Puisi-Puisi Joko Rabsodi

Joko Rabsodi

Minggu, 5 Desember 2021

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi via @cdd20

Ilustrasi via @cdd20

Aku Bukan Cassanova

 

Aku hengkang dari seonggok fetus

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

yang telah kau bekali caci maki dan lumpur dosa

dan sepotong firasat yang engkau keluhkan

tertahan dalam dada

menyentak jantungku yang diam-diam menyimpan

wajahmu

 

Nawal

dulu ingin kutitipkan celah rindu yang berderai

agar terkurung dalam detak jiwa

seperti di sini satu nama selalu terulang dan mengental

laksana syair yang tak lekas bosan mengucapkan

epitaf cinta

 

Entah kenapa kau diamkan aku dalam pilu yang beku

padahal aku bukan cassanova yang berencana

menulis rindu di tiap agenda wanita

 

Pamekasan, November 2021

 

Setia Hingga Kampus Firdaus

 

Apakah kau tak percaya lagi akan janji-janji

yang kutegakkan di atas matahari

aku takkan berhenti mengalirkan rindu

dan menjaring wajahmu dalam doa-doaku

sepanjang aku mampu meneruskan napas

sejauh itu pula kan kuasah senja dan kusempurnakan hati

untuk menciptakan kelanggengan

kita tak hanya kenal lewat laman sejarah; bersua sejenak lalu berpisah

 

Seberat apa pun langkah meski harus kubongkar

Baca Juga :  Puisi-Puisi Abd. Wakid

kamar-kamar rembulan akan aku untai

demi berharap kesetiaan akan mencari batinmu

mudah-mudahan dendang pertemuan kita

akan mengisi ruang-ruang kosong

menghalau sunyi jauh dalam genggaman erat

lalu menyulam pelangi hingga hidup ini teduh nan indah

 

Pamekasam, November 2021

 

Salam Terakhir

 

Emak, gagalkan operasi ini

ginjalku terlanjur penuh duri

relakan aku singgah di nur yang membuat atlas sendiri

percuma riwayatku bagai terkutuk maja

cukup sudah kutebangi cuaca mengerikan

hingga aku lupa aku manusia

 

Emak, lepaskan tanganmu

biarlah matahari menyetubuhi rohku yang telanjang

lupakan sakitku sebab nanah takkan kejam menyilet napasku

 

Emak, di ujung jalan itu engkau masih berdiri

engkau tahu sama sekali aku tidak tertarik

pada bangunan putih yang sebentar lagi akan

menyambut sirene kehadiranku

 

Emak, maafkan aku yang tak bisa mengelak

aku akan menunggumu lewat airmata yang kau hablurkan

telah kupersembahkan Surabaya-Madura untukmu

hingga Azrail sampaikan salam terakhir

 

Pamekasan, November 2021

 

Dialog Kematian

 

Baca Juga :  Langkah Simalakama

Dialog kita di antara reruntuhan sunyi

tentang jutaan cahaya malam itu

kembali kandas ke tengah lautan

 

Malam yang kau taburi bunga kematian

sampai kini terasa sepi

bahkan seluruh syairku selalu rantau di hati

; ada isak tangis tertahan

kala senyummu itu darah penghabisan

 

Pamekasan, November 2021

 

Selalu Ada Yang Terluka

 

Dari arah matahari terbit

seorang lelaki melingkarkan tangannya

di atap-atap pasir

tidak jelas apa yang dicumbunya dari bayang-bayang

tapi ketika ia menyeduh sesekrup pasir

ada kengerian bangkit dan melapangkan airmatanya

 

Semakin tidak jelas

apa yang ditangkap indra tangisnya

sebab dua tahun lalu ia juga menjerit

setelah tangan kirinya memeluk-meluk pasir

entah, aku kian tak mengerti

karena setiap matahari pecah

embun matanya selalu terluka

 

Pamekasan, September 2021

 

Teman Gelap

 

Norma, di mana kita berdiri selalu basah

oleh sajak-sajak naluri

rumah cokelat tua yang pernah kita salami

tembok tetap merekam album muda kita

namun kenapa kau lebih suka memungut sisa fajar

yang roboh di perut lelaki lain

Baca Juga :  Sepi - Puisi Muhammad Dzunnurain

sementara paku alam yang kau telan tempo dulu

utuh tak berbuah

 

Norma, kini kau datang bagai khalifah putus asa

lantas mengajakku mengenali tembok

yang pernah kujejali spermatozoa; untuk apa?

  

Pamekasan, September 2021

 

Airmata Di Suatu Pojok Kota

 

Heran, di pojok kota ini tangis tak pernah surut

aku tahu kotamu ditakdirkan untuk

menampung airmata

membenamkan mayat tanpa nama

tapi setidaknya ada celah untuk menitipkan rindu

yang sedalam-dalamnya

agar mereka yang kehilangan airmata

masih bisa tertawa meski di bawah reruntuhan

bangunan tua

kotamu tidak pernah merancang napasku

demikian aku tak paham untuk apa

kotamu dilahirkan

yang pasti sujudku sempat mengalun indah

di kotamu

 

Palestina, entah dalam kurun apa

engkau bertahan dari amuk peristiwa

yang sulit padam

tahun-tahun kerontangan dalam perih

kematian dan luka jahanam

engkau diam dalam bahasa tertunduk

apakah lantaran engkau sadar inilah yang tersirat?

Ataukah kematian sesungguhnya jawaban yang paling indah?

 

Madura, September 2021

Berita Terkait

Puisi-puisi Tundra Alif Juliant
Puisi-puisi Qudwatul Imamah-Madura
Puisi-puisi Elmira Damayanti-Madura
Puisi-puisi Amanda Amalia Putri-Banyuwangi
Puisi-puisi Alexio Riqil Vitor-Madura
Puisi-puisi Moh. Aqil-Madura
Puisi-puisi A. Danial Matin-Madura
Puisi-puisi Ilham Jayadi-Madura

Berita Terkait

Rabu, 25 Desember 2024 - 08:36 WIB

Puisi-puisi Tundra Alif Juliant

Kamis, 12 Desember 2024 - 08:30 WIB

Puisi-puisi Qudwatul Imamah-Madura

Sabtu, 7 Desember 2024 - 07:43 WIB

Puisi-puisi Elmira Damayanti-Madura

Sabtu, 30 November 2024 - 07:34 WIB

Puisi-puisi Amanda Amalia Putri-Banyuwangi

Jumat, 22 November 2024 - 05:38 WIB

Puisi-puisi Alexio Riqil Vitor-Madura

Berita Terbaru

Ilustrasi (pixabay/nolesa.com)

Puisi

Puisi-puisi Tundra Alif Juliant

Rabu, 25 Des 2024 - 08:36 WIB