Judul: Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam
Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir
Penerbit: IRCiSoD
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tahun Terbit: Februari 2019
Tebal: 616 halaman.
ISBN: 978-602-7696-80-8
Dari mana datangnya kezaliman? Kezaliman selalu datang dari penafian atas nilai-nilai keadilan. Dan, peniadaan nilai-nilai keadilan bermula dari pembacaan (terhadap teks maupun konteks) yang dilakukan secara parsial. Sedangkan keadilan merupakan salah satu hal paling esensial dalam sejarah kehidupan manusia.
Itu sebabnya, dalam kitab legendarisnya yang berjudul Nichomachean Ethics, Aristoteles menyerukan pentingnya penegakan keadilan. Yaitu, keadilan yang dimaknai sebagai tindakan pemenuhan kebahagiaan diri sendiri dan orang lain.
Satu hal yang perlu digarisbawahi dari seruan Aristoteles tersebut ialah titik tekannya pada kebahagiaan universal, bukan sekadar kebahagiaan personal. Untuk itu, keadilan yang sesungguhnya tidak mungkin tercapai tanpa terlebih dahulu melucuti subjektivitas dan menggantinya dengan semangat objektivitas.
Keadilan sosial, misalnya, hanya mungkin terwujud manakala perbedaan tidak lagi ditilik secara dikotomis, melainkan dipandang secara sinergis. Kesetaraan dan keadilan gender pun akan tetap menjadi omong kosong manakala lelaki masih diposisikan sebagai kaum superior dan perempuan dianggap sebagai kaum inferior.
Gagal Paham
Kegagalan memahami perbedaan sebagai modal persatuan dan kemajuan bersama bisa dipastikan merupakan akibat dari kesalahan melihat dan memaknai perbedaan. Kalau saja kita bersedia untuk membuka pikiran, tentu kita paham bahwa perbedaan tidak hanya mengandung makna tunggal.
Perbedaan tidak serta-merta harus selalu dimaknai dengan semangat penentangan. Dalam banyak hal, perbedaan sungguh terbuka bagi perspektif kemitraan atau kesalingan (mubadalah).
Sayangnya, tidak semua orang bersedia membuka pikiran sembari terus menutup diri dari diskursus kekinian. Golongan ini seperti tidak memiliki kematangan mental untuk keluar dari “zona gagal paham”, dengan berlindung di balik jubah budaya dan bahkan doktrin keagamaan.
Akibatnya, golongan ini melihat perbedaan yang dibawa manusia sejak lahir (seperti jenis kelamin, suku, bangsa, warna mata, dan sebagainya) maupun perbedaan yang datang kemudian (seperti kedudukan, kekayaan, pengaruh, dan sebagainya) sebagai sumber konflik.
Fenomena gagal paham yang paling tampak, dan masih terus menjadi perbincangan hangat di Indonesia, berkaitan dengan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan. Hal ini terbukti dengan masih kuatnya stigmatisasi pada perempuan. Misalnya, perempuan masih dianggap sebagai sekadar konco wingking bagi laki-laki.
Tidak hanya itu, perempuan juga masih dianggap sebagai sumber fitnah atau kekacauan.
Manakala terjadi pelecehan seksual terhadap perempuan yang memakai pakaian minim, masyarakat kita sontak menyalahkan pihak perempuan yang dianggap telah memancing syahwat laki-laki.
Kita jarang mendengar masyarakat mempertanyakan kegagalan pihak laki-laki dalam mengendalikan diri. Kegagalan memahami perbedaan laki-laki dan perempuan secara adil ini sesungguhnya merugikan kedua belah pihak.
Pihak perempuan merugi karena menjadi korban marginalisasi, sedangkan pihak laki-laki merugi karena terjebak dalam cara pandang yang tidak bijak.
Faqihuddin Abdul Kodir menggedor pintu hati dan pikiran kita mengenai relasi yang resiprokal antara laki-laki dan perempuan.
Bertolak dari dan hidup bersama gerakan-gerakan pemberdayaan perempuan perspektif Islam Indonesia, buku berjudul Qira’ah Mubadalah ini menawarkan seni membaca yang baru dalam memahami teks dan relasi gender secara adil. Kita diajak keluar dari “jebakan” lama yang seolah mengamini teks-teks keislaman beraroma maskulin.
Hal ini memungkinkan kita untuk lebih mampu melihat dinamika relasi antara laki-laki dan perempuan secara setara dan berkeadilan.
Titik Temu
Islam, melalui semangat tauhid, sejak awal memang getol menentang patriarki. Tidak heran kalau di tanah diturunkannya Islam, yakni di Arab, Islam mendapat penentangan dan penolakan serius.
Pasalnya, Islam menawarkan cara pandang yang sama sekali baru atas status, kedudukan, peran, dan nilai-nilai laki-laki dan perempuan. Islam menolak tegas anggapan laki-laki sebagai manusia utama dan perempuan sebagai manusia kelas kedua. Islam memosisikan laki-laki dan perempuan secara setara, sama-sama manusia seutuhnya (QS. al-Hujuraat [49]: 13).
Pergulatan antara ajaran ideal Islam dengan sistem patriarki yang sangat kuat di Arab menjadi dinamika tersendiri. Al-Qur’an dan hadits merekam dinamika ini, sekaligus merefleksikan tradisi patriarki masyarakat Arab yang sedang diubah untuk berpihak pada kesetaraan. Tidak heran kalau Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm. menyebut bahwa tafsir dan tradisi Islam hingga kini sejatinya merupakan pergulatan terus-menerus antara nilai-nilai tauhid dan patriarki.
Kendati secara fisik laki-laki dan perempuan memang terlahir berbeda, namun sesungguhnya terdapat banyak titik temu di antara keduanya. Dalam kosmologi al-Qur’an, manusia disebut sebagai khalifah Allah Swt. untuk menjaga, merawat, dan melestarikan bumi dan segala isinya.
Amanah mulia ini dialamatkan kepada semua manusia, tanpa membedakan jenis kelamin. Ini hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak ajaran Islam yang memosisikan laki-laki dan perempuan dalam derajat yang setara.
Sangat banyak ayat al-Qur’an yang menganjurkan laki-laki dan perempuan untuk saling menghargai, saling menolong, dan saling bekerja sama. Kesalingan ini menegaskan bahwa salah satu jenis kelamin tidak diperkenankan melakukan kezaliman dengan mendominasi dan menghegemoni yang lain; atau yang satu hanya mengabdi dan melayani kepada yang lain. (hlm. 61).
Faqihuddin Abdul Kodir terbilang berani dalam membedah teks dan mendiskusikan konteks yang selama ini ditafsirkan secara maskulin oleh pembela sistem patriarki. Kalau Nasr Hamid Abu Zayd menyebut karakter utama dari peradaban Islam adalah orientasi pada teks, maka Faqihuddin Abdul Kodir secara sadar memandang ilmu fiqh sebagai salah satu bentuk yang paling dinamis dalam merespons realitas. Dalam satu persoalan, fiqh bisa menawarkan hukum yang berbeda karena didasarkan pada tuntutan realitas yang muncul.
Dengan interpretasi mubadalah, Faqihuddin Abdul Kodir menyentil kesadaran kita bahwa kesetaraan dan keadilan gender inheren dengan Islam. Kalau Anda ingin memiliki pandangan jernih melihat perbedaan tanpa harus terjebak dalam “jebakan” teks, maka saran saya, Anda perlu segera memasukkan buku keren ini sebagai daftar buku bacaan. Salam.