agar, zakat yang berarti menyucikan muzakki tidak hanya membantu delapan kelompok itu secara konsumtif, tetapi juga mampu melepaskan mereka dari ketergantungan pemberian aghniya’ (hlm. 145).
Upaya konstekstualisasi zakat itu harapannya tiada lain, semata untuk menemukan konteks yang tepat dari pelaksanaan zakat itu.
Karena itu, menurut Rufi’ah, di samping sebagai ibadah mahdhah, yang bertujuan untuk menyucikan jiwa dan harta muzakki, zakat juga bisa dimaknai lebih luas lagi sebagai ibadah maliyah karena mengandung dimensi-dimensi teologis, sosial, dan ekonomi yang besar pengaruhnya terhadap mustahiq.
Mengenai upaya dan kebutuhan untuk mengkontekstuakisasikan zakat ini, setidaknya hal itu bisa dilihat dari perkembangan sejak awal yang terus mengalami konstektualiasi, dari ayat-ayat Makkiyah, Madaniyah, hingga munculnya pemimpin-pemimpin serakah yang hendak menguasai zakat yang kemudian memicu turunnya Qs. at-Taubah: 60 yang membagi delapan kelompok mustahiq.
Upaya konstekstualisasi zakat itu harapannya tiada lain, semata untuk menemukan konteks yang tepat dari pelaksanaan zakat itu. Sehingga pada akhirnya, benar-benar bermanfaat bagi semua. Dan, ideal moral disyariatkannya zakat itu pun dapat tercapai.(*)
Editor: Ahmad Farisi