Sebuah Perjalanan
Tubuhku terpekik melihat sepuluh anak kecil menarik batu dari jalanan kotor yang berdebu
Talinya begitu erat dililitkannya ke seluruh tubuh
Sesekali peluh mengalir di sela-sela napas yang terengah
Merengek kesakitan,
Mengerang bahkan dadanya begitu kerontang
”Lihatlah, nak!
Sebuah kejutan dari semesta telah menyelamatkanmu dari nasib tak terarah
Anak seusiamu telah direbut oleh nestapa
Bahkan nyawa mereka jadi taruhannya.” kata perempuan paruh bayah sambil menjahit lukanya
Aku meringis mendengarnya
Saat kudengar sendiri bunyi kekosongan dalam perutnya
Sesekali mereka mengikat lebih erat
Merangkul tubuh yang hampir sekarat
Lunglai, bahkan ada yang pingsan
“Lihatlah, nak!
Sebuah dosa menemani anak kecil yang kehabisan tawa
Padahal mereka tak bersalah
Tulislah, nak!
Sebuah mantra bahagia agar mereka bisa tertawa
Bukan sekadar memikul duka
Meski hanya fatamorgana” Kata perempuan paruh bayah itu lagi
Hatiku perih,
Lebih dari sayatan belati
Kututlis segala perjalanan dalam diksi yang beterbangan
Berharap tinta tak ikut kekeringan.
Gapura, 2024
Rumah Untuk Pulang
Aku membuntuti langkah angin
Menarik ujung jemari-jemariku
Ditarikku ke jalan sepi tak berpenghuni
Bau anyir tak kuasa kucium sampai pening
Huruf-huruf kenestapaan beterbangan dari dahan kecil
Milik kakek tua: jiwa yang sudah tiada
“Kemana anak muda pemilik jiwa?”kataku dalam dada yang tak tahu arah semesta
Angin kembali menarik jemari-jemariku
Terburu-buru
Menunjuk ladang tua dengan tanah coklat paling keruh
Sebuah kepala menjerit
Kulihatnya seikat robekan kain ketidakadilan
“Di mana rumah kami?
Kemana kami akan pulang?”katanya menatapku
Tiba-tiba tangannya meraba tanganku
Aku ketakutan
Menggigil tapi tak dingin
“Kemana mereka akan pulang?” tanyaku kebingungan
Gapura, 2024
Bangunan Tak Berkaca
Dari sudut kota,
Mataku tertuju pada bangunan tua tak berkaca
Tak ada cahaya,
Sekadar gelap yang menyala
Tawanya habis
Dan mereka menangis
Gapura, 2024
Barangkali Aku Dapat Membaca
I/
Masih kutapaki bekas pijakan nenek moyang di jalan setapak itu, sebab tiap pijakan adalah doa yang menanggalkan sejarah. Pun ribuan ritual dibaca dengan mantra pada pertengahan abad yang tak terbaca.
Mereka enggan membaca, barangkali aku dapat membaca:
Pada setiap titik di sudut ruangan, lilin-lilin dinyalakan agar tradisi memiliki kehidupan, lantaran matinya: ada pada atma manusia yang berhamburan.
Mereka enggan membaca, barangkali aku dapat membaca:
Tiap siraman dengan kembang tujuh rupa, tarian-tarian dengan selendang bahagia, pun tradisi khas daerah adalah kekunoan yang tak perlu dijaga: katanya.
II/
Peradaban tak terlihat dalam pandangan mata: ia musnah, bersengketa dengan zaman tak tentu arah, lantaran manusia sibuk mendongeng bersama keasingan sejarah.
Mereka enggan membaca, biar aku yang membaca:
Setiap makna dalam tulisan sejarah adalah nyawa bagi kehidupan manusia sesungguhnya.
Mereka enggan membaca, biar aku yang membaca:
Bahwa pengasingan dari jiwa sendiri adalah mati sebelum mati.
III/
Mereka enggan membaca, Aku yang membaca.
Gapura, 2024
Qudwatul Imamah, lahir di Pangabasen Sumenep, Maret 2005. Saat ini menjadi mahasiswi aktif di Institut Kariman Wirayudha (Inkadha) Beraji Sumenep. Salah satu karyanya telah dimuat di antologi bersama Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (2023), antologi bersama “Ijen Purba: Tanah, Air, dan Batu (2024).